Bab 2 Pasien VVIP √

20.5K 944 21
                                    

Pasien VVIP

"Hanya melihat punggungnya saja sudah bisa membuat hatiku senang."

Hari ini Renata berangkat lebih awal karena ia tidak ingin terlambat dalam pertemuan dengan pemilik rumah sakit. Selain itu, ia juga penasaran dengan si pemilik rumah sakit tersebut yang konon   kata para pegawai lain merupakan seorang pria tampan. Karyawan rumah sakit bahkan sering membicarakan dan tak sedikit yang mengidolakannya.

"Benarkah? Setampan apa sih memangnya?" gumam Renata penasaran.

"Mengapa aku jadi sepenasaran ini ya." Renata menghela nafas setelah bermonolog dengan dirinya sendiri. Namun ada satu alasan lagi yang membuat semangat berangkat lebih awal yaitu ia ingin segera mengunjungi bocah laki-laki yang kemarin menangis memanggilnya bunda.

"Semoga anak itu sudah membaik," ucap Renata dalam hati.

Entah mengapa Renata merasa sayang sekali dengan anak itu meski baru melihatnya kemarin namun ada rasa lain yang membuat sayang dan ingin selalu menemui anak tersebut setelah mendengar cerita dari sang pengasuh kemarin.

"Bagaimana keadaanya hari ini?" gumam Renata lirih.

"Semoga kamu suka ya dek dengan apa yang aku bawain," ucap Renata menenteng rantang kecil berisi bubur ayam buatannya.

"Pagi suster Maria? Ini data pasien yang harus saya kunjungi ya?" ucap Renata ramah.

"Pagi, Dok. Iya, Dok. Tumben dokter datang pagi sekali? Apakah dokter Ren juga ingin bertemu dengan orang tampan?" goda suster Maria.

"Ahhh! Suster Maria bisa aja, saya ingin menjenguk seseorang yang spesial makanya saya datang lebih awal sebelum kunjungan tapi jika nanti bisa bertemu orang tampan itu bonusnya, Sus. Hehehe," jawab Renata sambil terkikik.

"Tapi saya juga penasaran sih," batin Renata. Renata menyusuri lorong demi lorong menuju ke arah ruangan Kafa. Sesampainya di depan kamar Kafa, Renata mengetuk pintu lalu masuk dan ia melihat seorang anak kecil duduk di ranjang sendiri bermain robot tanpa ada yang menemani.

"Astaga ... Kasihan sekali Kafa," batin Renata.

Sungguh miris hati Renata melihat itu semua, pikirannya melayang membayangkan dirinya sewaktu kecil yang penuh kasih sayang dan membandingkannya dengan Kafa. Sesekali ia mencoba menempatkan dirinya seandainya ia menjadi Kafa. Setetes air mata itu turun begitu saja melihat ada seorang anak kecil yang sedang sakit dibiarkan sendiri tanpa perhatian apalagi kasih sayang. Renata mengusap air matanya dengan cepat. Ia lantas mengembangkan senyuman ramah, menyapa Kafa yang dibalas senyuman dan pelukan oleh Kafa.

Sungguh hatinya senang ketika melihat bocah kecil tersebut tersenyum dan memanggilnya dengan sebutan Bunda. Renata bertanya mengapa Kafa sendirian dengan polosnya bocah kecil tersebut menjawab jika ia bersama sang Kakak namun sang Kakak yang diketahui namanya Shafa sedang membelikan ia susu kotak kesukaannya di mini market rumah sakit. Renata meletakkan paper bag di atas nakas, lalu mengeluarkan sebuah kotak yang berisi bubur. Dengan lembut Renata membujuk Kafa agar nau memakan bubur yang dibawakan sebelum meminum susu kotak kesukaannya.

Kafa yang penurut mematuhi kata-kata Renata untuk memakan bubur yang dibawakan dan meminum obat dengan syarat Renata harus mau dipanggil Bunda dan mau menemaninya bermain. Tanpa berpikir panjang Renata pun menyetujui permintaan Kafa. Hal itu membuat Kafa bersemangat dan ingin cepat sembuh agar bisa bermain bersama Renata. Beberapa saat kemudian seorang gadis berumur empat belas tahun datang dengan kantung plastik berisi susu kotak dan makanan ringan.

Yap dia adalah Shafa kakak perempuan dari Kafa. Dengan senyum manisnya Shafa mendekat dan menyapa Renata serta mengucapkan terima kasih telah membantu membujuk adiknya makan dan minum obat. Kemudian Kafa memperkenalkan Shafa kepada Renata dengan polosnya ia bercerita kepada Shafa jika ia ingin bunda yang cantik dan baik seperti Renata yang ditanggapi dengan senyuman oleh Shafa. Renata pun hanya mendengarkan keseruan kakak beradik yang bercerita dan memutuskan untuk kembali ke ruangannya karena sepertinya ia harus segera bekerja, dengan tergesa-gesa Renata pergi menuju ruangannya berniat melakukan visit namun usahanya urung, lorong yang ingin ia lewati dipenuhi oleh karyawan yang menyambut kedatangan pemilik Rumah sakit. Renata menepuk jidatnya dan berkata mengapa ia sampai lupa jika ia harus ikut menyambut pemilik Rumah sakit. Renata pun ikut bergabung dalam kerumunan tersebut berharap bisa melihat wajah sang pemilik Rumah sakit. Namun usahanya sia-sia karena ia hanya bisa menatap punggung si pemilik rumah sakit saja. Dengan kesal Renata pun membalik badan dan berjalan mencari jalan lain menuju ke arah ruangannya.

"Loh dokter Ren tidak ikut melihat pria tampan?" goda suster Maria.

"Sudah kok, tapi saya telat jadi saya hanya bisa melihat punggungnya saja sus," adu Renata.

"Hanya melihat punggungnya saja sudah bisa membuat hatiku senang," batin Renata.

"Hahaha Dokter Ren kurang beruntung," ledek Suter Maria.

"Suster Maria sendiri kenapa tidak ikut menyambut?" tanya Renata heran.

"Saya sudah pernah bertemu bahkan bersalaman, Dok. Jadi saya sudah tidak penasaran lagi," ucap suster Maria sembari tersenyum lebar.

"Wah beruntung sekali anda sus. Ya sudah ayo mulai visit sus," ajak Renata.

Renata dan suster Maria pun memulai mengunjungi kamar pasien-pasien yang berada di dalam daftar visit pagi ini.

"Kurang satu pasien lagi, Dok." "Oh ya? ruangan mana sus?" tanya Renata.

"Ruangan VVIP," sahut Maria.

Renata melangkah semangat menuju deretan ruangan VVIP hingga suster Maria berkata bahwa kamar VVIP yang akan mereka kunjungi ditempati oleh seorang anak laki-laki yang merupakan anak dari pemilik rumah sakit. Renata kaget karena kamar yang disebutkan oleh suster Maria tersebut adalah kamar Kafa bocah kecil yang menarik perhatiannya. Dengan sebuah senyuman Renata masuk ke kamar Kafa, namun tak ditemuinya bocah kecil bernama Kafa di ranjang. Hal itu sontak membuat Renata panik, namun kepanikannya berubah menjadi sebuah senyuman saat ia melihat seorang anak laki-laki berjalan menghampirinya dari dalam kamar mandi.

"Hai, Sayang bagaimana kabarmu hari ini? tante dokter khawatir sekali denganmu," ucap Ren mendekap erat tubuh mungil itu.

Tanpa Renata sadari ada seseorang yang berjalan di belakang Kafa yang sedang membawa tiang penyangga infus. Renata yang saat itu sedang memeluk Kafa dan mencium pipinya dengan gemas pun terkejut. Dengan reflek Ren berangsur mundur dan menghentikan aktifitasnya.

"Ma-maaf pak. S-saya tidak bermaksud lancang, S-saya sayang dan gemas kepada putra, Bapak," ucap Renata dengan merendahkan tubuhnya lalu melepaskan Kafa dari dekapannya.

Tanpa membalas ucapan Renata, Dafa membawa Kafa dan membaringkannya di ranjang. "Saya periksa dulu ya, Den?" ucap Renata kepada Kafa. Renata menempelkan stetoskop di dada Kafa, Renata memeriksa Kafa dengan hati-hati dan teliti lalu melaporkan hasilnya kepada Dafa.

"Tekanan darahnya normal, suhu tubuhnya juga normal. Perutnya sudah tidak kembung lagi. Tinggal pemulihan saja, Pak," ucap Renata yang kemudian pamit karena telah selesai mengerjakan tugasnya.

"Sudah selesai, Saya pergi dulu, Pak. Permisi," ucap Renata sambil melangkah pergi. Baru selangkah Renata berjalan tiba-tiba Kafa memanggilnya dan memohon untuk ditemani oleh Renata, namun karena rasa sungkan kepada Dafa, Renata membujuk Kafa dan berjanji akan bermain nanti setelah selesai pekerjaan yang diangguki oleh Kafa.

"Bunda ... Bunda jangan pergi." Kafa merengek memohon kepada Renata untuk tetap tinggal.

"Temenin Kafa di sini dong bunda," rajuk Kafa.

"Sayang maaf ... Tante gak bisa, tante harus kerja tapi tante janji nanti pulang kerja tante temenin ya," bujuk Renata yang diangguki oleh Kafa. Renata bernafas lega karena ternyata tidak sesulit yang ia bayangkan membujuk bocah kecil itu.

Kafa bahkan langsung menuruti setiap ucapan Renata.

"Syukurlah dia mau, aku pikir akan sulit membujuknya," batin Renata sembari melangkahkan kaki keluar ruangan. Akhirnya Renata bisa menghembuskan nafas lega setelah keluar dari ruangan Kafa yang entah mengapa menjadi tidak nyaman karena kehadiran pria yang Kafa sebut ayah.

"Benarkah dia ayah Kafa?" batin Renata.

"Jadi bunda anaknya sih aku mau, tapi kalau jadi istri bapaknya yang super dingin itu aku bisa mati muda," gumam Renata pelan sambil berjalan menuju ruangannya.

My Lovely Angel (TAMAT)Onde histórias criam vida. Descubra agora