ANGAN SECANGKIR KOPI.

11.8K 1K 102
                                    


Aroma nikmat mengudara
Berbisik, menjadi candu
Banyak hal membuat terlena
Salah satunya engkau, membuka pintu ruang rindu.

(Schatje, aprilwriters)

***

Aktivitas kesibukan dalam kantor Nuraga's Construction terlihat seperti biasanya, terutama jika tiba hari Senin, terkadang orang-orang masih ingin tinggal di hari Minggu, tapi kenapa harus bersebelahan dengan hari Senin. Sedangkan hari Senin menuju Minggu ternyata cukup jauh, bukankah menjengkelkan sekali.

Para karyawan duduk di balik kubikel, atau meja dari ruangan khusus untuk orang-orang dengan pangkat tertentu. Semua tampak normal seperti biasa, Office Boy terlihat mengelap kaca penuh semangat meski peluh mulai berjatuhan, suhu cuaca pagi sudah mencapai 30° saja, AC paling diandalkan untuk hari ini.

Seorang Office Girl terlihat membawa nampan berisikan secangkir kopi pesanan seseorang, ia keluar dari pantry di lantai tiga, langkahnya terus mengarah di koridor hingga tiba di depan ruangan paling ujung.

Office Girl bertopi biru muda itu mengetuk pintu. "Permisi, Pak. Saya mau antarkan kopi."

"Masuk aja," sahut seseorang dari dalam.

Gadis itu masuk usai memutar kenop, ia tersenyum kecil menatap putra pemilik kantor tempatnya bekerja, baru hari ini ia bisa melihat langsung pelaku utama dari gosip yang sering didengarnya ketika lewati kubikel karyawan, atau saat beberapa dari mereka membuat minumnya sendiri di pantry dan ia tak sengaja mencuri dengar. Rupanya benar seperti ucapan banyak karyawati di kantor kalau Denial Nuraga terlalu tampan, tak jauh beda dengan Elang Nuraga—kakaknya.

Gadis itu bahkan mematung sejenak saat bola matanya tercuri oleh ekspresi serius Denial yang sibuk kerjakan beberapa dokumen dari laptopnya, ekspresi dengan kening mengerut serta wajah tegas rupanya membuat si OG gugup luar biasa.

Denial merasa ada yang aneh, memang kenyataannya begitu. Ia menengadah tatap si OG yang kini menelan ludah saat tatapan Denial menghunus tepat di netranya tak ada penghalang sama sekali.

"Kok masih diam? Apa mau diminum sendiri?" tanya Denial sedikit kesal.

"Ma-maaf, Pak." Buru-buru gadis itu letakan secangkir kopi di dekat laptop. "Sekali lagi maaf, saya permisi." Ia tancap gas tinggalkan ruang kerja Denial seraya membawa rasa gugup luar biasa, sampai kecolongan hanya karena melihat ekspresi serius laki-laki tadi. Tentu saja baru hari ini ia bisa membuatkan kopi untuk Denial, sebab hari-hari sebelumnya bukanlah OG atau OB yang buatkan kopi untuknya, dia sudah tak lagi di sana—meninggalkan bekas samar dalam diri seseorang.

Denial lirik kopi hitam itu, ia meraihnya seraya membaui aroma yang khas, seteguk berhasil ia sesap, tapi diletakannya lagi. Manis, tapi terasa sangat berbeda.

Denial mendesah, ada rasa rindu menelusup lewat secangkir kopi. Laki-laki itu tatap pintu ruangannya, tak ada seseorang yang datang untuk mengantar kopi itu lagi.

"Oh ya, kopi yang lo buat itu ... takaran gula sama kopinya berapa sendok, gue mau buat sendiri di rumah."

Karenina kembali menoleh. "Rasanya nggak akan sama."

"Kenapa?"

"Beda tangan, beda rasa. Saya buat kopi seperti yang mama saya buat." Ia kembali tatap kaca lobi. "Waktu kecil saya suka lihat mama buat kopi, saya perhatikan apa pun yang dia lakukan, saya tiru caranya, tapi rasa nggak sama."

Schatje (completed)Where stories live. Discover now