RUANG HAMPA.

20K 1.4K 20
                                    


Pintu kamar Karenina tiba-tiba dibuka, tanpa menoleh pun perempuan itu tahu jelas siapa yang bisa masuk kamarnya tanpa izin atau bahkan mengetuk pintu lebih dulu. Karenina sendiri masih duduk di sofa panjang dekat jendela seraya pangku laptopnya, ia sibuk urus pekerjaan yang diberikan oleh Zian.

"Kamu serius mau hadir di pertunangan Rega dan Salma?" tanya Lili tanpa basa-basi, sifat ingin tahu wanita itu memang sangat kentara, selalu to the point.

"Iya," sahut Karenina begitu singkat, ia sama sekali tak alihkan fokus dari laptop dan biarkan kedua tangannya terus menari di atas keyboard.

"Memangnya kamu nggak punya malu?" Lili yang berdiri di ambang pintu menerawang sejenak. "Ah iya, kamu kan nggak punya rasa malu, seperti ibumu."

Saliva itu rasanya seperti sulit ditelan, syaraf otak Karenina seketika beku, ia bergeming. Andai Karenina bisa tulikan telinganya tiap kali Lili katakan hal yang berbau ejekan atau sesuatu yang terhubung dengan Liana, tapi semua itu seolah tidak mungkin.

Dunia kejam, fakta.

Karenina tutup laptopnya, ia menoleh pada Lili yang seakan menanti jawab dari perkataan sarkasnya tadi.

"Kalau Rega bahagia, kenapa enggak? Karenina siap senang buat dia dan—"

"Omong kosong!" potong Lili, "jadi perempuan itu jangan munafik, kalau saya jadi kamu, saya nggak akan sudi datang. Lagipula kamu memang nggak punya harga diri, berwajah tebal. Jadi nggak takut buat malu, cih!" Setelah berkata cukup kasar, Lili tinggalkan kamar Karenina begitu saja tanpa memikirkan kalau ia sudah tinggalkan sayatan baru bagi Karenina, sayatan lama telah kering, kini sayatan basah satu per satu menghunjam tanpa ampun.

Dunia seolah mengajak Karenina bermain, sengaja curang dan biarkan gadis itu merasa malang.

Perempuan itu tersenyum tenang, menangis pun takkan pernah mengubah hidup Karenina yang seperti sayatan luka itu, sekalipun ditutup plester luka maka bekasnya tetap ada. Untungnya, tubuh itu masih sanggup menopang apa pun beban berat yang seolah gerogoti setiap inci bagian tubuh Karenina hingga ke akarnya, bahkan seringkali membuat empunya kesulitan bernapas saat rasa sakit menekan bagian dada.

Untungnya, detak jantungnya masih sanggup berdetak sekalipun banyak masalah yang hadirnya bagai sengatan petir, menyengat pada inti dan terus mengakar tanpa tahu kapan habisnya.

Karenina tertawa kecil, dia tidak menangis. "Oma benar, harusnya Karenina nggak datang ke acara bahagia laki-laki yang sudah tinggalkan Karenina untuk perempuan lain. Cuma, mama pernah bilang kalau Karenina nggak boleh membalas perbuatan buruk orang lain, Karenina harus berlaku sabar, semua ada timbal baliknya," gumam Karenina sebelum kembali buka laptop dan cek ulang file yang digarapnya tadi, terkadang Karenina benar-benar bisa setenang air.

***

"Lusa udah acara pertunangan elo sama Salma, kenapa masih main ke bar aja. Tobat sekali-kali," ledek Denial yang baru datang dan duduk di sisi Rega.

Rega tidak mabuk, hanya sesap selinting rokok yang membuatnya tenang sebentar, membuatnya tak dilanda kecemasan walaupun sesaat. Laki-laki itu duduk pada sofa navy yang tergeletak di sudut bar, kini Denial datang menemani rasa kacaunya sejak hubungan itu terpaksa diakhiri meski Karenina hanya tahu kalau Rega berkhianat di belakangnya.

Tidak, Rega takkan sejahat itu, ia hanya pion yang harus taat aturan.

Rega tak menoleh pada Denial yang menatapnya penuh tanya, Rega masih sibuk nikmati sesapannya yang seolah alihkan dirinya dari ribuan masalah di kepala.

"Nggak suka ya sama Salma?" terka Denial tiba-tiba, ia bukan tipikal manusia yang mudah ikut campur urusan orang lain, tapi sesuatu yang didengarnya siang tadi seakan mendorong Denial untuk tahu lebih jauh meski bukan ranahnya.

Schatje (completed)Where stories live. Discover now