BUKAN SALAH SIAPA-SIAPA.

24.7K 1.6K 26
                                    


"Bisa jujur sama papa, siapa yang berbuat itu sama kamu, Karen?" Rahadian masukan kedua tangannya ke saku celana, pria berkacamata itu berdiri di depan Karenina yang duduk di sofa panjang dekat jendela kamar. Karenina sendiri sudah mengatakan hal yang sama, mungkin telah mengulangnya sepuluh kali, tapi Rahadian sama sekali tak percaya. "Apa kamu enggak bisa ingat muka dia sedikit aja?"

Karenina menengadah dan menggeleng. "Semua itu kecelakaan, kesalahan Karen sendiri yang emang mabuk. Bisa kita lupakan semuanya?"

"Lupakan gimana? Kamu diperkosa orang, tapi kamu santai-santai aja kayak gini. Harusnya kamu bawa kasus pelecehan seksual ke ranah hukum!" tegas Rahadian, kilatan amarah terlihat di balik kacamatanya.

Karenina kembali menunduk dan rasakan dadanya cukup sesak sekadar menarik napas, ia sendiri sama sekali tak ingin permasalahkan semua yang terjadi malam itu. Karenina sangat ingat wajah laki-laki yang tidur dengannya, jika ingin menyalahkan sungguh bukan salah si laki-laki ketika Karenina sendiri yang memang menciumnya lebih dulu. Antara terkena efek mabuk dan kesadarannya malam itu seimbang, rasa sakit yang muncul pun Karenina bisa menahan.

Ia hanya frustrasi setelah mudahnya ditinggalkan, sebab wajah yang Karenina lihat malam itu seperti bukan wajah Denial, melainkan ... Rega.

"Bukan salah siapa-siapa, Karenina harus ke kantor sekarang. Kalau nggak ada yang perlu dibahas lagi sebaiknya Papa keluar," ujar Karenina tanpa menatap lawan bicaranya.

"Kamu tahu kalau papa bukan manusia yang gampang menyerah, kan? Papa pasti temukan siapa yang perkosa kamu," tandas Rahadian sebelum tinggalkan kamar Karenina, perempuan itu kini angkat wajah dan tunjukan tatapan dingin yang sempat disembunyikan.

"Papa emang nggak akan menyerah, bahkan ketika tahu mama depresi, jangan pikir aku nggak tahu."

"Mama kenapa? Kok nangis lagi, itu minum obat apa?" tanya Karenina kecil yang berdiri di depan ibunya, Liana duduk di lantai seraya menekuk lutut dan sandarkan punggung pada sisi ranjang, mata wanita itu kentara merah bersamaan wajah yang basah.

"Mama nggak apa-apa, Karen kalau besar nanti nggak boleh nakal ya, harus nurut omongan oma sama papa." Liana tangkup wajah mungil yang dihiasi binar mata cokelat, mirip seperti matanya.

"Oma sama papa kok galak terus sama Mama, nggak boleh ke mana-mana. Karen takut kalau papa marahin Mama." Raut polos itu membuat Liliana semakin sedih, ia dekap sang putri dan lanjutkan tangisnya. "Mama jangan nangis terus, ayo main sama, Karen."

"Jadi anak yang baik, ya, Nak."

Angin masuk tanpa permisi ketika jendela kamar Karenina terbuka, tirai putih yang ditepikan tampak menari mengikuti ritme, sedangkan rambut panjang terurai itu sedikit menutupi wajah pemiliknya yang kini tampilkan raut sendu.

Karenina pejamkan mata sejenak seraya kepalkan tangan sekadar merasakan sesuatu yang kian hari kian bergejolak saja dalam relungnya, ada ingin untuk pergi dan hidup sendiri, hanya saja Karenina bukan tipikal perempuan yang mudah ingkar janji-terutama saat ia melakukannya pada Liana sebelum wanita itu putuskan pergi.

"Karen, dengar mama ya, Nak. Kalau besar nanti, terus jadi Karen yang disayang semua orang, jaga papa sama oma, jangan tinggalin mereka untuk alasan apa pun. Janji sama mama, kan?"

Karenina kecil yang kurang paham maksud perkataan Liana hanya bisa mengangguk dan tersenyum pamerkan deretan giginya.

Sekarang, Karenina mengerti maksud ucapan itu meski bertahun-tahun berlalu, usia Karenina sudah menginjak 24 tahun. Ingatan fotografis yang membuatnya mudah teringat segala kenangan atau bahkan ucapan yang pernah didengar telinga itu.

Schatje (completed)Where stories live. Discover now