BENANG KUSUT.

14.1K 1.1K 25
                                    

Sedih adalah aku
Awan pekat kelabui sang biru
Guntur berceloteh kemayu
Saga menjadi akhir yang tak lagi radu.

***

Aroma cappucino dari satu sachet kopi instan yang baru Karenina seduh menguar nikmat memenuhi dapur rumahnya pun menelusup keluar lewat ventilasi pintu dapur yang sengaja Karenina tutup, nyatanya aroma khas itu membaui indra penciuman orang lain yang kebetulan berada di rumah Minggu ini.

Cangkir putih bergambar hati merah muda tampilkan kopi yang tengah Karenina aduk menggunakan sendok teh, ia menikmati aroma kopi yang bisa dihirup sesuka hati, sama seperti irama detak jantungnya. Sedikit melenakan dalam kesunyian, cukup menenangkan dalam ketiadaan.

Piring ceper kecil berisikan sepotong brownies yang ia ambil dari kulkas akan temani si kopi setelahnya, menjadi sedikit buai kedamaian bagi pemiliknya, paling tidak—cukup menenangkan syaraf-syaraf yang kaku setelah menghadapi dunia.

Karenina berhenti mengaduk kopi, ia letakan sendok di sisi cangkir sebelum tarik salah satu kursi dari bagian meja makan. Cangkir kopi serta piring ceper yang semula berada di permukaan panel—kini berpindah hampiri permukaan meja makan.

Karenina duduk di sana, diangkatnya cangkir yang masih menguarkan uap panas—menyapu kulitnya dengan ramah, ia tiup pelan sebelum menyesapnya satu teguk saja, sekadar meluruhkan rasa hangat melewati kerongkongan hingga sentuh lambungnya.

Helaan napas kembali berlangsung, intensitas hujan sore itu masih deras tanpa tekanan guntur,  setidaknya beberapa orang menghabiskan waktu Minggu mereka di rumah dengan lelap panjang, atau berkumpul dengan keluarga bersama kopi—seperti yang Karenina ingini, tapi semua seperti mimpi.

Bola matanya bergerak tatap pintu saat indra pendengarannya mendengar suara derit benda itu, perlahan terdorong pelan hingga munculkan sosok Rahadian yang tetap membuat ekspresi Karenina datar. Kini cangkir kopi diletakannya, bibir seolah hilang rasa.

"Boleh papa duduk?" Suara Rahadian mengawalinya. Sebuah anggukan membuat pria itu melangkah—sebelum akhirnya menarik kursi, ujung dengan ujung, itulah posisi mereka sekarang. Bentuk meja persegi panjang dengan enam buah kursi, empat diantaranya tertata adil di sisi kiri-kanan, sisanya ada di ujung utara dan selatan. "Kopi yang kamu buat baunya enak, boleh papa—"

"Ya." Suara Karenina begitu lirih, nyaris tak terdengar saat gemuruh petir menyembunyikannya. Ia beranjak hampiri panel, menengadah bersama gerakan tangan terangkat yang membuka pintu kabinet di atasnya, meraih satu sachet kopi rasa yang sama seperti milik Karenina.

Rahadian begitu tenang memperhatikan putri semata wayangnya sibuk menyeduh kopi, ia amati dari ujung kaki hingga kepala, semua tampak sempurna saat wajah cantik almarhum Liliana diwariskan pada putri mereka. Pada akhirnya singgah sesuatu yang membuat Rahadian menarik napas berat, ada nyeri meradang di ulu hati, keputusasaan serta rasa bersalah menyelinap tanpa permisi.

Cangkir baru telah tergeletak di depan Rahadian tanpa adanya sepotong brownies, Karenina kembali duduk di tempat semula tanpa memedulikan kegiatan sang ayah.

"Kita lama nggak seperti ini." Suara Rahadian kembali mengudara, tangan kanan bergerak menyentuh cangkir kopi sebelum meniup uap yang perlahan menyingkir, dua teguk cappucino meluruh nikmat lewati kerongkongan, ada hangat yang dirindukan—meski ingin lebih dari secangkir kopi, tapi lebih pada memperbaiki tali kekeluargaan antara keduanya. Secangkir kopi dan hujan masih sama, hanya hal sederhana pada akhirnya.

"Ya, Karenina pikir Papa udah lupa—soal siapa kita." Bola matanya meredup, ia hanya menafsirkan kekecewaan yang sejak lama singgah dalam jiwanya, mendekap erat tanpa ingin melepaskan—kecuali seseorang sudi mengubah cara berpikirnya, mengajak Karenina pada titik terang yang lebih baik perihal bagaimana mereka.

Schatje (completed)Where stories live. Discover now