HATI YANG RUNTUH.

10.8K 1K 92
                                    


Hati yang runtuh
Bukan salahku
Tentang rasa percaya yang jatuh
Bukan juga salahku.

(Schatje, aprilwriters)

***

Suara kaki menuruni anak tangga begitu cepat terdengar layaknya beberapa ekor kuda yang berlarian, bukan tanpa sebab Karenina sampai tergesa seperti itu, pasalnya berkali-kali terdengar bel berbunyi dari pintu utama dan ia baru selesai mandi. Mungkin tak ada Parmini saat bel masih saja ditekan sampai sekarang.

Kaki Karenina telah menginjak anak tangga terbawah, ia yang terburu-buru hanya kenakan hot pants serta kaus oversize yang terlihat menutupi lututnya seolah Karenina tak memakai celana. Ia buka pintu utama secepatnya sebelum mematung tanggapi kehadiran sepasang manusia di balik pintu, salah satu di antara tamu itu tersenyum semringah menatap Karenina, sedangkan sisanya hanya diam saat netra mereka beradu dalam beberapa detik.

"Kalian?"

"Hai, Kak Nina!" Elita berseru riang seraya melambai penuh semangat. "Surprise!"

"Hah?" Karenina benar-benar dibuat menganga saking terkejutnya, selama ia bekerja sebagai sekretaris Zian pun belum pernah sekali saja Elita sampai datang ke rumahnya. Lantas hari ini?

"Kaget pasti, kan? Elita ke sini karena ada tujuan dong, Kak. Tadi aku paksa Bang Denial supaya antar ke sini, soalnya kata papa tuh dia tahu." Elita menoleh pada manusia yang masih mematung di sebelahnya, enggan meretas fokus dari netra Karenina, alhasil Elita yang tak pernah senang dengan ketenangan Denial pun menyikut lengan kakaknya itu. "Iya kan, Bang?"

"Oh, kayak gitu." Karenina tersenyum masam, bukannya ia tak senang dengan kehadiran Elita, tapi masih syok saja. "Ayo masuk."

Elita yang paling semangat kali ini, ia masuk tanpa lupa menarik sang kakak agar ikut dengannya, tiba-tiba saja Denial sekeras batu, kaku dan aneh dalam satu waktu. Ketiganya lantas duduk di balik meja ruang tamu.

Nabastala sengaja membuat seseorang mengingat akan satu kehadirannya di tempat yang sama, duduk di tempat yang sama dan menikmati kehangatan rumah meski hanya sesaat—sebelum ia yang merusak segalanya, membuat waktu melenyapkan setiap alasan—mengapa ia harus datang lagi ke sana, lucunya pagi ini tiba-tiba Elita mendesaknya agar pergi. Lantas sebuah intuisi mendorongnya agar cepat-cepat menghadapi kenyataan untuk duduk lagi di balik meja ruang tamu kediaman Karenina.

Elita memperhatikan keadaan sekitar, tak jauh berbeda dengan rumahnya. Saat ia baru menyadari alasan kedatangannya—barulah ia keluarkan ponsel dari waist bag di dada, gadis itu cukup tomboi jika harus berpakaian bebas di rumah, satu-satunya rok yang sering dipakai Elita mungkin hanya rok sekolah saat atribute itu adalah kewajiban yang harus diikuti setiap siswi di sekolah. Kali ini saja gadis itu kenakan ripped jeans dengan robekan di segala sisi, t-shirt polos serta kemeja tartan dengan lengan yang digulung tanpa menyematkan kancing di bagian depan, ia juga hanya mencepol rambut panjangnya tinggi-tinggi.

"Kalian mau minum apa?" tanya Karenina memecah keheningan selang beberapa detik sebelumnya, ia tatap kakak dan adik itu bergantian.

"Emangnya kalau Elita request, bakal dibuatin nggak, Kak?" Gadis itu pamerkan deretan giginya.

"Emangnya Elita mau minum apa? Ya pasti boleh asal bukan jenis cocktail ya, nggak ada soalnya."

"Jus stroberi."

"Oh itu, boleh kok, kayaknya masih ada bahan di kulkas." Karenina mengingat-ingat sebelum alihkan pandang pada Denial. "Kamu mau minum apa?"

"Kopi." Singkat, padat dan jelas. Akhirnya Denial miliki alasan untuk menikmati lagi minuman itu tanpa perlu repot-repot memaksa si tuan rumah, kopi adalah salah satu dari sekian banyak hal yang Denial rindukan dari seorang Karenina.

Schatje (completed)Where stories live. Discover now