BENAYA.

12.3K 1K 154
                                    


Kau adalah angin
Datang hanya sejenak
Menyejukanku sebentar saja
Meninggalkanku tanpa aba-aba.

(Schatje, aprilwriters)

***

Banyak orang berkeliaran di sekitar tempat Denial berdiri sekarang, sesekali ia melirik arloji seraya berdecak, acakan rambut cukup menafsirkan rasa kesalnya setelah lima belas menitan menunggu seseorang di bandara.

Tanpa aba-aba, sebuah dekap erat menyentuhnya dari belakang, sepasang tangan melingkar di perut Denial bersamaan kepala seseorang yang bersandar pada punggung lebar laki-laki itu.

Denial menunduk perhatikan tangan yang masih erat merengkuhnya. "Ben, ini bandara."

"Ah iya, lupa." Gadis setinggi bahu Denial itu melepas pelukannya, menarik tangan kiri Denial hingga pemiliknya memutar tubuh. "Berapa hari nggak ketemu, kok ada yang beda, ya?" Benaya mengamati dari ujung sepatu hingga manik yang terfokus padanya.

"Berapa hari emang?" Denial mengulum bibir, tangan kanan terangkat mengusap puncak kepala Benaya. "Kayak gini aja perasaan." Ia akan selalu memperlakukannya istimewa tanpa perlu mengapa, tanpa perlu menjelaskan alasannya.

"Masa? Terus kenapa minta aku buru-buru balik ke Jakarta. Kangen, ya?" Telunjuk kanan mencubit pelan hidung laki-laki itu, lalu turun menyentuh bibir hingga berakhir merangkul leher.

"Eum, mungkin."

Benaya berjinjit sebelum mendaratkan kecup lembut di pipi kiri Denial. "Udah?" Ia juga akan memperlakukan Denial di atas segalanya, pemeran utama dan sosok yang paling dicinta.

"Udah." Denial ambil alih koper merah yang berdiri kokoh di sisi Benaya. "Kita langsung pulang aja, ya. Mau pulang ke rumah atau ke—"

"Hotel aja, aku belum bilang siapa-siapa kalau pulang ke Jakarta. Biar surprise aja gitu, besok baru pulang ke rumah. Boleh, ya?" Benaya pasang puppy eyes, anggukan Denial membuatnya merasa lega. "Bagus, kalau gitu antar aku ke hotel sekarang."

Jika Benaya adalah bumi, maka Denial-lah matahari yang selalu mengitari tanpa batas waktu, tanpa ingin menyudahi meski waktu menginterupsi.

Bagi Denial, tak ada yang lebih penting dari Benaya, sakitnya Benaya pun wajib Denial rasa. Jadi, jangan hakimi Denial jika ia sampai menghukum orang-orang yang menyakiti Benaya dengan caranya sendiri. Seperti Rega misalnya, Denial seolah mendapat keberuntungan tanpa perlu berencana, sebaik itu Tuhan mempertemukannya dengan Karenina hingga terhubung dengan benang lainnya, menjadi sebuah alur yang menguntungkan bagi Denial. Hanya saja, ia melibatkan orang-orang yang tidak bersalah.

Benaya dan Denial adalah teman sejak kecil, sejak keluarga Benaya pindah ke Jakarta dan tinggal berhadapan dengan kediaman Nuraga beberapa tahun silam. Mereka mengenal baik satu sama lain, seperti kebanyakan anak kecil yang suka dengan tokoh pahlawan bertopeng atau pangeran negeri dongeng, Benaya juga mengharapkan hal sama, ia anggap Denial adalah sosok dalam mimpi yang selalu jadi pelindung setiap waktu. Ia butuh Denial seperti tetes air di padang tandus, dan laki-laki itu selalu melakukan apa pun yang Benaya inginkan seolah dunianya hanya terpaut seputar Benaya saja.

Namun, masa SMA cukup mengubah pribadi keduanya. Terlebih ketika Benaya tahu kalau sahabatnya menyimpan rasa, tapi Denial bukanlah pilihan—sebab Benaya telah menempatkan perasaan pada laki-laki yang dikenalnya sejak pertama kali masuk SMA. Lucunya, laki-laki yang dimaksud Benaya adalah teman dekat Denial sendiri, semua itu cukup mengusik Denial hingga ia menjadi yang bukan Denial.

Nyatanya, Benaya seolah menutup mata terhadap apa pun perilaku Denial setelah tahu kalau Rega-lah yang Benaya cinta, padahal sikap playboy Denial adalah alasan sakit hatinya, sebuah pelarian tanpa ujung.

Schatje (completed)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora