TERBURAI.

1.7K 205 4
                                    


Terburu-buru, terburai-burai
Isi kepalaku, sibuk berandai-andai
Dari perkara yang terangkai.

Schatje, aprilwriters.

***

Sore telah diputuskan usai setelah lampu-lampu di setiap rumah serta sisi jalan berpendar, mereka kompak menerangi dunia orang-orang secara nyata. Pemilik netra cokelat baru saja mengangkat kelopak, sementara laki-laki berkemeja abu-abu masih terlelap nyaman, mereka saling mendekap tanpa jarak, Denial sampai lupa untuk pulang ke rumah karena ditenggelamkan waktu.

Tangan Karenina merambat di wajah laki-lakinya, lalu mengecup bibir yang efektif menjadi alarm tanpa suara agar Denial terbangun. Ia tersenyum karena rupa yang pertama tertangkap bola mata adalah Karenina, perempuannya. "Aku ketiduran, sorry ya."

Denial beranjak. "Kamu makan, ya?" Ia masih memikirkan masalah sederhana itu, karena belum juga sirna dari kepala jika Karenina tak segera menuntaskannya. Saat Karenina mengangguk, senyum Denial kian merekah. "Dimsum atau nasi? Eh, nasi aja ya, dimsum pasti udah dingin. Aku ke dapur sebentar."

Kaki-kakinya menuruni anak tangga cukup cepat seolah dikejar sesuatu, rasa senang bergrilya sesuka hati saat ini. Namun, Denial terlalu ceroboh karena tak memperhatikan jalan sampai ia berserobok dengan Parmini yang baru keluar dari kamar—hendak menuju dapur, perbuatan Denial membuat kemejanya langsung basah setelah air dari gelas yang Parmini pegang tumpah di sana, jatuh dan berakhir pecah di lantai.

"Astaga! Mas Denial!" Parmini mendelik. "Ya ampun, Mas. Maafin saya, ya."

"Eng-enggak apa-apa, saya yang nggak perhatikan jalan tadi. Ini bukan masalah kok, yang penting sekarang itu Karenina mau makan, Bi." Denial benar-benar menggebu, wajahnya berseri-seri sampai tak peduli jika kemejanya basah.

"Oh, Mbak Karen mau makan? Ya udah saya ambilkan ya, Mas."

"Nggak usah, saya aja. Bibi bersihin pecahan gelasnya ya, takut keinjek, sekali lagi maaf kalau saya jalannya nggak hati-hati." Ia bergegas memasuki dapur, meja makan menjadi tujuan utama, beruntungnya ada makanan di sana. Tanpa berpikir panjang ia menyiapkan semua sendiri, mungkin Karenina baru mengalami mimpi yang menyenangkan, jadi saat ia terbangun mood langsung bagus.

Denial kembali, perempuannya sudah duduk di ranjang sembari melempar senyum, vibes sekitar jadi sangat berbeda, bukan lagi abu-abu seperti sore tadi. Sepertinya Denial mesti berterima kasih pada malam karena bulan menghiasi dunia gelap seseorang.

"Kemejanya basah?" tanya Karenina tatkala kekasihnya duduk di tepi ranjang, memilih bersila dan memangku nampan.

"Oh, iya tadi nggak sengaja kena air. Sekarang kamu makan, ya." Penuh perhatian dan sabar ia menyuapi Karenina, ini rasa senang berlipat ganda meski terdengar berlebihan, apalagi sikap Karenina akhir-akhir ini sama sekali tak membuat orang lain tenang. "Makan yang banyak, ya."

"Saya mau ke pantai."

"Pantai?"

Karenina mengangguk cepat. "Iya, pantai yang waktu itu, kamu inget kan?"

Jika maksud Karenina adalah tempat Denial pernah nekat membawanya pergi dari gedung reuni beberapa waktu lalu, pasti Denial ingat. "Yang waktu itu perginya sama aku?"

"Iya, aku mau ke sana. Boleh, ya?"

"Weekend?" Sembari berbicara, tangannya juga bergerak memindah makanan dari piring ke bibir. "Ini masih hari Kamis, besok Jumat. Jadi, Sabtu ya?"

"Nggak mau, saya maunya besok ke pantai."

"Tapi, sampai di sana bisa aja malem, Karen. Angin laut malem-malem itu nggak bagus, nanti kamu bisa sakit." Perkataannya membuat Karenina berhenti mengunyah, lihatlah perubahan ekspresi di wajah perempuan itu, urat-urat di sana kembali kaku disertai sorot mata tak suka. Suapan berikutnya juga tak diterima saat terus menggantung di depan bibir yang bungkam, Karenina marah. "Buka mulut, makannya dilanjut."

Schatje (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang