IMAGINATION || 29

101 12 0
                                    

Jangan lupa vote^

Komen banyak-banyak ya:)

Happy Reading❤

°
°
°
°
°
***

29. Emosi

Kalau ada yang bilang Sean berubah itu benar, pria itu memang masih bersikap dingin kepada orang lain. Tapi berbeda kalau sudah berhadapan dengan Eca. Sean memang tidak melarang kegiatan apa yang boleh dan tidak boleh Eca lakukan, dengan siapa dia bergaul, Sean memberikan kebebasan karena dirinya pun tidak ingin dikekang. Tetapi dia akan marah kalau gadisnya disentuh atau diganggu orang lain.

Jatuh cinta membuat kepribadiannya menjadi sedikit egois. Seperti saat ini misalnya, ketika kelas 11 Mipa 8 tengah melangsungkan pelajaran olahraga. Bertepatan dengan itu kelas 12 Mipa 3 dan 10 Ips 4 juga melakukan hal yang sama.

Sedari tadi pandangan Sean tak luput dari gerak-gerik Eca yang sudah seperti zombie. Gadis itu murung, meski sudah berusaha sekeras apapun, bola basket yang ia pegang tak pernah memasuki ring. Hanya gelak tawa dari teman sekelasnya yang terdengar, mereka seperti mengejek karena Eca satu-satunya orang tidak bisa memasukan bola.

"Gak papa, Ca. Masih banyak waktu buat belajar. Kakak lo jago basket kalo lo lupa, minta dia ajarin sepulang sekolah...," tetap dan selalu Nessa yang mengerti bagaimana perasaannya.

Gadis yang merasa insecure itu berteduh di bawah pohon, memisahkan diri dari yang lain. Hal itu dimanfaatkan oleh salah satu adik kelasnya yang tengah berolahraga di lapangan sebelah. Namanya Grady, good looking dan cukup menarik. Perawakannya tinggi dengan warna kulit kuning langsat, Grady adalah definisi muka bebelac badan L-men. Begitulah first impression saat Eca melihatnya.

"Sendiri aja, nih?" tanya Grady tiba-tiba. Dia tidak tahu kalau ada pawang yang sedang mengawasi. Dikejauhan sana Sean ingin sekali menimpuk kepala orang itu menggunakan bola volly. Atau kalau boleh batu sekalian.

"Siapa, ya?" Eca sama sekali tidak mengenal Grady. Meskipun Grady sering melihat Eca wara-wiri di sekolah, tapi gadis itu tidak pernah mengetahui kalau Grady ada.

Bocah itu malah tersenyum manis, gemas dengan wajah kakak kelasnya yang begitu cute, "Gue Grady, kelas 10 Ips 4."

"Anak baru?" Eca mengernyit.

"No...," Grady menggeleng,

"Sorry, gue baru liat soalnya."

"Gue kurang famous ya?" tanya Grady.

"Iya ... mungkin?" jawabnya sambil tertawa hambar.

Grady tersenyum miring, "Kenapa misah dari yang lain?"

"Gak papa, pengen aja," jawab Eca lesu.

"Boleh minta nomor whatsapp lo, Kak?"

Eca tampak tercengang. Dia jadi berpikir, kenapa cowok gampang banget ya ngelakuin sesuatu? Coba kalau dulu gue seberani ini sama Kak Sean, suka tinggal bilang, gak ada yang perlu di tutup-tutupin.Simple.

"Ehem...," Grady merangkul pundak Eca, gadis itu terperanjat dan segera menepis tangan kekar Grady sebelum orang lain melihat.

"Apaansih?!" Eca menyentak, tidak suka orang asing menyentuhnya, begitupun dengan pria yang baru saja datang, dia langsung menarik kerah Grady dan memukulnya tanpa ampun.

Bugh Bugh

Beberapa pukulan telak berhasil membuat lawannya diam tak berkutik. Aksi brutalnya Sean menyita perhatian banyak orang. Para siswi berteriak histeris, Eca yang begitu terkejut hanya bisa diam, kakinya lemas hingga terjatuh ke tanah. Nessa yang sadar akan hal itu langsung menghalangi arah pandang sahabatnya. Ini bukan sesuatu yang pantas untuk Eca lihat.

Di sisi lain, Naufan dan Raka langsung menengahi, kalau terus dibiarkan Sean tidak akan berhenti sampai dirinya merasa puas.

"Tahan emosi lo, Yan!" amuk Raka.

Setelah suasana sedikit terkendali, Grady langsung dibawa oleh teman-temannya menuju UKS. Wajahnya dipenuhi luka memar, darah segar juga mengalir di pelipis, dan hidungnya, benar-benar mengkhawatirkan.

Beruntung guru yang mengajar sudah meninggalkan lapangan, coba kalau mereka masih ada. Bukan hanya Grady, Sean pun akan ikut babak belur. Guru olahraga di SMA Garuda memang terkenal berani main fisik soalnya.

"BUBAR-BUBAR! DIKIRA INI SINETRON APA?!" Teriak Naufan.

Kerumunan berhasil dibubarkan, sekarang hanya tersisa Sean, Eca, Nessa, Naufan, dan Raka. Sean membuang napas berat, tatapannya kemudian beralih ke arah Eca. Gadis itu masih bergeming.

"Lo gak papa?" tanya Raka meringis.

Sean menggeleng pelan, "Gak," jawabnya ketus.

"Lo kenapa, sih?!" timpal Naufan.

Selagi mengatur napas, perlahan rasa penyesalanpun tiba. Tidak harusnya dia bersikap gegabah seperti tadi. Bagaimana kalau Grady sampai kenapa-napa? Lebih parahnya lagi, bagaimana kalau Eca membencinya karena melihat sisi kejam yang ia miliki? Apa dia sanggup kalau Eca pergi? Jawabannya pasti tidak!

Eca bangkit dengan tatapan kosong, dengan sangat hati-hati Sean melangkah mendekati gadisnya. Tak peduli dengan darah yang menetes dari tangan, melihat Eca seperti ini rasanya jauh lebih menyakitkan. Dia tidak bermaksud untuk melukai orang lain. Sungguh. Sean terbawa emosi tadi, dia tak kuasa menahan amarah ketika Grady merangkul pundak Eca sembarangan.

"Ca?" Sean memanggil, namun tak ada jawaban. Gadis itu malah melengos begitu saja.

"Kasih dia waktu buat nenangin diri, mending lo obatin dulu tangan lo, takutnya infeksi," saran Nessa.

"Bener apa kata Nessa. Si Eca masih shock kayanya. Lo, sih?!"

Naufan menyikut lengan Raka, sekarang bukan waktunya untuk saling menyalahkan. Tetapi introspeksi diri, "Jangan banyak ngomong. Lebih baik lo temenin si Sean ke UKS. Soal Eca biar gue yang urus!" tegas Naufan.

"Ck, iya-iya. Ayo!" Raka menarik tangan Sean. Merekapun pergi ke UKS, sementara Naufan dan Nessa menyusul Eca yang pergi entah kemana.

***

𝐈𝐌𝐀𝐆𝐈𝐍𝐀𝐓𝐈𝐎𝐍 ✈️ | 𝐓𝐄𝐑𝐁𝐈𝐓 Where stories live. Discover now