EUFORIA LARA.

15.9K 1.2K 14
                                    

Tak semua bisa memahami perasaan orang lain, ada kalanya diri sendiri merasa sudah baik dan melakukan sesuatunya dengan tepat, tapi belum tentu orang lain bisa menilai hal yang sama

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.

Tak semua bisa memahami perasaan orang lain, ada kalanya diri sendiri merasa sudah baik dan melakukan sesuatunya dengan tepat, tapi belum tentu orang lain bisa menilai hal yang sama.

Denial pikir ia sudah melakukan hal yang baik, awalnya sekadar datang ke kantor saat Anne mendesaknya karena Zian enggan angkat panggilan dari sang istri, Anne memang tipikal manusia yang mudah cemas. Jadilah, Denial yang semula bersantai ria di kamarnya terpaksa kembali ke kantor melangkah masuki lobi seraya rogoh ponsel dari saku jaketnya, tapi kepala yang menunduk membuatnya tanpa sengaja berserobok dengan seseorang hingga ponsel dengan lambang bekas gigitan apel itu terjatuh ke lantai dan membuat pemiliknya berdecak kesal.

Denial membungkuk meraihnya, bibir itu hampir saja menyembur asal manusia yang masih berdiri di hadapannya. Namun, Denial pilih katupkan bibir saat menyadari kalau Zian-lah yang telah membuatnya jatuhkan ponsel.

"Ngapain kamu di kantor? Emang ada acara lembur?" tanya Zian menatap curiga sang putra.

"Kalau bukan mama yang ribut sendiri juga aku nggak bakal ke sini, buang waktu aja. Lagian, kenapa telepon mama enggak diangkat. Atau jangan-jangan ...." Lirikan Denial terlihat licik.

"Ngawur kamu, papa kan tadi sibuk, jadi nggak sempat angkat telepon mama kamu. Sekarang mau pulang kok."

Denial perhatikan keadaan di lobi, sekitar enam karyawan keluar dari lift. "Laki-laki semua yang lembur?"

"Enggak, Karenina juga lembur."

Bola mata itu tampak bersinar, lebih bercahaya ketimbang sinar rembulan. "Oh gitu, ya udah Papa pulang aja sana, Denial bawa motor kok."

"Cih, anak muda paling mau modus," lirih Zian tinggalkan anaknya yang kini bergegas hampiri lift, Zian paham ke mana tujuan anak lelakinya sekarang.

Denial terlihat seperti anak kecil yang sibuk menata perasaannya ketika hendak merayakan ulang tahun, tentang harus bagaimana rasa senangnya saat mendapatkan sebuah hadiah dan tiup lilin. Ia persiapkan perasannya hanya untuk melihat perempuan itu, sesuatu seakan meledak-ledak tak menentu, mungkinkah ia benar-benar memahaminya?

Saat lift terbuka, langkah cepat pun berlangsung, anggap saja ia terburu-buru seperti seseorang yang mendapatkan paket sejumlah uang puluhan juta.

Namun, langkahnya terhenti tepat di depan pintu ruangan Karenina. Ia mendengkus dan menggeleng, tiba-tiba saja nyali besarnya ciut dalam sekejap.

Akhir-akhir ini kelabilan sering kali hinggap setelah rangkaian adegan yang ia angankan dalam kepala, maklumlah kalau Denial bukan penulis skenario yang bisa ia lakoni untuk dirinya sendiri.

Schatje (completed)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu