TANGKAI-TANGKAI MAWAR.

14.4K 1.1K 46
                                    


Ranum pipi itu sedikit merayu
Suara merdu berseloroh sedu
Frasamu mengangkasa, hujanmu membumi
Kala bahagia hanya wacana, kesakitan siap membanjiri.

(PHOSPHENES, aprilwriters)

***

Banyak frasa yang dilangitkan setiap detiknya, terutama dari mereka yang mengalun doa meski terkadang awan menyembunyikan banyak rayuan pun cakrawala yang sodorkan sejuta pilihan.

Baskara masih tidak baik-baik saja saat gumpalan awan kelabu menggantung di angkasa, Desember masih harus dijalani selama sepuluh hari ke depan bersama kubik air hujan yang belum menemukan titik akhirnya. Sedangkan bayu sibuk menyapa orang-orang yang singgah di luar ruangan, menjatuhkan banyak dedaunan kering yang merapuh, meluruh meski tak pernah berharap akan jatuh.

Bandara adalah tempat yang baru saja Karenina kunjungi usai mengantar sang oma yang hendak pulang ke Palembang—tanah kelahirannya—selama beberapa waktu, Karenina tak bisa memastikan kembalinya wanita paro baya itu. Lagi, Lili jelas tak sudi membicarakan sesuatu yang bisa membuatnya akrab dengan perempuan itu, sebab yang bisa Lili katakan pada Karenina hanyalah hunjaman kata sarkas nan menyakitkan, persis seperti sikap Lili terhadap menantunya semasa Liana masih hidup, nyaris tak ada kalimat merdu, hanya sekat-sekat sendu yang mengharu biru.

Angka jarum jam mendekati pukul sepuluh, jalanan ibukota tak ada kekosongan meski hujan deras siap diluncurkan bersamaan gelagar yang pongah akan kehadirannya.

Mobil terhenti di balik zebra cross saat lampu merah berkuasa, pada akhirnya waktu seolah mundur bersamaan rintik gerimis yang gugur.

Karenina masih nikmati waktu senggang seraya perhatikan sosok gadis berhijab berusia sekitar sepuluh tahun tengah duduk di selasar sisi tiang lampu merah, sekranjang bunga mawar penuh warna berada di pangkuan si gadis, ia terlihat tak peduli dengan gerimis yang terus menyerbu tanpa ampun.

Bola mata Karenina beralih tatap detik mundur kedua puluh sebelum lampu hijau menyala, saat bola matanya kembali pada gadis kecil tadi—rupanya ia sudah bangkit bergerak menghampiri mobil Karenina.

Jendela sisi kiri diketuk hingga pemiliknya menurunkan kaca, gadis berwajah pucat itu tersenyum tulus sebelum merogoh note kecil serta bolpoin dari keranjang, ia menuliskan sesuatu dan menyodorkannya di depan Karenina.

Kakak yang cantik ini mau beli mawarku enggak?

Karenina ikut tersenyum, ternyata gadis itu tunawicara. "Bunga kamu warna-warni, bunga yang cocok buat kakak ini kira-kira apa, ya?" Tatapannya beralih pada lampu merah, sepuluh detik menjelang pergantian warna.

Gadis itu kembali menulis pada note.

Kakak bisa pilih warna putih yang artinya ketulusan, pink yang artinya keberkahan, atau merah sekaligus putih yang artinya satu cinta.

Karenina sudah lebih dulu membuka pintu mobilnya seraya sodorkan beberapa lembar ratusan ribu pada gadis tunawicara itu, ia ambil alih keranjang berisikan tangkai mawar penuh warna.

"Kamu pulang sekarang, gerimis, nanti bisa sakit. Hati-hati di jalan, ya." Tangannya usap lembut kepala berhijab itu sebelum suara klakson mobil di belakangnya menyadarkan Karenina perihal lampu hijau yang menyala.

Gadis berhijab itu sekadar membungkuk seraya tersenyum, ia letakan kertas tadi pada keranjang sebelum melambai ke sisi jalan meninggalkan Karenina yang kini masuk ke mobil dan buru-buru lajukan kendaraan, ia masih sempat menoleh pada gadis berhijab itu—yang kembali bergeming di sisi tiang lampu merah seraya melambai tangan pada Karenina.

Schatje (completed)Where stories live. Discover now