CINTA MASIH MILIK KITA.

2.7K 197 26
                                    

Temui aku di ujung jalan, di tempat seharusnya kita benar-benar bergandengan. Jangan pernah memilih persimpangan, sebab kau bisa menemui arah nan dipenuhi segala penyesalan.

Schatje, aprilwriters.

***

Suara bersin terus saja terdengar dari kamar dengan pintu terbuka di lantai dua, hal tersebut membuat Parmini yang sibuk melangsungkan pekerjaan pagi hari di lantai utama beberapa kali mengalihkan fokus untuk sebatas menatap kamar Karenina dari bawah, lantas lanjut bekerja lagi meski hal yang sama tetap terjadi.

"Apa Mbak Karenina sakit? Kemarin pulang kan basah-basahan," gumam Parmini, ia meletakan alat pelnya dan memutuskan menghampiri kamar Karenina ketimbang memperbesar kecemasannya dengan berdiam diri.

Parmini menemukan Karenina terbaring di ranjang bersama selimut membelit tubuh hingga telapak kakinya tak terlihat, padahal sinar matahari sudah menerobos sejak sejam lalu, AC di kamar juga tak dihidupkan, tapi wanita itu seperti cukup kedinginan.

"Mbak Karen meriyang?" terka Parmini sendiri, ia memasuki kamar. "Mbak, Mbak Karen." Ia menyentuh bahu Karenina, posisi putri majikannya terbaring menghadap ke kiri—alias memunggungi Parmini. "Mbak Karenina sakit? Saya dengar bersin-bersin terus."

Karenina menoleh, ia tersenyum tipis menunjukan wajah pucatnya. "Efek main hujan kemarin, Bi."

"Mau ke dokter?"

"Enggak, saya pesen obat sama ojek online, nanti kalau ada yang antar tolong ambilin ya."

"Kalau gitu saya buatkan wedang jahe mau ndak, Mbak?"

"Iya, boleh. Makasih ya." Karenina kembali terpejam meski tak benar-benar terlelap karena bersin yang membuatnya frustrasi, padahal kemarin saat baru pulang ia lanjut mandi menggunakan air hangat, tapi efek hujan tetap datang dan membuat suhu tubuhnya naik. Sudah jelas hari ini Karenina takkan membuka food truck sementara.

***

11.30, matahari benar-benar menyengat sekumpulan manusia di lokasi pembangunan gedung dua puluh lantai di salah satu sudut Jakarta, para pria berhelm proyek mulai menyingkir satu per satu mengusaikan pekerjaan mereka untuk istirahat makan siang hari ini.

Untuk pertama kalinya semenjak Denial berstatus sebagai karyawan di perusahaan sang papa, ia menerima tugas mengunjungi lokasi proyek bersama seorang rekan yang bertugas sebagai teknisi eskalator atau lift nan menguasai kemampuan elektrikal. Panji memiliki tanggungjawab untuk melakukan instalasi dan perbaikan pada kedua mesin tersebut—mengingat lift maupun eskalator sering dijumpai di pusat perbelanjaan, gedung bertingkat hingga apartemen yang memerlukan perawatan secara rutin agar beroperasi dengan baik.

Para teknisi dituntut untuk memastikan bahwa proses maintenance dilakukan dengan baik sesuai standar prosedur yang berlaku.

Sementara sudah beberapa bulan terakhir Denial menekuri dunia kerjanya sebagai cost estimator nan mengurus estimasi biaya sebuah proyek pembangunan, Nuraga's Construction memegang banyak proyek pengerjaan bandara, apartemen hingga jalan tol yang tentunya tak hanya menghabiskan biaya sedikit.

Otak Denial benar-benar dikunci dalam pekerjaan yang dikendalikannya, sebab bekerja di bidang konstruksi tak hanya berpusat seputar fisik serta tenaga, seorang cost estimator membutuhkan kemampuan matematis yang andal. Bagi Denial, sesuatu nan dilimpahkan padanya beberapa bulan ini memang cukup berat—mengingat banyak masalah di luar pekerjaan masih bertubi-tubi menerjang, dan membagi tugas untuk memikirkannya itu sulit, tapi ia berusaha bersikap profesional. Ini merupakan kesempatan baik ketika sang papa mempercayakannya pada sebuah pekerjaan yang cukup kompleks. Seandainya dukungan dari seseorang selalu hadir untuknya, Denial yakin ia bisa lebih bersemangat melakukan banyak hal ke depannya.

Schatje (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang