SENJA TANPA HUJAN.

12.3K 1.1K 96
                                    


Senja tanpa hujan
Merona tanpa air mata
Senja tanpa hujan
Melenyapkan resahmu sementara.

(Schatje, aprilwriters)

***

"Kenapa kalian nggak ngomong!" Royan cukup meradang, ia menatap kesal Jesslyn. "Dan elo, elo sepupu gue, Jess. Kenapa sembunyiin ini, sekarang kalau Karenina kenapa-kenapa siapa yang bakal disalahin kalau bukan gue. Gue yang bawa dia keluar, gue yang tanggung jawab atas dia!" Ia emosi dan memukul pilar gedung di sebelahnya, persetan dengan kulit buku-buku jari yang kini kemerahan, amarah Royan memang meningkat drastis usai mendengar setiap kata tentang kisah Karenina dan Denial dari pasangan kekasih di depannya.

"Gue minta maaf, Bang." Jesslyn semakin mengeratkan genggamannya pada Nathan, ia menunduk takut tatap mata Royan, sepupunya itu jika sedang marah—terlalu nekat jika harus diganggu. "Gue pikir kalau lo bawa Karen ke sini udah cukup buat Denial cemburu, gue nggak nyangka kalau dia bakal bawa Karenina pergi. Gue minta maaf."

"Iya, Bang," imbuh Nathan, "Denial emang orang yang nekat, tapi gue nggak pernah kepikiran kalau dia bawa Karenina pergi—padahal jelas ada Benaya di sini."

"Cih! Goblok emang, Benaya mana—" Royan memperhatikan sekitar, keadaan dalam gedung semakin sepi usai satu per satu orang tinggalkan tempat itu, acara baru selesai pukul dua siang. Tentunya, Royan tak menikmati sedetik pun yang terjadi, kecemasannya terus bertambah seiring berlalunya waktu. Lalu, mendengar kisah yang dibagi Jesslyn dengan Nathan semakin membuatnya ingin mengamuk saja. "Kalau gue tahu Denial emang kayak gitu, nggak bakal gue bawa Karenina ke sini!" Royan memukul lagi pilar di sebelahnya, ia menyugar rambut dan melangkah keluar gedung.

"Bang! Lo mau ke mana!" teriak Jesslyn, ia menarik Nathan hampiri Royan yang begitu tergesa menuju tempat parkir.

"Cari Karenina, lah!" Royan loloskan jas putih begitu saja, ia membuka pintu mobil sisi kanan dan melemparnya asal.

"Cari ke mana? Kita aja nggak tahu Karenina ada di mana, kalau gue tahu juga mau banget ikut cari." Jesslyn benar, tak satu pun dari mereka yang tahu keberadaan Karenina, kenapa kesialan memeluk erat Royan hari ini, kenapa ia mengacaukan segalanya.

"Argh!" Royan duduk di balik kemudi, ia memukulnya. "Setan semua!"

***

Masih di sana, mereka masih di dermaga Pantai Ancol yang cukup panjang itu meski terik matahari enggan menyingkir dari peraduannya. Karenina berdiri di balik baris kayu yang menjelma sebagai pagar pembatas dermaga, kedua lengannya bersidekap di permukaan kayu. Eboni Karenina hanya dapati kepungan air sejauh mata memandang, toh lebih baik menatap arus laut ketimbang manusia yang berdiri sekitar satu meter di sisi kanan. Mati-matian Karenina menjaga jarak dengan Denial sejak pertengkaran mereka dua jam lalu, seseringnya Denial mendekat pun Karenina ikut bergeser bahkan mengancam lompat ke laut jika Denial enggan mengalah.

Tawaran makan dan minum pun Karenina abaikan, berbicara saja enggan, ia tutup mulut rapat-rapat. Lebih baik begitu, setidaknya Denial tahu cara mengalah dengan baik dan benar kali ini.

Denial terus memperhatikan gerak-gerik Karenina, benar-benar sebiru laut, tampak dangkal meski mampu menenggelamkan siapa saja. Mungkin juga ... Denial sebenarnya sudah tenggelam, telanjur jatuh meski ia mati-matian menyangkal semua itu. Denial hanya tahu kalau ia mencintai Benaya saja, tidak etis kalau perasaannya mendadak putar haluan hanya karena perempuan yang baru dikenalnya sebulan.

Entah apa yang merasuki pikirannya saat Denial melihat Karenina melangkah seorang diri ke arah toilet ketika di gedung reuni pagi tadi, tiba-tiba saja senyumnya merekah hangat seolah temukan sesuatu menyenangkan. Ia meninggalkan Benaya yang masih berbicara dengan teman lama, menunggu di dekat toilet seraya meyakinkan diri kalau makhluk yang tadi dilihatnya adalah Karenina.

Schatje (completed)Where stories live. Discover now