BADUT DI LADANG LUKA.

17.1K 1.4K 29
                                    


Hujan begitu menjengkelkan ketika mengguyur Senin yang menyebalkan, semua berlangsung sejak pukul enam pagi meski tanpa gelagar petir, tapi tetap saja membuat banyak orang tak nyaman ketika semua berharap hari pertama masuk kerja yang menyenangkan setelah akhir pekan terlewati. Katanya, Senin lebih keramat dari Jumat, beberapa orang menganggap seperti itu setelah hari libur telah terpangkas habis.

Harusnya pagi ini laki-laki berkemeja biru navy dengan lengan terlipat sebatas siku itu kendarai motor yang telah diperbaiki kemarin. Namun, hujan menggagalkan rencananya, ia terpaksa berangkat menggunakan mobil dengan sang ayah agar terhindar dari serangan hujan.

Hari-hari selanjutnya di bulan Desember, musim hujan sudah bisa diprediksi, jadi mengeluh bukanlah sesuatu yang bisa mendesak agar air langit sungkan turun. Mereka bebas terjun sesuka hati menerjang nabastala tanpa takut kenapa, tanpa peduli ratapan makhluk bumi di bawahnya.

Sekarang mendekati angka delapan, tapi hujan masih turun dengan intensitas sedang. Mobil yang Denial kemudikan telah menempati posisi parkir yang tepat, ia raih sebuah payung yang tergeletak di jok penumpang. Sang ayah yang duduk di sisi kiri terlihat lepaskan seatbelt sebelum rapikan jas hitam formal yang ia kenakan.

Denial keluar seraya buka payungnya, ia seperti seorang supir yang kini memutari kap mobil dan bukakan pintu sisi kiri untuk sang ayah seraya memayunginya. Harusnya memang dikemudikan supir, tapi karena Denial ikut—jadilah laki-laki itu yang menggantikan posisi supir, terkadang Zian memang pandai membuat lelucon.

Ayah dan anak itu kini melangkah hampiri beranda kantor, beberapa karyawan juga baru datang beriringan dengan lirihan keluh kesah atau umpatan dari bibir mereka karena hujan benar-benar mengusik Senin ketika orang-orang menganggapnya hari sialan, kali ini lebih sialan lagi.

Denial meletakan payungnya begitu saja di lantai sebelum melangkah melewati lobi di belakang ayahnya, laki-laki itu mulai sibuk dengan urusan ponsel tanpa peduli tatapan beberapa karyawati serta perempuan di balik meja resepsionis.

Ketika Zian sempatkan waktu tersenyum sekadar membalas sapaan para karyawannya, sang putra justru tak acuh, beda sekali dengan sikap Elang yang mirip sang ayah. Pria yang kini miliki seorang putri kecil berusia enam tahun itu memang jarang terlihat di kantor Zian saat sibuk mengurus kantor cabang yang setahun terakhir Zian serahkan sebagai tanda terima kasih atas kontribusi terbaik dari sang putra selama lima tahunan bekerja di Nuraga's Construction.

Dulu, Elang yang sering menjadi bahan cuci mata para karyawati kantor sekalipun pria itu telah miliki istri, mungkin kali ini Denial yang akan gantikan posisi Elang sebagai bahan cuci mata yang baru.

Lift terbuka sebelum Zian akhirnya masuk, ketika pintu hampir menutup sempurna, tangan kanan Denial lebih cepat menahan hingga pintu terbuka lagi.

Zian mengernyit tatkala anaknya ikut masuk. "Kamu ngapain? Papa mau langsung ke lantai tujuh, bukannya kamu di lantai tiga?"

"Ya iya, emang kenapa?" Denial mengusap tengkuknya. "Cuma mau mampir sebentar."

Zian menyipit seraya tersenyum penuh arti.

"Kenapa tatapannya mesti kayak gitu?" protes Denial.

"Nggak apa-apa, lanjutin," sahut Zian.

Tak berselang lama pintu lift terbuka, keduanya keluar dan melangkah beriringan di sepanjang lorong menuju ruang kerja Zian.

Denial yang sedari keluar dari lift sibuk dengan urusan ponselnya sengaja menoleh ketika melewati ruang kerja Karenina meski pintu tertutup rapat. Laki-laki itu tersenyum tipis, sesuatu memang terus merambat dan semakin membesar dalam benaknya, mencipta sebuah ruang kosong untuk seseorang yang mungkin sudi menyelinap sejenak.

Schatje (completed)Where stories live. Discover now