SECANGKIR KOPI DAN HUJAN.

19.7K 1.5K 38
                                    


Hari kedua Denial bekerja sebagai karyawan magang, semua masih terkendali ketika laki-laki itu memang serius melakoni pekerjaannya. Satu hal terlihat lucu ketika Denial yang notabene berada di lantai tiga terus saja bolak-balik ke lantai tujuh dengan segudang alasan, dan alasan terakhirnya adalah toilet lantai tiga kurang nyaman.

Zian sendiri mengernyit dapati sikap sang putra yang tampak aneh, hanya saja dia enggan ambil pusing menghadapinya. Pria itu tampak fokus dengan laptop dan beberapa map yang kini bertumpuk di sisi kiri laptop.

Zian meraih gagang telepon yang bersembunyi di balik map, ia menghubungi Karenina.

"Tolong langsung kirim file yang kamu kerjakan ya, saya butuh sekarang." Setelah berkata demikian panggilan berakhir, Zian kembali otak-atik laptopnya sebelum pintu tiba-tiba terbuka dan tampilkan sosok Denial untuk ke-sepuluh kalinya.

Zian menghela napas panjang. "Apa lagi? Mau alasan apalagi? Kerjakan urusan kamu, Den," ucap Zian seraya mengendurkan dasi hitamnya.

"Terakhir, Denial boleh minta tolong Karenina buatin kopi nggak? Soalnya OG yang ke pantry bikinnya nggak seenak itu," sahut Denial seraya pasang tampang polosnya.

"Terserah kamulah, ngomong sendiri ke Karenina. Papa sibuk."

"Oke, Pak Bos!" Denial kembali tutup pintu, kakinya ia tarik beberapa langkah hingga tiba di depan pintu ruang kerja Karenina. Laki-laki itu angkat tangan kanan seraya menelan saliva, antara maju atau mundur pun Denial ragu-ragu mengetuknya.

Namun, Denial memilih mundur dan turunkan tangan sebelum sembunyikannya di saku celana. Denial memutar arah dan bersiap pergi, tapi tiba-tiba pintu terbuka dan buat tubuhnya kaku di tempat, ia membeku sadari Karenina memergokinya di sana.

"Ada yang bisa saya bantu?" Suara lembut Karenina terdengar, membuat lengkungan samar di wajah Denial tercetak, ia kembali memutar tubuh berhadapan dengan Karenina.

"Gue sayang sama dia, tapi gue yang jadi orang paling jahat buat dia, gue yang bikin semua orang gunjingin dia. Semua gue yang salah," tutur Rega mengawalinya.

"Sebutan itu nggak bagus, Den. Dia nggak bakal maafin gue, dunia udah kejam buat dia, tapi malah gue tambahin sedihnya. Laki-laki macam apa yang nggak bisa lindungin perempuannya yang lemah." Rega tutup wajah dengan satu tangannya dan kembali tertawa kecil.

Dua dialog semalam tiba-tiba terlintas di kepala Denial ketika netranya berhasil menemukan eboni Karenina, masih dingin.

"Kopi," ucap Denial singkat.

"Sekarang?"

Denial mengangguk, setelahnya perempuan itu melangkah tinggalkan Denial yang tatap punggung Karenina hingga berlalu di balik pantry,  laki-laki itu pun melangkah hampiri tempat berlalunya Karenina tadi. Denial berdiri di ambang pintu mengamati aktivitas Karenina saat menyeduh kopi, beruntungnya keadaan di pantry benar-benar sepi, hanya ada Denial dan Karenina di sana. Perempuan itu sendiri tak tahu kalau Denial sibuk mengamatinya.

Puzzle apa yang lagi gue hadapi, Ga. Untungnya lo nggak sebut nama Karenina, tanpa lo sebut pun gue tahu, batin Denial.

Tampak Karenina yang kini mengaduk kopi setelah alirkan air panas dari dispenser, perempuan itu meraih nampan dan letakan segelas kopi untuk Denial di sana, setelahnya memutar arah dan bergeming sejenak saat sadari kalau Denial ternyata mengikutinya.

"Perlu saya antar ke lantai tiga kopinya?" tawar Karenina agar suasana canggung mereka berakhir.

Denial menggeleng, ia melangkah hampiri Karenina di tempatnya sebelum ambil alih secangkir kopi itu dari nampan.

Schatje (completed)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu