RASA DAN ASA.

10.2K 948 88
                                    


Asa dan rasa
Terselip di dalam raga
Asa dan rasa
Belum lekang oleh waktu jua.

(Schatje, aprilwriters)

***

Sekitar lima kantung besar belanjaan akhirnya tertata rapi di kursi penumpang mobil Karenina setelah si pemilik serta Denial membawanya keluar dari supermarket, cukup menyita waktu saat Denial ikut bolak-balik mendorong troli—meraih barang dari catatan yang Karenina berikan, mereka terpisah beberapa kali saat di supermarket tadi. Ternyata benar, perempuan kalau berbelanja bisa menghabiskan berjam-jam dalam sehari, tapi memberikan kepuasan tersendiri. Untung saja Denial tak pernah mengantar Anne serta Elita berbelanja, mungkin dia bisa mati sesak napas dalam mobil.

Sayangnya, kali ini Karenina yang ia temani, lagipula Denial sendiri telah berjanji untuk membantunya hari ini meski ia tak tahu alasan mengapa Karenina berbelanja sebanyak itu, setidaknya ada kepuasan yang terpancar jelas di wajah Denial usai melakukan pekerjaan langka hari ini meski rasa lelah jelas mendera. Siapa yang tak lelah mendorong troli bolak-balik sekadar memilah sayuran, sebab ia sendiri tak tahu persis bentuk dari setiap sayur. Dalam list tertulis lobak, tapi denial meraih wortel, belum lagi jenis-jenis ikan yang membuatnya pusing tujuh keliling. Sungguh pekerjaan berbelanja yang luar biasa, jika bukan Karenina mungkin Denial tak sudi.

"Buat kamu." Karenina meninggalkan Denial saat laki-laki itu memasukan seluruh kantung belanjaan ke mobil, ia baru datang dan ulurkan cup es kopi americano, tak lupa di bibirnya ada sedotan terselip bersama tegukan berulang kali.

"Makasih, ini mau buka warteg, ya?" Denial raih es kopi tadi, meneguknya penuh semangat, ia tutup pintu mobil sebelum sandarkan punggungnya.

"Eum, bisa jadi." Karenina tersenyum. "Capek, ya? Maaf, saya aja yang baru sadar kalau laki-laki paling anti buat temenin perempuan belanja, apalagi urusan dapur kayak gini. Maaf, ya."

"Nggak apa-apa, jadiin pengalaman aja, siapa tahu di masa depan istri gue itu chef, jadi pasti bakal ada kayak gini terulang lagi." Tatapannya mengarah penuh arti pada Karenina.

"Amin, capeknya udah hilang belum? Biar kita bisa langsung pulang." Es kopinya telah habis, ia rebut cup Denial yang sudah kosong—sebelum membuangnya pada tempat sampah di area parkir, setelahnya mereka masuk mobil, pasang sabuk pengaman masing-masing sampai Denial akhirnya lajukan kendaraan roda empat itu menjauh dari sana, membawa mereka ke jalan raya.

Karenina keluarkan ponsel serta headset dari sling bag, ia mulai dengarkan lagu favoritnya seraya pejamkan mata, Jakarta mulai panas setelah jarum pendek arloji perlihatkan pukul sebelas. Perempuan itu mulai hanyut dalam melodi yang ia dengar sendiri, sedangkan si laki-laki tampak fokus dengan urusan mengemudinya.

Ponsel Denial berdering, ia keluarkan benda pipihnya dari saku celana, tapi setelahnya hanya diam tanpa menjawab panggilan dari Benaya, ia lirik Karenina sesaat—sebelum masukan lagi ponsel ke saku celana. Kedua kali, ponsel kembali berdering sampai mengusik ketenangan Karenina yang kini luruhkan satu headset dari telinga.

"Kenapa nggak diangkat?" tanya Karenina.

"Nggak apa-apa." Denial benar-benar mengabaikan panggilan dari kekasihnya sendiri, ia hanya tak ingin merusak suasana baik kali ini, pergi bersama Karenina meski sekadar berbelanja adalah satu hal yang cukup tak terduga, tapi Denial takkan menepis rasa senang setelahnya. Jungkir-balik selama ini sudah ia lakukan meski rasanya benar-benar dilema, mungkin kali ini Benaya tak lagi diurutan pertama, sesuatu yang lain telah menggeser dari podium utama, menjadikannya tak menarik lagi—seperti dulu.

Schatje (completed)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora