SI MATA DINGIN.

22.8K 1.5K 51
                                    


Setengah jam berlalu, Denial hanya bisa bergeming tatap Karenina yang sedari tadi bergerak cukup enerjik menata ulang ruang kerjanya di lantai tiga. Selama beberapa hari ke depan, Karenina harus ikut mengurusi keperluan Denial di kantor setelah Zian sendiri yang memerintahkannya pada Karenina.

Lucu, Denial bisa saksikan sendiri ketika Karenina berinteraksi dengan Zian di depan matanya—gadis itu bisa pasang senyum dan singkirkan tatapan dingin pada bos besar, Karenina bisa menjadi gadis yang begitu ramah. Namun, ketika tak lagi berkomunikasi dengan Zian, sikap gadis itu kembali seperti semula—yang dingin mirip robot, bahkan senyumnya tak ada sama sekali.

Karenina terlihat menata beberapa tangkai tulip ke sebuah vas panjang yang kini diletakannya di sisi komputer meja kerja Denial, harusnya Denial memang berada di antara kubikel karyawan magang lainnya, tapi setelah Karenina masuk ke ruang kerja tadi pagi, Denial kembali ke ruangan sang ayah dan memohon ruangan pribadi baginya dengan banyak syarat.

Dia robot apa manekin sih, bisa beku banget kayak gitu. Emang gue salahnya di mana?

"Udah berapa lama jadi sekretarisnya papa?" tanya Denial pada akhirnya, ia memberanikan diri buka suara sejak setengah jam alami keheningan yang cukup kentara. Hanya suara ketukan flat shoes serta barang yang Karenina tata sebagai pengusik telinga, karakter Karenina benar-benar tenang dengan tatapan dingin yang khas.

Mungkin karena tuntutan pekerjaan, jadinya dia mau seramah itu sama papa. Maklumlah sekretaris.

"Dua tahunan," sahut Karenina tanpa menatap lawan bicaranya, perempuan itu sibuk menyapukan tisu ke sisi vas sebelum membuangnya ke tempat sampah. Kini beberapa map di meja menjadi bahan terakhir yang harus Karenina tata, setelah itu ia bisa kembali bekerja.

Tanpa sengaja Karenina menjatuhkan bolpoin, gadis itu pun membungkuk meraihnya hingga beberapa helai rambut jatuh menutupi wajah, ketika Karenina beranjak tangan kanannya menyelipkan rambut ke belakang telinga hingga wajah kuarsa itu terlihat dari sisi kanan.

Denial seakan takjub, bergeming tanpa mampu berkedip, ternyata menatap Karenina dalam keadaan tenang justru lebih menyenangkan. Sedangkan malam itu, mereka melupakan waktu.

"Semua urusan di sini udah kelar, saya permisi buat lanjut kerja," ucap Karenina.

"Ada satu lagi, sih." Denial menggaruk hidung dengan telunjuknya. "Kopi." Ia tampak ragu mengatakannya, menatap wajah Karenina dengan mata dingin itu membuat Denial cukup kikuk. Banyak gadis yang datang silih berganti, tapi untuk karakter yang seperti robot baru kali ini Denial temukan.

Lalu, anggap persoalan krusial seperti hubungan malam itu sebagai sesuatu yang sebaiknya dilupakan?

Jika hal itu terjadi pada perempuan lain, mereka jelas menuntut Denial untuk dinikahi—terutama status Denial Nuraga sebagai putra kedua Zian Nuraga sudah cukup jelas, cerah.

"Oke, saya ke pantry sebentar, permisi." Karenina melangkah keluar ruangan, sedangkan Denial sendiri baru bisa menghela napas lega setelah rasa canggungnya berakhir.

Kini bola mata Denial bergerak ke segala arah tatap kondisi ruangannya yang baru, laki-laki itu tersenyum tipis seraya raih bolpoin yang sempat jatuh oleh Karenina.

"Gue pikir magang di sini nggak bakal menyenangkan, tapi sekarang ada alasan lain. Mungkin," gumamnya.

Pintu terbuka tampilkan sosok Rega yang kini pamerkan senyum semringahnya, ia masuk begitu saja hampiri Denial.

"Gue kira Om Zian bohong, ternyata lo beneran bakal magang di kantor ini." Rega duduk di depan meja. "Gue juga pikir lo nggak bakal mau ngelakuin ini, nyatanya serius juga, kan?"

Schatje (completed)Where stories live. Discover now