IMAGINATION || 38

107 3 0
                                    

Jangan lupa vote^

Komen banyak-banyak ya:)

Happy Reading❤

°
°
°
°
°
***

38. Sean dan Rasa Bersalahnya

Sean membasuh wajahnya di wastafel kamar mandi. Setelah seharian penuh berkelintaran, akhirnya di sinilah dia berada, di tempat ternyaman yang biasa orang sebut sebagai rumah.

Dengan handuk yang melingkar di pinggang, pria itu menatap pantulan dirinya di cermin. Dia tidak pernah menyangka jika gadisnya akan sesedih ini, padahal walaupun sedikit, ia kira Eca pasti merasa senang karena sudah menemukan bundanya, tapi agaknya Sean salah.

Setelah mandi dan berpakaian, pria itu memutuskan untuk turun ke dapur. Ia baru ingat kalau dari pagi perutnya belum terisi apapun. Saat membuka mata, ia sudah disuguhkan dengan informasi terkait keberadaan Marissa, tentu saja ia langsung berangkat dari Lembang ke Jakarta untuk memberi tahu gadisnya. Hingga malam pun datang, sekarang ia merasa sangat lemas dan kelaparan.

Sambil memangku bella – kucingnya – Sean membuka lemari es untuk mencari makanan, karena biasanya Mbok Sum akan menyimpan sisa makan malam di sana. Tapi ketika dibuka, satu menu pun tidak terlihat di mana-mana. Tumben.

Untuk ukuran rumah yang sangat luas, suasana di sini lumayan sepi. Tapi hanya di dalam, berbeda dengan kondisi di luar yang mana para pekerja lain dan satpam selalu menghabiskan waktu dengan mengobrol di pos satpam. Dari balkon, Sean seringkali melihat ketika mereka bermain catur atau pun kartu. Secangkir kopi hitam buatan Mbok Sum serta kepulan asap rokok tak pernah absen disetiap malamnya.

Kadangkala, ketika ayahnya berada di luar negeri, Sean sering ikut nongkrong di depan pos satpam bersama Pak Mursidin – satpam yang sudah bekerja selama lima belas tahun di rumah ini. Beliau kelahiran tahun 1963, pengalamannya tentang hidup tak perlu diragukan lagi. Mursidin muda dulunya adalah seorang pelayar, beliau sudah pernah berkunjung ke berbagai negara dalam pelayarannya. Tapi itu tidak berlangsung lama, memasuki umur tiga puluh, Pak Mursidin memutuskan untuk berhenti karena harus mengurus orang tuanya yang sering sakit-sakitan.

Selama hidupnya, Pak Mursidin sudah pernah menjajal beberapa pekerjaan seperti; cleaning service, kuli bangunan, kuli panggul, berdagang, dan masih banyak lagi. Walaupun hidupnya banyak sekali pasang surut, Pak Mursidin tak pernah mengeluh. Pengalaman menjadi seorang pelayar membuat mentalnya kuat sekeras baja.

Mengobrol bersama beliau pun tak pernah membosankan, apalagi ketika membahas masalah politik di Indonesia, beliau sangat bersemangat dan penuh energi. Sedikit banyaknya, karakter yang Sean miliki sekarang adalah hasil dari didikan Pak Mursidin. Cuek, tapi perhatian, itulah beliau.

“Sean, kamu ngapain?” suara Diana membuat Sean sedikit tersentak, Bella sampai ngacir saking kagetnya.

“Mah! Bisa nggak jangan ngagetin?”

Diana terkekeh kecil. “Hehehe, maaf, Mamah nggak bermaksud buat ngagetin, kok. Kamu ngapain malem-malem di dapur?”

“Nyari makanan, laper ...,” jawabnya kesal, “ini kok nggak ada apa-apa, sih? Mbok Sum nggak masak apa gimana?”

“Kamu nggak tau kalo si Mbok lagi pulang kampung?”

Sean menggeleng. “Pantes aja kulkas kosong.”

I’am so sorry, Mamah belum sempet suruh orang buat belanja. Mamah sama ayah juga baru dateng tadi isya, makannya nggak masak sama sekali.” Diana menatap anaknya nanar, merasa bersalah karena tidak memasak apapun untuk malam ini.

I’ts oke, Sean bisa beli makanan lewat GrabFood. Mamah istirahat aja di kamar.”

“Nggak, Mamah temenin kamu sampai pesannya dateng okey?!”

Sean menghela napas pasrah, walau ia yakin Diana merasa kecapekan, tapi tak bisa dipungkiri kalau ia butuh teman saat ini.

“Oke,” jawabnya.

***

Sembari menunggu pesanannya datang, Sean dan Diana duduk berbincang di ruang tengah. Diana sangat baik dan memperlakukan Sean layaknya anak kandung sendiri. Itu sebabnya Sean luluh dan terbuka kepada ibu sambungnya.

“Gimana kabar Eca setelah tau kaberadaan bundanya?” tanya Diana mengawali percakapan.

“Jelas dia nggak baik-baik aja. Siapa, sih, yang nggak sedih kalo tau bundanya nikah lagi? Selama ini dia sama Naufan selalu berharap kalo bundanya pulang dan bisa hidup normal kaya keluarga lain, tapi sekarang situasinya berbeda. Sean jadi  merasa bersalah, Mah.”

Diana memasang raut muka prihatin, benar-benar kabar yang buruk, “Mamah tau, dan jelas kamu lebih paham gimana perasaan itu. Right?”

Sean melirik Diana, apa wanita itu sedang menyindirnya? Memang, di awal Sean juga merasa kecewa kepada Wisnu, ia pikir ayahnya akan rujuk dengan bundanya, tapi ternyata beliau memutuskan untuk menikah lagi dengan perempuan lain. Tidak ada anak yang menginginkan hal itu terjadi. Dan tentu saja itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk diterima setiap anak.

“Eca itu gadis yang sangat kuat, Mamah aja salut ketika denger dia cuman tinggal sama kakaknya. Tapi sekuat-kuatnya pacar kamu, dia juga pasti punya titik kelemahan. Eca sama Naufan dituntut untuk dewasa karena keadaan, hidup tanpa kehadiran orang tua itu nggak gampang lho, kamu pun sering mengalami hal itu. Kita yang selalu berkomunikasi aja terkadang masih kangen kalo belum ketemu secara langsung. Sementara mereka gimana? Nggak mungkin mereka nggak kangen sama orang tuanya. Di dunia ini, hanya bundanya orang tua yang masih mereka miliki. Setidaknya untuk sekarang, setiap perasaan rindu itu muncul, mereka tau harus berbuat apa. So, jangan pernah merasa bersalah, Mamah yakin kalo jauh di dalam lubuk hatinya, Eca pasti bahagia.”

“Semoga aja,” balas Sean singkat, padat dan jelas.

Beberapa detik kemudian, Pak Mursidin muncul sambil membawa dua kantung keresek berwarna putih. Pria paruh baya itu mendekati majikannya untuk menyerahkan makanan yang baru saja datang lewat kurir.

“Permisi, Bu... Ini makanannya sudah datang.”

“Itu punya Sean, Pak... Makasih udah dianterin ke sini.” Sean mengambil alih makannya dari tangan Pak Mursidin.

“Sama-sama, Den.”

Diana bangkit dari duduknya dan hendak kembali ke dalam kamar. “Yaudah, sekarang Mamah ke kamar dulu ya, takutnya ayah kamu butuh sesuatu.”

“Tunggu, Mah!” cegah Sean menghentikan langkah Diana.

“Kenapa?”

Sean meneguk salivanya, ada rasa bimbang sebelum mengatakan apa yang ada dalam pikirannya saat ini, tapi ia harus berani untuk menyuarakannya.

“Ada apa, Sayang?” tanya Diana sekali lagi.

“A-anu, apa yang Mamah sama ayah omongin kemarin malem itu bener?”

Diana mengernyit. “Soal apa, Nak?”

“Soal kalian yang mau Sean–”

“Kamu tahu dari mana?” seolah mengerti, Diana memotong kalimat anaknya.

“Sean nggak sengaja denger percakapan kalian,” cicitnya.

Diana tercekat, “Seberapa jauh yang kamu denger?” tanyanya.

“Nggak banyak kok,” sekejap dia menggaruk pangkal hidungnya, “emangnya harus banget ya, Mah?” lanjutnya lagi.

Diana menghela nafas lega, sepertinya Sean tidak mendengar semua percakapannya dengan Wisnu kemarin malam. Percakapan ... mengenai sesuatu yang masih terlalu dini jika diketahui oleh Sean. Bahkan, semua orang mungkin?

“Udah malem, mamah tidur dulu ya,” pamitnya begitu saja, menghindari pertanyaan yang tidak bisa ia jawab.

Sean mengangguk kecewa. “Yaudah kalo gitu, good night.”

Diana mengulum senyum, mengelus kepala anaknya sebelum pergi menuju kamar, “Night,” balasnya.

***

𝐈𝐌𝐀𝐆𝐈𝐍𝐀𝐓𝐈𝐎𝐍 ✈️ | 𝐓𝐄𝐑𝐁𝐈𝐓 Where stories live. Discover now