BUKAN CINDERELLA.

18.6K 1.6K 10
                                    


Kawasaki Ninja hitam yang dikemudikan Denial membelah jalanan ibukota malam itu, jas putih yang dikenakannya tampak berkibar saat pemiliknya terus saja menerobos angin dengan kecepatan tinggi. Terakhir kali Denial menaiki motornya sebelum pergi ke Korea, kini ia akan lakukan semua aktivitas yang sering dilakukannya sebelum pergi ke Korea. Anggap saja nostalgia, lagipula motor kesayangannya selama ini hanya berdiam di sudut garasi dan tertutup kain putih seperti sesuatu yang usang.

Pemiliknya hanya bisa mengernyit tatap kendaraannya saat tiba di rumah kemarin malam, akhirnya ketika pagi tiba motor Denial jalani perbaikan di bengkel selama sehari sebelum malam ini akhirnya bisa dikemudikan oleh pemiliknya.

Bola mata di balik helm hitam itu tampak waspada, tangannya mengontrol kecepatan gas motor saat jalanan yang akan dilaluinya mulai ramai ketika memasuki area menuju gedung mewah tempat berlangsungnya acara.

Denial naikan kaca helmnya begitu motor berbelok melewati gapura megah gedung yang disewa Rega dan Salma, motor pun terhenti di area parkir khusus motor, Denial segera loloskan helmnya dan rapikan rambut seraya tatap spion kanan. Ia letakan helm di tanki dan beranjak turun, tatap arloji sejenak sebelum melangkah tinggalkan area parkir.

Terlihat begitu banyak karangan bunga tanda ucapan selamat dari rekan kerja, keluarga, sahabat Salma serta Rega. Langkah Denial terhenti di beranda, ia masukan kedua tangannya ke saku celana seraya tatap keadaan sekitar, semua orang yang datang kenakan gaun dan setelan jas terbaik mereka seperti pangeran dan puteri. Beberapa wajah bisa Denial kenali, ia pun hanya menyungging senyum saat orang lain menyapa.

"Woi! Denial Nuraga!" seru seorang laki-laki yang menggandeng tangan kekasihnya usai turun dari mobil, mereka melangkah hampiri Denial yang kini lebarkan senyum.

"Agam?" terka Denial, ia masih ingat betul teman SMA-nya yang suka menantang adu basket sekalipun hasilnya akan tetap kalah.

"Beneran Denial, kan, ya?" Tangan kanan Agam yang bebas menarik lengan Denial, ia tatap teman lamanya itu dari ujung kaki hingga kepala sebelum menggeleng seraya berdecak. "Masih keren aja kayak dulu sih, sekali-kali tampil ngebosenin gitu, Den."

"Mana bisa, gue udah terlahir sebagai laki-laki kece." Denial dan Agam terkekeh, Denial tatap gadis yang digandeng Agam. "Siapa? Istri?"

"Calon, kenalin namanya Eva." Agam biarkan calon istrinya dan Denial bersalaman. "Pasangan elo mana? Nggak mungkin datang sendirian, kan? Apalagi baru pulang dari Korea, semua orang tahu kabar itu, Den."

Denial tersenyum kikuk, ia usap tengkuknya seraya menggeleng. "Gue emang ke sini sendirian kok."

"Ah! Pasti cewek lo berangkat sendiri, terus nanti kalian ketemu di sini? Nggak mungkin Denial Nuraga jomlo."

"Tapi, gue emang—" Dialog selanjutnya seakan terbawa angin begitu Denial katupkan bibir usai melihat perempuan itu benar-benar datang ke acara mantan kekasihnya, Karenina terlihat sangat cantik dengan balutan gaun putih tanpa lengan, sedikit rambutnya dibuat kepangan kecil dan ditata mengitari kepala dari sisi kanan ke kiri, make up yang digunakan Karenina cukup simpel, tapi elegan. Inner beauty yang dimilikinya kini mencolok jelas hingga orang-orang yang baru datang atau hilir-mudik di beranda sampai berdecak kagum tanggapi kehadiran Karenina.

"Itu pasti ceweknya Denial!" terka Agam tanpa basa-basi lagi.

"Hah? Bukan!" Denial katupkan lagi bibirnya saat Karenina lewat begitu saja tanpa seulas senyum atau bahkan sapa, ekspresi gadis itu selalu sama, aroma parfum Karenina seolah tertinggal hingga Denial bisa menghirupnya dengan puas, aroma parfum sama seperti malam itu.

"Wah iya, bukan ternyata. Terus mana, Den?" Agam tepuk bahu Denial.

Ekspresi Denial sendiri seperti sedang kecewa. "Nggak ada, gue lagi free."

Schatje (completed)Where stories live. Discover now