SEPERTI TORNADO.

1K 124 6
                                    


Seperti tornado, merusak segala, memporakporanda, pergi begitu saja setelah hancur merata.

Schatje, Aprilwriters.

***

Wajah-wajah penghuni rumah menunjukan rona merah muda, mereka duduk di balik meja makan, menikmati sarapan pagi sebelum melakukan rutinitas berikutnya. Beberapa waktu lalu, Denial sering meninggalkan sarapan atau sebatas menggigit tepi setangkup rotinya dan pergi, berkata jika ia buru-buru, padahal tak ada kegiatan yang mengejar sesampainya di kantor, atau ketika Denial hanya meneguk segelas susu dan pergi lagi. Intinya laki-laki itu tak memiliki alasan untuk bergabung sarapan bersama anggota keluarga lain, ia malas memperlihatkan wajah kusutnya karena memikirkan Karenina.

Namun, kehadiran Denial pagi ini melengkapi suasana. Zian, Anne, Elita dan Denial—mereka mulai sibuk bertukar cerita di pagi yang cukup cerah ini—mengingat matahari belum berada di puncak ubun-ubun kepala.

Elita tak henti-hentinya melirik sang kakak yang duduk di sisi kiri, padahal Denial hanya memotong setangkup roti tawarnya sebelum beralih ke bibir, tapi tingkah Elita seolah menemukan jika Denial memakai masker menggunakan selai stroberi hingga wajahnya merah. Fantasi kejahilan Elita memang luar biasa, meski sudah memasuki masa kuliah, ia tetap anak-anak yang usil.

Denial mulai menyadari lewat ekor matanya. "Ngapain lihat gue kayak gitu? Nggak pernah lihat orang makan?"

"Tumben sarapan," sahut Elita.

Denial berdecak, ia menatap sang mama. "Ma, Elita nggak ngebolehin aku sarapan di rumah." Ia mengadu disertai nada manja yang khas.

Gadis berjaket hitam di sisinya mendelik, membela diri. "Ih enggak gitu, Ma. Bang Denial kan biasanya suka kabur-kaburan kalau disuruh sarapan bareng, semalem lo ngapain di pantai?" Matanya menyipit curiga.

Denial terbatuk karena perkataan Elita, ia meneguk air minumnya. "Lo mikir apa sih? Di sana gue bareng Karenina, Nathan sama Jesslyn. Kami makan, abis itu pulang. Selesai. Iri ya karena enggak bisa ikut."

"Gue—"

"Keadaan Karenina gimana, Den?" Pertanyaan Zian membuat Elita yang hendak melanjutkan debatnya dengan sang kakak otomatis terhenti.

"Lebih baik, Pa. Dia kelihatan have fun banget, nanti siang juga katanya mau nyamperin ke kantor. Makan bareng." Membayangkan rencana itu membuat Denial hampir tak bisa tidur semalaman.

"Bagus kalau gitu." Anne angkat bicara. "Kemarin papamu cerita soal rencana bawa Karenina ke psikiater, itu gimana, Den?"

"Emang Kak Nina kenapa?" Elita bertanya-tanya, ia menatap wajah semua orang, gadis itu memang tak terlibat tentang keinginan Denial akhir-akhir ini. "Kenapa jadi bahas psikiater? Emangnya Kak Nina depresi? Separah itu?"

"Hampir," sahut Denial, ia meneguk lagi air minumnya sebelum melanjutkan. "Sekarang udah nggak perlu, dia baik-baik aja kok. Aku berangkat dulu ya." Denial beranjak pergi.

"Aku kan mau wawancara lagi, kenapa langsung minggat aja sih." Elita menggerutu, lalu ikut beranjak menghampiri kedua orangtuanya. "Elita juga langsung get out sekarang ya, Ma, Pa."

***

Sepuluh menit sebelum supermarket dibuka, mobil Karenina sudah terparkir di sisi mobil lain, ia bahkan lebih bersemangat dari semua karyawan yang memulai rutinitas pekerjaannya pagi ini, wanita itu datang bersama Parmini. Semalam Karenina tak lantas tidur, setelah berbenah ia membuka laptop serta catatan berisi agenda untuk foodtruck yang lama ia tinggalkan itu.

Schatje (completed)Where stories live. Discover now