SEORANG BAJINGAN.

16.4K 1.2K 12
                                    

Ada perasaan tidak rela acapkali melihat OB yang selalu menyapu guguran daun maple di ruang kerja Karenina, selama beberapa hari sejak Denial membelikan pot bonsai itu—ruangan yang ditinggali Karenina terkesan lebih hidup, bahkan perempuan itu per...

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ada perasaan tidak rela acapkali melihat OB yang selalu menyapu guguran daun maple di ruang kerja Karenina, selama beberapa hari sejak Denial membelikan pot bonsai itu—ruangan yang ditinggali Karenina terkesan lebih hidup, bahkan perempuan itu pernah meminta pada OB agar tak membuang dedaunan yang telah dikumpulkannya, Karenina meletakannya lagi di bawah pohon kecil itu sebagai penyejuk mata saja sebelum benar-benar membuangnya, hari-hari yang berjalan menuju pertengahan Desember membuat si pohon terus saja menggugurkan daunnya, membuat benak seseorang semakin gusar.

Karenina mendengkus, ia sandarkan punggung di kursinya usai selesaikan lemburan malam hari ini, ia lirik arloji yang tunjukan pukul sembilan malam. Tenaga dan pikirannya mulai terkuras habis untuk tugas hari ini, beruntungnya tak hanya Karenina yang langsungkan lembur malam, Zian dan beberapa karyawan lain di lantai terpencar juga ikut lembur.

Tangan kurus itu meraih segelas kopi yang tak lagi panas di sebelah laptop, masih sisa setengah saat Karenina meneguknya setengah jam yang lalu. Kini, kopi buatan OB telah ia habiskan, ibu jarinya mengusap sisa cream di sudut bibir sebelum tangan itu beralih raih crossbody bag di meja dan beranjak hampiri pintu.

Wajah Karenina kentara lelah pun tubuhnya. Namun, otot-ototnya langsung menegang tatkala seseorang sudah berdiri sebelum tangannya bergerak membuka pintu.

Laki-laki itu tersenyum miring, tak disangka juga kalau malam ini Rega ikut lembur. Ia mendekat saat Karenina justru mundur tanpa suara, bibirnya terkunci rapat, hanya bahasa tubuh dan tatapan dingin yang wakili perasaannya.

"Kenapa harus takut kayak gitu, aku kenapa?" tanya Rega sekadar berbual, ia memang nantikan saat dunia hanya menyetujuinya bersama Karenina saja.

"Pintu keluar ada di sana." Tangan Karenina terangkat tunjuk arah pintu, punggung itu sudah membentur tembok di belakangnya, ia terpojokan saat tak ada lagi ruang bebas bergerak.

"Aku tahu, sangat tahu." Rega sudah berdiri di depannya, mengunci posisi Karenina dengan tangan kiri yang menyentuh tembok di sisi kepala perempuan itu, tangan kanannya tampak bersembunyi di saku celana.

"Kamu mau apa, saya mau pulang sekarang." Karenina bersiap melangkah, tapi tangan kanan Rega lolos dari saku dan menahan lengan perempuan itu. "Lepasin saya, Rega!"

"Apa, sih? Pak Zian udah turun ke bawah, tadi aku yang lihat sendiri, karyawan lain juga mulai keluar."

"Saya juga mau pulang!" Emosi Karenina mulai tersulut.

"Kenapa berubahnya cepat banget, sih! Apa segampang itu!" Rega juga mulai terpancing, tangan yang lain mulai ikut mengungkung posisi Karenina di tembok, ia menarik napas panjang pun ekspresi tegang yang berangsur menghilang saat bola matanya terpenjara di eboni Karenina yang pamer kekecewaan. "Maaf, nggak ada maksud ngebentak."

Plak!

Sebuah tamparan keras benar-benar mendarat di pipi kanan Rega. Jantung Karenina berpacu lebih cepat saat emosinya semakin merambat ke ubun-ubun.

Schatje (completed)Where stories live. Discover now