15.Penindasan yang sebenarnya (B)

Start from the beginning
                                    

“Kau~.” Pekik Sherly. Dia menoleh menatap Leon kembali, “Apa yang kau lakukan?”

“Aku?” Leon terkekeh, “Aku sedang berdiri di sini.” Jawab Leon sengaja mempermainkan perempuan di depannya.

Tangan gadis itu kini terkepal. Ekspresinya yang tadi tampak tenang, kini berubah. Leon mengamati dan semakin bahagia.

“Cecil August, aku tahu kau adalah wanita yang gigih.” Leon berseru, “Tasmu dilempar, pakaianmu dicoret - coret, kau dikunci, asramamu diteror tapi kau masih tetap santai. Itu membuatku sedikit merasa terusik. Jadi aku berpikir, “ jeda sejenak Leon mengimbuhkan, “Itu karena kau masih punya teman yang berada di sampingmu.”

“Teman yang sama lemahnya. Jadi aku putuskan untuk menindas kalian berdua.” Leon menegakkan badan. Mundur satu langkah. Sabin yang berada di belakang Sherly kini didirong sampai tersungkur. Plester yang membekap mulut perempuan itu dilepas sehingga suara ketakutan Sabin terdengar.

Sherly sontak berbalik. Dia menatap Sabin yang dibully tiga anak buah Leon. Tubuh gadis itu diguyur air mineral, lalu Trinity ~ si gadis berambut merah itu mengambil tempat sampah lalu membuangnya ke atas tubuh Sabin.

Bungkus makanan, plastik, botol - botol bekas pun dengan sampah organik seperti kulit pisang jatuh melewati kepala Sabin. Bahkan kulit pisang itu kini menempel di ujung rambut Sabin.

Ketiga anak yang menindas Sabin tertawa - tawa puas. Semenyara Sabin hanya menunduk dengan isakan tertahan.

Sherly menggertakkan giginya. Dia berbalik menatap Leon tajam, "Kau benar - benar bocah sialan." Desisnya. Dia lalu segera berlari menghampiri Sabin. Menyingkirakan tiga orang yang merundungnya. Tetapi tentu saja Sherly kalah jumlah dan ukuran tubuh. Apalagi satu diantaranya adalah laki - laki. Sekuat apapun Sherly mendorong ketiga anak itu, tetapi tetap saja pada akhirnya ia yang dengan mudah dihempaskan. Pada akhirnya yang bisa Sherly lakukan adalah berlutut dan memeluk anak malang itu. Melindunginya dari air dan sampah yang terus diguyurkan padanya.

"Hentikan! Hentikan! Jangan melakukan ini padanya!"

Tetapi mereka masih tertawa - tawa bahagia. Pun dengan Leon yang tersenyum puas.

"Semua ini akan berhenti jika kau segera mengundurkan diri dari sini Cecil." Ucap Leon.

Bibir Sherly menipis. Tangannya terkepal. Dia mendongak menatap Leon tajam, "Kau benar - benar keterlaluan."

Setelah sampah dan air mineral yang diguyurkan habis, perlahan Sherly mengajak Sabin untuk berdiri. Ia menuntunya meninggalkan lapangan dan keempat bocah terkutuk ini.

Ini semua tidak boleh dibiarkan. Perilaku mereka sudah di luar batas.

Sherly benar - benar marah sekarang.

***

"Yoo, Leon sudah merencanakan semua ini ternyata." Masih di atas balkon gedung sekolah, Sebastian berdiri menyaksikan segala macam drama yang terjadi di lapangan. Meski jaraknya cukup jauh, tetapi penglihatan mereka yang tajam masih bisa melihat dengan jelas penindasan yang dilakukan Leon pada anak baru itu.

Sebastian lalu melirik Maxwell yang juga masih berdiri menatap semua ini, "Leon membully gadis mu lagi. Tidakkah kau ingin menyelamatkannya seperti waktu itu?"

Maxwell hanya melirik Sebastian. Lirikannya mengandung unsur jengah membuat Sebastian terkekeh.

Dia tadi hanya bercanda.

Menggoda teman - temannya ini benar - benar sangat menghiburnya. Baik Leon, Maxwell maupun anggota ksatria langit lain memiliki karakter yang berbeda tetapi sungguh hal itu membuatnya sangat menyenangkan.

Si kribo itu lalu duduk, "Ayo taruhan, menurutmu setelah ini apa anak baru itu akan segera mengundurkan diri dari sini?"

"Kalau menurutku sih anak baru itu cukup berani. Tapi karena hal ini dia mungkin akan segera mengundurkan diri." Sebastianlah yang menjawab pertanyaannya sendiri lebih dulu. Ia melirik Maxwell yang masih terdiam. Menunggu pendapat lelaki itu.

"Tidak." Jawab Maxwell singkat. Dia ikut duduk dan kini menyandarkan punggungnya di dinding.

"Hoo, kenapa tidak? Apa jangan - jangan kau berpikir untuk menyelamatkan gadis bernama Sabin itu lagi ya? Hmmm... Hmmmm." Sebastian bertanya guyon. Menyenggol - nyenggol bahu Maxwell yang tengah duduk tenang bahkan nyaris memejamkan mata.

"Diamlah kribo!" Desis Maxwell. Tetapi Sebastian belum puas menggodanya.

"Ayolah setidaknya keluarkan beberapaa kalimat! Ya, ya, ya!!!"

"Diamlah atau aku akan menyumpal mulutmu dengan rambut kribomu itu, Brengsek!"

Wkwkwkwwk. Sadisnya.

Kini Sebastian terbahak. Setiap kalimat panjang yang Maxwell ucapkan memang cenderung menyayat. Ini sungguh membuat hatinya tersayat.

Dia jadi ketagihan.

Ketagihan untuk menggodanya. Haha

"Ngomong - ngomong jika adikmu Maria melihat ini semua, apa dia akan membiarkan semua ini terjadi?"

Mendengar nama Maria disebut, mata Maxwell seketika terbuka.

Sebastian tersenyum, "Adikmu~ dia kemana? Dia selalu saja keluar dari asrama. Tidakkah kau penasaran apa yang Maria lakukan?"

Maxwell diam sejenak lalu menjawab, "Tidak." Ia lalu kembali memejamkan matanya.

Sebastian yang duduk di sebelahnya menarik sudut bibirnya. Lelaki itu lalu merebahkan dirinya di lantai balkon. Menjadikan rambut kribonya sebagai bantalan, dia menatap langit biru yang sangat cerah.

"Satu minggu lagi, tes yang sebenarnya akan dilakukan. Ku harap sebelum saat itu masalah di sini sudah terselesaikan." Gumamnya. Dia pun ikut memejamkan matanya.

**

Black MilitaryWhere stories live. Discover now