IMAGINATION || 30

121 12 0
                                    

Jangan lupa vote^

Komen banyak-banyak ya:)

Happy Reading❤

°
°
°
°
°
***

30. Posesif

Bell pulang sekolah berbunyi. Semenjak
insiden tadi, benteng pertahanan Eca masih belum juga runtuh. Tak banyak kata yang terucap, tak ada senyum yang terulas. Gadis yang biasanya ceria, telah berubah murung dalam sekejap.

Kurang lebih setengah jam Eca duduk di tepi lapangan, menunggu Naufan yang tengah berlatih basket bersama timnya. Eca hanya melamun sembari mendengarkan musik. Ia merasa bersalah, tidak seharusnya ia melarikan diri seperti ini, Sean pasti membutuhkannya.

Tetapi di sisi lain ia juga masih enggan untuk bertemu. Eca belum siap jika harus melihat Sean, ia merasa sedikit takut karena kejadian tadi.

Di kejauhan, Sean tampak memperhatikan Eca yang lagi-lagi terduduk lesu. Sebenarnya dia ingin menghampiri Eca, tapi melihat gadisnya berulangkali menghela napas membuatnya berpikir dua kali untuk mendekat.

Sean meringis saat tangannya membentur tembok. Sampai saat ini dia memang masih belum membersihkan lukanya. Sekarang terlihat begitu jelas kalau tangannya itu mulai membengkak dengan warna ungu gelap mendominasi. Meski begitu, rasa sakit yang satu ini tak seberapa jika dibandingkan ketika melihat Eca sedih. Saat dunianya hancur, bagaimana Sean bisa hidup tenang? Sangat sulit.

"Kak?" suara familiar itu membuat Sean mendongakkan wajahnya.

"Hm?" tanyanya refleks.

"Ngapain di sini sendirian? Gak pulang?"

"Gue nungguin lo," jawab Sean jujur, "lo marah, Ca?" tanya Sean lagi, Eca menggeleng.

"Terus kenapa ngehindar?"

"Gue cuman t-takut," jawab Eca terbata.

"Sama gue?" tunjuk Sean pada dirinya.

"Iya, tapi sekarang udah enggak," kemudian Eca meraih tangan Sean dan menatapnya nanar, "ini kenapa belum diobatin? sakit, kan pasti?" lanjutnya menyentak.

"Lebih sakit lo tinggal di lapangan tadi."

Eca menunduk, matanya memanas menahan tangis, "maaf," lirihnya.

Sean tak menjawab, dia malah membawa Eca ke dalam pelukannya. Ini yang ingin ia lakukan sejak tadi. Memeluk erat tubuh Eca dan menumpahkan segala uneg-unegnya, "Gue yang harusnya minta maaf karena udah bertindak gegabah. Sekarang lo obatin tangan gue, perih," adunya sambil memasang wajah cemberut.

Eca menghela napas berat, "Gue obatin di apartemen aja ya?" Sean mengangguk dengan senyum yang sulit diartikan.

***

Eca menggigil di sebuah halte, padahal tubuhnya sudah ditutupi dengan jaket denim milik Sean. Tetapi rasanya tetap saja, dingin. Eca melirik sekilas ke arah samping, di sana Sean terlihat calm meski angin berhembus sangat kencang. Walau begitu Eca yakin kalau Sean juga merasakan hal yang sama, hanya saja pria itu selalu ingin terlihat baik-baik saja di depan orang lain. Gengsian!

Ketika dalam perjalanan, tiba-tiba hujan turun dengan lebat. Sean langsung menepikan motornya setelah melihat halte. Tangannya perih dihantam air hujan yang cukup deras. Lagipula ia tidak mau Eca sakit, maka dari itu ia memilih untuk berteduh terlebih dahulu.

Hachim!

Eca menutup mulutnya dengan kedua tangan, hidungnya terasa gatal dan ingin bersin kembali. Sepertinya gadis itu terserang flu.

𝐈𝐌𝐀𝐆𝐈𝐍𝐀𝐓𝐈𝐎𝐍 ✈️ | 𝐓𝐄𝐑𝐁𝐈𝐓 Where stories live. Discover now