RELUNG BERBISIK.

12.1K 1K 68
                                    


Merindumu tiada guna lagi
Menginginkanmu? ini bukan alam ilusi
Relungku terus berbisik
Lupakan ia yang sempat mengusik.

(Schatje, aprilwriters)

***

Seminggu berlalu, fajar putuskan menyingkir dari posisinya sekarang, meluruh ke ujung barat seraya lambaikan cahaya yang selalu ia banggakan—gradasi oranye—yang membuat banyak orang selalu jatuh cinta, mereka bisa mengabadikannya dari angle mana saja, terutama dari tempat Karenina bersila sore ini, ia memangku laptop seraya tarik napas sejenak perhatikan swastamita kemuning yang semakin meluruh.

Ia tak mengerti kenapa harus bersila di tempat itu, pernah sekali datang—saat mereka memutuskan tak pernah ada, sejatinya tak pernah ada apa-apa, Karenina merasa ia memang omong kosong yang dibuat sebagai bahan lelucon seseorang.

Terserah, ia hanya ingin menikmati masa tenangnya beberapa hari ini sebelum benar-benar disibukan dengan semua rencana yang mengitari kepala tempo hari, Karenina telah mematangkan konsep dari sesuatu yang ingin dikerjakannya. Ia sudah praktik berkali-kali, dan seperti yang banyak orang bilang; masakan yang dibuat dengan cinta, pasti rasanya jauh lebih enak.

Seraya nikmati swastamita yang masih pamer eloknya, ia menunduk kembali lanjutkan urusan dengan laptop. Sejak kemarin Karenina sibuk memesan berbagai perabot untuk mengisi pantry, bukan dapur di rumah, tapi foodtruck yang belum dibelinya. Ia memang bukan tipikal gadis yang terlalu bersantai-santai meski beberapa kali keluar mencari makanan di berbagai kafe atau resto, bahkan kebab di perempatan komplek, ia sekadar melakukan taster dari semua olahan yang dicicipinya. Perihal rasa seperti apa yang disukai orang-orang, varian rasa serta bentuk menarik, bukankah orang-orang lebih suka melihat bentuknya dulu sebelum mecicipi? Jadi, plating memang diutamakan.

Detik semakin berlalu, gerak jarum jam dari arloji yang ia kenakan juga semakin mengakhiri apa yang disebut senja. Bola mata Karenina kembali perhatikan redupnya, makin tenggelam bersama oranye menyala saga hingga akhirnya meredup seolah ditelan bumi.

Helaan napas kembali berlangsung, ia masih bersila di tengah rooftop itu, tak perlu alasan khusus untuk datang ke sana. Tujuan Karenina hanyalah ketenangan, bukan perihal bagaimana ia mengingat Denial, hubungan yang tak pernah menjadi apa-apa rupanya semudah itu Karenina lupakan, belajar saja karena semua pasti berlalu. Tak perlu ada puing-puing rindu, juga tangis teriris sembilu, biar semua usang ditelan waktu.

Mega semakin abu-abu, bahkan lebih pekat saat bergulirnya waktu tiada terbendung lagi. Embusan angin malam menyapa rupa elok kuarsa itu, sisa surai dari mahkota panjang yang diikat rendah tampak menari seolah mengejar angin, menyentuh lembut wajah pemiliknya, tangan Karenina terangkat menepikan. Ia tutup laptop, helaan napas menyudahi kesibukan hari ini, ada demo dari alam raga yang melengking tanpa didengar siapa-siapa. Oke, Karenina rasakan perutnya mulai nakal.

Perempuan itu raih ransel ungu di sisi kiri dan masukan laptopnya di sana, ia gendong seraya beranjak—lalu tatap sekali lagi suasana sekitar.

"Tempat ini jauh lebih baik kalau dinikmati sendiri," gumam Karenina sebelum melangkah hampiri salah satu sudut tempat itu—di mana anak tangga berada di sana.

Usai menuruni puluhan anak tangga hingga tiba di dasar gedung, Karenina terhenti sejenak, ia mengatur napas yang terengah karena rasa lelah. Keadaan sekitar tak terlalu gelap saat beberapa cahaya bola lampu menyorot, tidak mengerikan.

Kini ia lanjutkan langkah menerobos sebuah jalan kecil hingga sampai di sisi jalan, dulu motor Denial terparkir di depan toko—tempat Karenina berdiri sekarang, tangannya merogoh ponsel dari saku celana, ia putuskan memesan ojek online, tapi bukan untuk pulang, Karenina ingin mengisi perutnya.

Schatje (completed)Where stories live. Discover now