SIAPA?

843 103 5
                                    

Ada perantara sesak merisak dari anumerta yang sempat mendesak, wanita musim semi muncul menyayat sekeping hati.

Schatje, aprilwriters.

***

Jakarta belum pernah menjadi kota mati, setidaknya sampai detik ini selama Karenina dilahirkan ke dunia, meski malam sekalipun kota ini memiliki dunianya sendiri untuk lingkup orang-orang yang berbeda, tentang penghiburan atau kesibukan di satu hingga dua ruang gedung pencakar langit yang masih terang cahaya, bahkan meski mendekati tengah malam, beberapa telinga masih mampu mendengar suara kebut-kebutan motor di jalan. Benar ya, Jakarta memiliki kehidupan malamnya sendiri.

Empat roda mobil berputar bergesekan dengan aspal dalam tempo cukup cepat karena pemiliknya menginjak pedal gas hingga jarum speedometer merangkak naik tanpa ragu, sementara wanita paro baya di sebelahnya sesekali mengingatkan agar berhati-hati, jalan yang mereka lalui tidak lengang, tapi Karenina mudah menyalip seperti tak merasa takut meski pernah dua kali mengalami kecelakaan.

"Takut ketinggalan kereta, takut kejebak macet, Bi." Dua alasan simple yang membuat Parmini langsung diam, ia harus memahami keputusan si pengemudi yang lebih memahami jalur di Jakarta.

"Iya, Mbak. Tapi, hati-hati ya."

"Saya hati-hati kok." Ia melirik jam tangan, sepuluh menit lagi hampir menyentuh angka delapan, Karenina sudah mengecek jam keberangkatan kereta eksekutif malam hari di Stasiun Gambir menuju Tegal, pukul delapan lewat, jadi ia harus lebih bergegas karena macet bisa menjebak setiap pengguna kendaraan roda empat di mana saja, seperti bermain labirin.

Sore tadi Parmini heboh setelah menerima telepon dari menantunya, ia menghampiri Karenina dan menjelaskan jika salah satu anak perempuannya melahirkan, alhasil Parmini harus pulang selama beberapa hari untuk mengurus keperluan ini dan itu, mau tak mau Karenina juga harus mengizinkan meski setelah ini ia sendiri yang akan mengurus keperluan rumah. Lagipula Karenina hanya sendirian, Rahadian sudah kembali ke Palembang, dan jika Parmini memang harus pulang kampung ke Tegal, bukan hal sulit baginya.

Mobil baru saja berhenti di area parkir Stasiun Gambir, keduanya turun, Karenina juga mengeluarkan dua tas besar milik Parmini dari kursi penumpang. "Saya aja nggak apa-apa," ujar wanita itu saat Parmini hendak mengambil alih tasnya. "Bibi langsung masuk aja."

"Saya kok makin ndak tega ya tinggalin Mbak Karen sendirian, pasti capek kan, habis jualan terus ngurusin rumah."

"Nggak apa-apa, kan nggak selamanya, Bibi jangan tegang gitu. Anak Bibi lebih membutuhkan ibunya, jadi jangan sedih-sedih terus." Ia mengulurkan tas Parmini setelah keduanya tiba di peron. "Mau saya tunggu sampai keretanya datang?"

"Ndak usah, Mbak. Pulang aja ndak apa-apa. Sekali lagi saya minta maaf loh bikin repot pulang mendadak begini, lagian Mbak Karen kenapa sih ndak mau nyewa pembantu berapa hari saja gitu."

Karenina menggeleng. "Nggak perlu, Bi. Saya bisa urus semuanya sendiri, Bibi jangan cemas, jangan pikirin kerjaan lagi sekarang, ya. Fokus ke anak Bibi yang baru ngelahirin, punya cucu baru." Sebenarnya Karenina lebih terpikir soal kepercayaan, ia tak ingin menggantikan tempat Parmini meski wanita itu izin cuti mendadak sekalipun, lagipula bukan saat ini saja Parmini pernah izin cuti dadakan. Karenina hanya belum bisa menempatkan orang baru untuk mengurus rumah, sementara Parmini telah mendapat kepercayaan penuh, meski hanya menyewa orang baru beberapa hari pun Karenina tak bersedia.

"Mbak Karenina di rumah hati-hati ya."

"Iya, saya pasti hati-hati kok." Dari kejauhan sudah terdengar suara kereta yang hampir sampai. "Tuh, keretanya udah datang, Bi." Ia merogoh sesuatu dari saku jaket, menarik tangan Parmini dan meletakan amplop cokelat di sana.

Schatje (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang