AURA LAUT.

1.2K 138 8
                                    


Bukan langit yang runtuh, tapi kesedihanmu. Bukan api yang bergelora, tapi rasa syukurku.

Schatje, aprilwriters.

***

Benar-benar malam, tapi bukan masalah bagi Karenina, ia sudah melihat sunset saat mereka beristirahat beberapa waktu lalu, jadi sekarang malam serta udara laut Anyer yang menyapa, seramah kedatangan Karenina ke tempat ini. Perempuan itu erat menggandeng Denial kala mengajaknya melangkah di bibir pantai, dari kanan ke kiri tanpa peduli jika ombak yang datang sibuk menarik mereka menuju tengah.

Ketenangan dan damai, dua hal itu sangat berpengaruh bagi psikis Karenina, berbaur dengan alam, ternyata self healing seperti ini yang Karenina butuhkan. Denial berupaya mengikuti kata hati perempuannya karena ia sadar tak selalu bisa berbuat banyak, dan jika mengingat lagi keinginannya untuk mengajak Karenina ke psikiater, ia merasa sangat jahat, untung saja belum terlontar dari bibir hingga detik ini.

Rambut panjang Karenina selegam langit malam, bergerak bebas tak tahu aturan karena euforia di pantai saat petang justru kian menghanyutkan. Denial memiringkan kepala, menelisik lebih jelas jika wajah perempuannya memang tak bisa berhenti tersenyum, bulan masih muda, dan ia tak bisa berkata-kata.

Kulit yang menutupi tulang pipi terlihat sangat merona bukan karena sentuhan blush on, tapi memang aura senang serta inner beauty seorang Karenina sedang bersinar tanpa sungkan. Jika hal seperti ini menjadi kesenangannya, Denial siap meluangkan waktu lebih banyak.

"Besok saya mau beli mesin es krim." Perempuan itu berbicara, beberapa juntai anak rambutnya menyentuh wajah, tapi tak mampu menyembunyikan senyum di sana.

"Mesin es krim?" Sesekali Denial menunduk pada kaki-kaki mereka yang basah, meski ujung celana sudah dilipat, tapi terjangan ombak berulang-ulang naik.

"Iya, saya mau belajar buat es krim, nanti kalau besok saya buat sorbet, kamu cobain ya?" Karenina-nya telah kembali, jika perempuan itu sudah membahas tentang urusan dapur, ia seperti menemukan dirinya lagi.

"Kamu buat apa aja aku siap nyicip kok."

"Sorbet ditambah saus?"

"Emang ada? Jadi, sorbet ala-ala Sisca Kohl ya." Mereka terbahak. "Asal jangan racun, nggak apa-apa. Masih aman."

"Sakit perut, mules-mules?" Langkah Karenina terhenti, ia menilik wajah Denial. "Iya."

Laki-lakinya mengangguk. "Iya, kan tadi udah bilang, aku apa aja mau kok."

Kedua ibu jari Karenina terangkat. "Beres, berarti saya harus atur jadwal buat ngurus food truck lagi."

"Ah, mau buka lagi, ya?" Berita baik, Denial ingin segera mengatakannya pada Zian. Untuk pertama kali ia merasa lebih baik Karenina sibuk mengurus foodtruck ketimbang diam di rumah dan terjebak dengan rasa bersalahnya, karena efek yang ditimbulkan cukup ampuh membuat perempuan itu hampir gila.

Karenina mengangguk, "Udah lama food truck saya tutup, sayang kalau enggak dilanjutin lagi. Habis ini saya mau buka laptop, mau belanja, mau buat menu baru, mau kasih diskon lagi. Pokoknya saya mau semuanya." Ia berkata seolah siap menghadapi dunia yang luasnya tanpa ujung ini, penuh semangat dan ambisi nan berkobar di sepasang mata. Karenina ini memang pintar, ia seperti sebuah drama, bisa melambungkan perasaan penonton karena adegan bahagia, tapi bisa juga menjerumuskan hati karena sad scene.

"Bener banget, aku setuju kalau kayak gitu, Sayang. Jadi, kalau makan siang aku enggak puasa lagi, soalnya ada yang masakin lagi."

"Puasa? Kamu nggak pernah makan siang?"

Schatje (completed)Where stories live. Discover now