EXTRA PART.

10.1K 451 41
                                    

Masih kulangitkan doa untuk segala asa agar kelak Engkau membumikan upaya menghapus luka.

Schatje, aprilwrites.

***

"Hai, apa kabar? Maaf ya baru sempat datang ke sini, saya terlalu sibuk sama dunia saya sampai lupa soal kamu." Lengkungan tipis muncul di wajah meski beda dengan bahasa hati, sedih sendiri. Ia tahu, bahkan semua orang juga tahu kalau pemakaman adalah tempat untuk menangis, atmosfer kelabunya memiliki efek yang cukup kuat untuk memunculkan petir dalam dada seseorang sebelum mereka akhirnya menjatuhkan air hujan di wajah, bahkan saat langit sedang baik-baik saja.

Tak ada secuil rumput tumbuh di sana, pasti keluarganya sering datang untuk membersihkan makam Royan, yang Karenina temukan adalah banyaknya sisa-sisa taburan bunga memenuhi permukaan makam, ia menambahkannya lewat keranjang berisi campuran kelopak bunga yang lebih didominasi oleh mawar putih. Karenina masih mengingat arti mawar putih dari kertas yang dibagi anak kecil tunawicara sang penjual bunga hari itu.

Mawar putih melambangkan ketulusan.

"Saya, orangtua kamu atau siapa pun itu pasti merasa sangat nggak ikhlas melepas kamu pergi, apalagi kamu berbagi surprise ke saya, surprise yang benar-benar menyakiti hati. Ini sama sekali nggak lucu, Royan. Kepergian kamu meninggalkan jejak luka dalam benak saya, kenapa kamu menyakiti saya?" Ya, Karenina selalu menyadarinya, mempersiapkan mental serta perasaan sebelum ia berkunjung ke makam Royan, air hujan yang kini datang bukan sekadar panggilan alam, tapi juga suara hati yang sejak lama meronta-ronta untuk diluapkan. Ia bisa sepuasnya menangis, meraung atau menjerit di sana, tapi sebuah fakta terpaksa menampar Karenina agar menyadari jika tangisan darah pun takkan membuat Royan kembali, sebaiknya ia berilusi.

Elegi seolah dibawa angin yang sedari tadi menyambutnya tanpa permisi, mengajaknya menari. Bilur luka yang Karenina rasakan usai Royan memutuskan menyingkir tanpa paksaan benar-benar panjang, untuk kedua kalinya Karenina kehilangan seseorang setelah sang ibu menjadi yang pertama. Rasanya tetap sama, sedih setiap masa.

Ia masih bersimpuh di dekat pusara bertuliskan Royan Juliaska, nama seseorang yang hanya tinggal nama, bukan lagi raga yang dapat dilihat bola mata, tapi sebuah ingatan kecil yang akan tenggelam dalam sanubari. Royan akan menjadi memoar, sebuah cerita yang pernah melengkapi kehidupan Karenina, sosok laki-laki yang selalu sibuk menguatkan meski jauh di belakangnya rasa sakit tengah ia rasakan.

"Kamu bilang saya pasti kuat, ya setiap hari saya melakukannya, Royan. Demi kamu, dan demi semua orang, tapi di sini saya mau bilang kalau menjadi kuat adalah sebuah kemunafikan, saya nggak setegar itu, saya juga manusia yang bisa rapuh kapan pun." Diusapnya pusara Royan seolah mengusap pemiliknya, Karenina akan memuaskan diri menangis sebanyak-banyaknya di tempat ini, ia telanjur berjanji pada banyak orang untuk tidak bersedih lagi, tapi siapa yang tahu keadaan sesungguhnya? Menyimpan luka bukanlah satu hal baik, lambat laun kepedihannya semakin naik dan berakhir menjadi kisah pelik.

Di sini orang-orang tak perlu melihat air matanya, tak perlu bertanya mengapa, sebab menangis sama saja mengurangi rasa sedih, mengosongkan luka dari dada yang semakin terhimpit rasa sesak.

Denial kini memilikinya, tapi Royan juga memiliki tempat tersendiri dalam benak Karenina, di sudut yang tak perlu tergali lagi, tetap tersimpan di sana dan terjaga selamanya.

"Saya menangis sedikit lagi, ya. Kamu nggak apa-apa, kan, Royan? Kamu nggak perlu melihatnya, cukup saya yang rasa." Karenina menyandarkan kepalanya pada pusara, ia menunduk menikmati tangisan yang membuat banyak orang iba jika melihatnya, untung Karenina memilih tempat yang tepat, meski setelahnya mungkin orang-orang akan bertanya mengapa wajahnya sembap.

Schatje (completed)Where stories live. Discover now