IMAGINATION || 42

80 3 0
                                    

42. Overthinking

Bell pulang sekolah sudah berbunyi sekitar setengah jam yang lalu, dan setelah hanya berdiam diri di kelas, membuka lembar demi lembar buku paket matematika tanpa tujuan, akhirnya Eca menyerah. Bergumul dengan pikirannya yang overthinking hanya membuat otaknya semakin mumet. Dan ia sudah lelah dengan itu semua.

Eca pernah mendengar dari salah satu webinar yang tersebar di media sosial, bahwa overthinking itu sebenarnya bukan sesuatu yang nyata, hal itu ada hanya untuk mengingatkan diri kita supaya tetap hati-hati. Eca berpikir ada sesuatu antara Sean dan Melody, itu hanya sebuah kekhawatiran dari respons  terhadap sesuatu yang dipikirkannya secara berlebihan. Dan apa yang ia khawatirkan adalah ... Eca takut Sean benar-benar mengkhianatinya.

Eca terdiam sejenak setelah memasukkan buku ke dalam tas, sekarang ia bersiap untuk pergi ke ruangan ekstrakurikuler basket––menghampiri Naufan yang memang sedang berada di sana. Sementara Nessa sudah pulang dari tadi, karena seperti biasa, gadis itu ada jadwal les setiap hari selasa.

Dan Sean? entahlah, sejak tadi cowok itu tidak memberi kabar apapun padanya.

Dari kejauhan, terlihat anak-anak basket yang baru saja memasuki lapangan untuk melakukan stretching. Karena mereka ada di sana, otomatis di ruangan sepi dan ia tidak perlu malu untuk menghampiri kakaknya.

“Eh, mau ke Naufan ya?”

Eca berhenti saat seseorang baru saja keluar dari ruangan. “Bang Bi? Iya nih, anaknya masih ada di sini, kan?”

Orang yang disebut ‘Bang Bi’ itu adalah Fabian Pratama, satu tingkat di atas Naufan yang sebelumnya pernah menjabat sebagai wakil ketua ekstrakurikuler basket. Saking seringnya menunggu Naufan latihan, hampir semua anak basket kenal dengan Eca, termasuk Fabian. 

“Ada tuh di dalem, tapi lagi tidur dia,” ujar Fabian terkekeh.

“Lah, kok dia malah tidur sih?” Eca ikut tertawa.

“Hahahaha, capek katanya habis ulangan fisika,” jawab Fabian, “masuk aja gih ke dalem, Abang mau nyusulin anak-anak dulu ke lapangan.” Fabian langsung pergi setelah sebelumnya sempat mengacak rambut Eca sampai berantakan.

“Duh, kebiasaan banget. Btw makasih ya ...,” ucap cewek itu sedikit berteriak.

“Siap!” balas Fabian mengangkat jempol.

Tanpa menunggu waktu lama, Eca kemudian masuk ke dalam ruangan. Bang Bi tidak bohong, Naufan benar-benar tertidur di atas kursi kayu yang sengaja dirapatkan agar memanjang. Cowok itu tertidur sangat pulas, bahkan dengkurannya sampai terdengar hingga ke ambang pintu tempatnya berdiri.

Kalau diingat-ingat, Naufan pasti banyak pikiran sehingga waktu tidurnya terganggu. Tadi malam saja kakaknya itu baru bisa tidur pukul tiga pagi. Setelah hanya melamun sendirian di ruang tamu dan tidak melakukan apa-apa.   

Perlahan... Eca mendekat dan mencoba untuk membangunkan Naufan. Kalau dibiarkan tidur di sana, bisa-bisa badannya sakit semua. Eca tidak mau Naufan sakit, sekalipun itu hanya badan. Apapun tentang kakaknya, itu sangatlah berharga.

“Fan, ayo pulang. jangan di sini kalo mau tidur ...,” Eca menepuk-nepuk pipi kakaknya.

Tapi cowok itu tak kunjung menunjukkan respon apapun.

“Heh, bangun woiii ....”

Sepi.

“Naufan Leo Jodie!” teriak cewek itu rusuh.

“Hm?” lenguhan halus itu terdengar seiringan dengan mata yang terbuka sedikit demi sedikit.

“Ayo pulang!” ajak Eca.

Naufan bangkit dari tidurnya dan terduduk tegap. Sesekali ia menguap disela aktivitasnya mengucek mata. “Jam berapa sih ini? udah sore memangnya?”

“Sore matamu, ini masih siang kali.” Eca menarik tangan Naufan untuk berdiri, “ayo pulang!”

“Eh eh, pada mau kemana nih?”

Suara yang familiar terdengar di dalam ruangan bernuansa putih itu. Eca berdecak saat si pemilik suara dengan santainya mencolek dagunya tanpa permisi. Bocah tengil yang entah datang dari mana. Namun rambutnya yang basah membuat Eca yakin kalau cowok itu baru saja kembali dari kamar mandi.

Kalau Raka ada di sini, apa Sean juga ikut bersamanya? Eca mencuri pandang ke arah pintu, berharap dugaannya benar. Karena meskipun ia sedang kesal, tetap saja keberadaan Sean sudah seperti kebutuhan dalam hidupnya.

“Nyari Sean ya?” celetuk Raka menggoda.

Eca menggeleng canggung. “Nggak, kata siapa?”

“Iya juga sih, dia pasti udah ngabarin lo. Ya kan?” 

Eca menautkan kedua alisnya. “Ngabarin? Ngabarin soal apa ya?”

Raka dan Naufan saling melempar pandang, lalu beberapa saat kemudian Naufan mulai membuka suara, “Emangnya lo nggak tahu? Dia kan izin pulang duluan tadi.”

“Hah? Kok bisa? dia sakit apa gimana?” tanya Eca cemas.

Raka meraih tasnya yang memang tergeletak begitu saja di lantai. “Itu dia yang kita nggak tahu. Habis nerima telpon dia langsung cabut. Mana yang nelpon cewek lagi, siapa si tuh? Mel ... Melody kan ya namanya?” tanya Raka pada Naufan.

Naufan mengangkat bahunya acuh. “Mana gue tahu?”

“Yeuuu ... dasar!”

“Melody?” ulang Eca setengah berbisik.

“Kalo nggak salah ya itu juga.”

Eca langsung diam tak berkutik. Cewek yang Raka maksud pasti perempuan itu, perempuan yang kemarin sore dibonceng oleh Sean, perempuan yang tadi menyapa dan berbicara dengan Sean. Perempuan yang ... membuatnya ketakutan setengah mati.

Mendapati adiknya hanya melamun, Naufan menangkup wajah Eca dengan perasaan khawatir. Semalam Eca sempat bercerita tentang foto Sean dan perempuan yang baru ia ketahui namanya itu. Dan ia yakin Eca pasti memikirkan perempuan itu lagi.

“Udah ... jangan terlalu dipikirin. Percaya aja sama Sean. Oke?” Naufan mencoba untuk menepis segala pemikiran buruk itu dengan mengelus surai adiknya.

“Hmm,” lirih Eca sendu.

“Elo sih!” geram Naufan pada Raka.

“Apaan sih? gue salah apa coba?” tanya cowok itu tanpa dosa.

***

𝐈𝐌𝐀𝐆𝐈𝐍𝐀𝐓𝐈𝐎𝐍 ✈️ | 𝐓𝐄𝐑𝐁𝐈𝐓 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang