SEBUAH USAHA MEMPERBAIKI.

12.1K 1K 80
                                    

Banyak kisah mengudara
Mencipta juga seribu prahara
Kala pedih masih menyapa
Biar waktu melupa jua.

(Schatje, aprilwriters)

***

Kelopak mata pria lima puluh tahun itu mengerjap beberapa kali—berharap penglihatannya takkan salah, harusnya terhidang beberapa tangkup roti tawar berselai atau nasi goreng yang biasanya mengisi meja makan kala pagi, tapi pemandangan yang Rahadia...

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kelopak mata pria lima puluh tahun itu mengerjap beberapa kali—berharap penglihatannya takkan salah, harusnya terhidang beberapa tangkup roti tawar berselai atau nasi goreng yang biasanya mengisi meja makan kala pagi, tapi pemandangan yang Rahadian lihat kali ini sangat berbeda, tampak monokrom dengan warna cokelat, menarik sekaligus menggiurkan.

Ia memperhatikan sekitar, Parmini pergi ke pasar, sedangkan anak perempuannya belum terlihat menuruni anak tangga sejak pagi, atau mungkin Rahadian yang belum menyadarinya.

"Siapa yang buat croissant di sini? Siapa yang delivery, saya nggak merasa," gumam Rahadian, ia masih berdiri di dekat meja makan, kagum sekaligus bingung menghadapi sarapan yang berbeda.

Terdengar derap langkah mendekat, Rahadian menoleh ke arah pintu tatkala seseorang masuk.

"Mau sarapan, ya, Pak?" tanya Parmini seraya membawa dua kantung hitam berisi belanjaan yang dipesan Karenina, ia mendekat ke arah kulkas dan membukanya, kini Parmini mulai sibuk meletakan sayuran serta beberapa ikan segar di sana.

"Iya." Rahadian menggaruk pelipis kiri, ia menatap isi meja makan serta Parmini bergantian. "Siapa yang delivery menu sarapan kayak gini pagi-pagi, kayak di kafe aja."

Parmini mengernyit, ia beranjak tinggalkan kantung di di depan kulkas. "Lho, itu Mbak Karenina yang buat kok. Bapak nggak tahu memangnya?"

"Karen-Karenina yang buat?" Rahadian cukup skeptis.

"Iya, sejak Mbak Karen nggak kerja lagi—itu dia rajin masak, Pak. Rajin belanja, dia suka coba-coba menu yang saya nggak mudeng namanya. Kayak daging sapi dipanggang begitu."

Rahadian menahan tawa. "Begitu? Oke, saya mau menikmati sarapan yang dibuat putri saya." Ia menarik kursi dan hempas pantat di sana, tangan kiri menopang dagu. Bukannya memulai sarapan—justru sibuk mengagumi tatanan menu di depannya, sedikit rasa tidak percaya merasuk meski beberapa kali memang pernah melihat Karenina memasak, tapi tiada sangka jika sepiawai itu. Darah Liliana mengalir jelas, sikap penuh kejutan di balik keterdiaman.

Rahadian mengulum senyum, ia raih secangkir kopi yang tersedia, meneguknya dan rasakan nikmat yang sama, kopi buatan Karenina selalu mengapungkan lagi rasa rindu yang selalu tertanam di sudut hati, menumbuhkan lagi perasaan sama terhadap Liliana sebelum segala kesedihan benar-benar menghampiri.

Ia menghela napas, diam menerawang. Merasakan sesuatu yang tak asing datang mengusik perihal sesal tanpa batas, perihal sikap laki-laki yang tak bisa bertanggung jawab mengurus keluarga kecilnya sendiri, melukai mereka yang ia sayangi, bahkan menyudahi nyawa satu sosok saat putuskan bunuh diri. Lantas, harus disebut apa Rahadian sekarang? Pecundang atau penjahat? Bahkan usai kepergian Liliana, pria itu masih belum mampu berdiri di atas kakinya sendiri, semua bukan tentang materi, tapi bayang-bayang sang ibu yang enggan pergi—selalu mengontrol Rahadian dengan kehendak sendiri, bagaimana mungkin seorang ayah diajarkan untuk membenci putrinya?

Schatje (completed)Where stories live. Discover now