BISAKAH DIAM?

998 110 13
                                    


Bisa diam tidak?
Segala hal tentangmu sudah berbeda, kita tak lagi sejalan, dan jangan pernah menjadi lawan.

Schatje, aprilwriters.

***

Lagi-lagi suasana di balik meja makan tak lengkap karena Denial belum pulang, anak laki-laki mereka menikmati sarapan di rumah kekasihnya. Elita terus memperhatikan gerak-gerik Zian serta Anne nan terlihat santai saja, apakah mereka tak berpikir jika anak keduanya mungkin melakukan sesuatu di luar sana—seandainya Elita tahu jika sang kakak tidur di rumah Karenina. Saat menerima telepon Zian berada di kamar, lalu memberitahu Anne dan mereka sama sekali tak bermasalah tentang hal itu.

Jadi, Elita-lah yang paling merasa cemas di sini, sementara orangtuanya menikmati sarapan dengan santai.

Saat suara deru motor terhenti di luar rumah, buru-buru Elita bangkit dan bergerak keluar, orang tua gadis itu saling menatap seraya mengedik bahu, mereka tersenyum penuh arti.

Elita berlari hingga teras, ia menemukan Denial melepas helm, laki-laki itu masih memakai kemeja kemarin. Saat netra mereka bertubrukan, Denial terdiam sejenak seperti terkejut, detik berikutnya ia berusaha bersikap biasa saja, melangkah santai melewati sang adik yang berkacak pinggang seraya meyipit curiga.

Elita mengekori sang kakak sementara laki-laki itu menapaki satu per satu anak tangga menuju kamar sembari membuka kancing kemeja. Ia berhenti dan menoleh karena jejak langkah di belakangnya cukup mengusik. "Ngapain?"

"Lo dari mana, kenapa semalem nggak pulang? Lo ngelakuin hal yang nggak bener pasti kan? Ngaku lo!" cecar Elita.

Oh, berarti papa nggak ngomong apa-apa ke Elita kalau tadi gue telepon.

Denial tersenyum miring. "Ya emang kenapa kalau gue nggak balik semalem, lo bukan istri gue kan?" Ia lanjut melangkah tanpa memedulikan Elita lagi meski gadis itu tetap mengekor.

"Gue juga ogah jadi istri lo. Keajaiban tuh Kak Nina mau jadi pacar lo, gue bilangin nih ke dia kalau pacarnya semalem nggak pulang. Pasti ngelakuin hal yang nggak bener."

"Oh ya?"

"Gue serius tahu!" Elita memang bersungguh-sungguh, ia merogoh ponsel dari saku celana saat Denial membuka pintu kamar. Laki-laki itu tertawa geli, tanpa menanggapi ia membanting pintu, terserah bagaimana Elita berarsumsi tentangnya saat ini, yang jelas setiap tuduhan Elita adalah salah besar. Mungkin gadis itu akan syok jika benar-benar menghubungi Karenina. "DENIAL NURAGA! AWAS LO YA! GUE BAKAL NGADU KE KAK NINA, TUNGGU AJA LO DIPUTUSIN AMA DIA!!!" Ya meski Elita berteriak menggunakan pengeras suara sampai manusia satu komplek mendengarnya pun tak ada pengaruh apa pun terhadap Denial, laki-laki itu sedang bahagia pagi ini.

Setelah mandi dan mengganti pakaian kerjanya, Denial turun ke lantai utama, sementara sang papa sudah bersiap berangkat ke kantor. Elita juga akan pergi kuliah, gadis itu masih menatapnya penuh curiga seolah belum menemukan titik terang tentang situasi kakaknya semalam.

"Kenapa ngelihatin gue kayak gitu?" Denial mengangkat dagu. "Udah telepon Karenina belum? Dia jawab apa pas lo tanyain?"

"Kak Nina nggak angkat telepon gue, tapi nanti mau langsung gue samperin ke lapak foodtruck dia, abis lo." Ia menunjuk-nunjuk sang kakak sebelum ikut masuk ke mobil yang ditumpangi Zian, lenyap dari mata Denial setelah supir mengajak mereka pergi.

"Gila ... gila. Gue punya adik emang anti mainstream, tapi yang kayak gitu emang bagus buat dipelihara, serasa punya satpam pribadi kan ya."

***

Schatje (completed)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant