SEARAH.

1.5K 154 9
                                    


Meroda, sejauh kita bisa.
Melalang buana, melepas nestapa.

Schatje, aprilwriters.

***

Tiga tumpuk pancake dalam satu piring ceper dengan lelehan sirup maple serta sebuah stroberi utuh di atasnya baru saja Jesslyn hidangkan di depan sang kekasih, Nathan yang duduk santai di sofa ruang tamu, cowok itu menyalakan pemantik api untuk kemudian menyentuh ujung batang rokok miliknya. Sekarang asap rokok mulai menyentuh langit-langit ruang tamu apartemen Jesslyn.

Beberapa hari ini Nathan memang menginap di sana, menjadi room mate yang baik. Mereka sudah layak menjadi sepasang suami istri, tapi waktu belum mempersilakan sebab Jesslyn juga belum bisa menemui orangtuanya untuk saat ini, jadi rencana besar tersebut terpaksa dipending lebih dulu. Toh, menikah atau tidak, masih Nathan yang setia berguling di ranjang kamar Jesslyn.

Perempuannya baru saja duduk, tapi memberi jarak karena enggan mengendus asap rokok yang terburai. Sejak beberapa menit terakhir, Jesslyn mulai berbeda setelah Nathan mengakhiri teleponnya dengan Denial.

"Jess, kamu nggak lagi—"

"Bukan, bukan itu. Aku cuma kepikiran aja, ya sebenarnya kepikiran terus." Jesslyn mendengkus, ia bersidekap, arah matanya juga tak menemui titik fokus, ia melamun.

"Kepikiran? Yang apa? Denial nggak bisa nongkrong karena hangout sama Karenina? Bagus dong, ada peningkatan, dia nggak bertindak semaunya sendiri sekarang."

"Bukan itu, Nat. Bukan itu." Jesslyn menegaskan, jadi ia harap Nathan bisa mencari alasan lain untuk mengajaknya bicara, sebab Jesslyn mulai pening.

"Soal Royan?" Ia tepat menembakan anak panah ke titik fokus yang Jesslyn maksud, perempuannya lantas mengangguk. "Bukan salah kamu."

"Ya kalau dia meninggal emang bukan salah aku, itu perkara penyakit sama takdir Tuhan. Tapikan." Jessyln menunduk, masih ingat pemakaman Royan hari itu, saat ia memohon pada Karenina agar memaafkannya, meski hubungan pertemanan mereka baik-baik saja, tapi jelas rasa bersalah tak mudah menyingkir pergi, apalagi Jesslyn seperti jembatan antara Karenina dan Royan. Ia memahami betul bagaimana mereka, bahkan sejak duduk di bangku kuliah.

"Jess—"

"Nat, kalau aku bilang semua itu dari awal. Apa rasa sakitnya berkurang, ya?" Jesslyn menatap intens Nathan yang membuang asap ke sisi kiri, cowok berkaus polo putih itu menggeleng, entah dalam maksud apa.

"Aku nggak tahu, emang apa bedanya ngasih tahu di depan sama di belakang?"

"Ya kalau aku cerita ke Karenina kalau misalnya Royan ke Singapur karena dia mau operasi penyakitnya, mungkin lebih baik kan, tapi Royan juga telanjur bohong biar mereka putus, padahal dia sakitnya luar dalam."

"Jess, dengerin." Nathan menekan ujung batang rokoknya pada permukaan asbak hingga lenyap, ia mengakhiri sesi merokok meski tersisa beberapa cm. "Dunia ini rumit, semuanya udah terjadi juga kan. Karenina juga biasa aja ke kamu, jadi udahlah, jangan dipikirin terus."

"Ya karena bener-bener ganggu di pikiran, nggak tahu gimana cara hilanginnya."

"Main?"

Dahi Jesslyn berlipat-lipat, tangan kirinya terangkat untuk menarik telinga Nathan hingga tubuh cowok itu ikut bergerak ke sisi kanan dan terbaring di sana sembari mengeluhkan sakitnya. "Bacot lo bisa diem nggak maniak seks!"

"Sakit, Sayang." Nathan mengusap-usap cuping telinganya yang merah, ia sudah duduk lagi. "Kok jadi seks sih? Aku nggak bahas main yang itu, maksudnya main ke mana gitu, keluar dari goa. Hitung aja berapa hari kamu kurung aku di sini, harusnya yang jadi Rapunzel tuh cewek, bukan malah cowoknya. Bentar lagi Walt Disney bikin sekuel Rapunzel, judulnya Nathanzel."

Schatje (completed)Where stories live. Discover now