IMAGINATION || 40

79 4 0
                                    

OMOOOOO, setelah menghilang dari dunia per-wattpad an ini, AKHIRNYA AKU UP LAGIIII

Mau nangis sumpah :((

😭😭😭

DAH DAHHH DAHHHH, STOP SEDIH-SEDIH!

Jangan lupa vote^

Komen banyak-banyak ya:)

Happy Reading❤

°
°
°
°
°
***

40. Baikan?

Tringgg...

Lonceng berbunyi, seorang pria masuk ke dalam kafe dengan pakaian yang masih lengkap memakai seragam sekolah. Semua pasang mata nampak terpana melihat kedatangan pria itu. Selain tampan, tinggi, dan gagah, satu hal yang membuat mereka takjub adalah karena pria itu masih duduk dibangku SMA. Dan dia adalah Sean Moreno.

Beberapa menit yang lalu, tiba-tiba saja dirinya mendapat pesan dari Malven. Kok bisa? Itu dia yang Sean pertanyakan, tumben Malven menghubunginya. Mungkin kalau Eca tidak menyuruhnya pergi, Sean tidak akan datang. Tapi karena sekarang dirinya sudah di sini, dia harus menemui Malven walaupun terpaksa.

Sebenarnya Sean masih kesal kepada pria itu, munafik kalau dirinya tidak terusik saat adiknya secara terang-terangan ingin merebut Eca. Dan kalau tujuannya meminta Sean ke sini adalah untuk membicarakan hal tersebut. Sean sama sekali tidak tertarik.

Dalam radius satu meter, Sean dapat melihat adiknya yang tengah duduk didekat jendela. Pandangannya menerobos ke arah luar, menatap jalanan yang ramai oleh lalu-lalang kendaraan. Mendekat atau tidak, Sean bingung antara dua pilihan itu. Tapi karena keberadaannya sudah tertangkap basah, mau tak mau ia harus meneruskan langkah yang sempat terhenti.

Sean mengambil duduk di depan Malven, jangan ditanya seberapa dinginnya wajah dari pria itu. Mungkin kalau diibaratkan, dinginnya es di kutub utara tidak ada apa-apanya dibandingkan wajah Sean. Apalagi sorot matanya yang tajam seperti pedang, pastinya membuat orang-orang ngeri saat melihatnya.

Lain halnya dengan Sean, Malven malah lega ketika melihat Sean seperti ini, karena kalau Sean bersikap sabar seperti biasanya, hal itu hanya akan membuat dirinya semakin merasa bersalah.

“Mau pesen apa?” tanya Malven.

“Gue ke sini bukan mau makan ataupun minum. Kalo lo mau ngomong sesuatu, langsung ke intinya aja!” ujar Sean sarkas.

Malven terdiam sebentar, walaupun rasa gengsi masih menyelimuti, hal tersebut tak membuat niatnya urung begitu saja.

“Maaf,” lirih Malven, dan itu berhasil membuat Sean terperangah.

“Maaf karena selama ini gue udah nyalahin lo atas kepergian Zea, maaf karena selama ini gue udah larang lo buat ketemu bunda, maaf juga karena sempat terbersit dipikiran gue buat ngerebut Eca dari lo. Gue sadar apa yang selama ini gue lakuin salah, lo berhak marah dan hukum gue semau lo.”  Lanjut pria itu tulus.

“Kenapa baru sekarang?”

“Mungkin ini bisa jadi jawaban atas pertanyaan lo.”

Malven menyerahkan sebuah amplop yang berisi surat dari Zea. Sean sempat berdehem sebelum akhirnya merebut amplop itu secara kasar. Meski begitu Malven senang karena Sean masih mau mengambilnya. Menurutnya, Sean juga harus tahu isi dari surat yang ada di sana. Termasuk––ah, mungkin akan ia beritahu jika orangnya sudah datang.

𝐈𝐌𝐀𝐆𝐈𝐍𝐀𝐓𝐈𝐎𝐍 ✈️ | 𝐓𝐄𝐑𝐁𝐈𝐓 Où les histoires vivent. Découvrez maintenant