HAMPIR SEKARAT.

2.3K 205 11
                                    


Perempuan di bibir pantai, lesap ditelan ombak
Dibawa pergi, diajak bersembunyi.

Schatje, aprilwriters.

***

Tok-tok-tok!

"Masuk saja."

Setelah suara derit pintu terdengar, seorang laki-laki setinggi 180cm memasuki ruang kerja sang ayah, hanya saja ia tak mampu memperlihatkan rona cerah di wajah, ini bukan perkara Denial tak membasuh wajahnya menggunakan facial wash pagi tadi dan berakhir kusut seperti sekarang, semua tentang problematika yang masih setia mengitari kepala.

Zian sibuk menempelkan materai pada beberapa lembar kertas yang juga ia bubuhi tanda tangan, sang papa melirik wajah putranya sejenak, tampak tragis. Seingatnya pagi tadi Denial juga tak mengikuti aktivitas sarapan di meja makan, bahkan ketika Elita sibuk meledek, otot wajah Denial tetap kaku tanpa sebuah pergerakan yang memperlihatkan ekspresi senang atau kesal di sana.

Kini Zian memahami ada sesuatu yang mengusik anak laki-laki keduanya itu. Zian melepaskan kacamata yang seringkali dipakainya jika harus membaca laporan, tampak Denial memutuskan duduk pada sofa di dekat pintu ketimbang kursi di depan meja, alhasil Zian memilih mengalah dan beranjak menghampiri sang putra.

"Ya, ya, ya. Papa tahu kamu pasti ada masalah, yang papa nggak tahu—masalahnya itu apa?" Zian langsung menunjuk keingintahuannya, ia duduk di samping Denial nan tak mampu mengubah mendung di wajah.

"Aku ke sini karena mau cerita, tapi kalau Papa masih sibuk bisa nanti-nanti aja. Papa sibuk enggak?"

"Sibuk sih, Den. Tuh lihat numpuk kertasnya." Zian menunjuk setumpuk berkas di permukaan meja. "Tapi, papa mau dengar masalah kamu. Kenapa enggak cerita pas di rumah?"

"Nggak apa-apa, aku cuma—" Denial menunduk, beberapa detik berikutnya ia menemukan wajah sang ayah. "Ini soal Karen." Ya, tentu saja, sekarang ia juga pintar memamerkan aura melankolisnya setelah mengenal perempuan itu lebih dalam lagi hingga akar-akarnya, sisi gelap Karenina seolah merambat ke sekujur tubuh Denial hingga ia piawai bertingkah menyedihkan seperti sekarang.

"Karen, ya?" Zian memahami, ia beranjak sembari mendengkus, lalu berdiri menatap lukisan bergambar kebun bunga poppy nan menempel pada dinding di dekat pintu. "Papa tahu akhir-akhir ini banyak masalah datang, papa—"

"Aku mau ngajak Karen ke psikiater." Telak, Denial memberi kejutan yang lumayan ampuh mencipta kerutan di dahi pria pemilik Nuraga's Construction tersebut. Sang papa menoleh, ekspresi penuh tanda tanya membingkai wajah.

"Psikiater?"

Denial mengangguk. "Aku tahu ini kedengaran keterlaluan, tapi masalahnya serius, Pa. Dia kayak ... Karenina yang dulu, aku rasa dia masih belum menerima kalau Royan udah pergi, terus tentang omanya."

"Harus banget ke psikiater?" Nada bicara Zian kentara memprotes.

"Terus ke mana lagi? Karenina terlalu berkabung, Pa. Dia punya rasa nggak terima yang besar dan aku percaya itu biarpun dia nggak bilang sama aku, dia terpukul, dia juga sakit hati. Cuma, dia sok kuat kayak yang udah-udah. Aku ngerasa dia perlu bicara tertutup, walaupun nggak sama aku, nggak apa-apa, yang penting dia bebas ngebuka semuanya." Denial cukup emosi menghadapi semua ini, tapi ia bisa apa selain memilih diam meski benak serta pikirannya berkecamuk melihat kondisi Karenina cukup memprihatinkan.

Karenina memang katatonik, tapi bagi Denial akhir-akhir ini lebih dari sekadar dingin yang diam, Karenina menyiksanya luar dalam pada angan-angan jika perempuannya pasti baik-baik saja, padahal omong kosong. Karenina ceria saat menyentuh peralatan masak di dapur, tapi sejak pulang dari Jepang, ia tak pernah melakukan hal itu lagi, kebiasaan positif seolah berlarian menjauh.

Schatje (completed)Where stories live. Discover now