IMAGINATION || 39

226 6 0
                                    

Jangan lupa vote^

Komen banyak-banyak ya:)

Happy Reading❤

°
°
°
°
°
***

39. Sakit

Cuaca cukup cerah untuk pagi sedingin ini, diantara beberapa murid yang berjalan memasuki lingkungan sekolah, Sean melajukan motornya menerobos kerumunan, membuat setiap orang menepi karena takut tersenggol kencangnya laju motor. Sebelum anak OSIS menyuruh untuk berkumpul di lapangan upacara, Sean langsung pergi dari area parkir menuju kelas gadisnya. Hari ini dia bangun kesiangan sehingga terlambat untuk berangkat bersama.

Ketika melewati lorong, pria itu tak sengaja berpapasan dengan Nessa yang sedang berjalan bersama teman-temannya. Sedikit aneh ketika pandangannya tak melihat keberadaan gadisnya dalam gerombolan tersebut. “Eca mana?” tanya Sean.

“Lho, memangnya lo nggak tahu kalo Eca nggak sekolah?”

Sean membuka handphone-nya untuk mengecek siapa tahu ada notifikasi yang masuk, tapi hasilnya nihil. “Dia nggak ngabarin gue sama sekali.”

Nessa menghela napas berat. “Ckckck, kasian deh, lo, nggak dikasih kabar,” ejeknya, “Naufan, sih, bilangnya ada perlu ya. Kalo Eca, dia nggak masuk karena lagi sakit,” lanjutnya sedikit murung.

Sean melebarkan matanya. “Apa? Sakit? Terus Naufan juga nggak sekolah gitu?”

“Ihh, gak usah teriak-teriak juga dong, malu tau!”

“Bilangin sama Raka kalo hari ini gue izin.”

“Eh? T-tapi –”

Sebelum menuntaskan kalimatnya, Sean sudah menghilang menggunakan jurus seribu bayangan. Nessa mematung di tempat, mengelus dadanya supaya lebih sabar menghadapi manusia semacam Sean Moreno. Tapi sebentar, Nessa merasa ada kejanggalan di sini. Kenapa Sean tidak tahu kabar Eca sama sekali? Untuk ukuran orang yang lebih dekat dengan gadis itu, seharusnya ia tahu semua hal yang bersangkutan dengannya. Apa ada masalah? Ia harus mencari tahu secepatnya.

***

Eca membuka mata saat merasakan tangan lembut menyentuh keningnya. Pandangan pertama yang ia lihat adalah wajah tampan milik pacarnya. Eca mengulas senyum sehangat mentari, sehingga orang yang ada dihadapannya ikut menyunggingkan bibir.

“Kata Nessa lo sakit, jadi gue langsung ke sini.” Tangan kekarnya beralih menangkup wajah gadisnya.

Eca menggeleng lemah, senyumnya masih setia mengembang, “Gue nggak sakit kok, cuman lagi pengen istirahat aja.”

“Syukur deh kalo lo nggak apa-apa. Naufan udah tau soal masalah kemarin?”

“Udah, itu kenapa dia nggak ada di sini sekarang. Setelah gue ceritain tentang bunda, pagi-pagi banget dia langsung pergi tanpa pamit. Gue rasa, sih, dia nyamperin bunda.”

“Jangan khawatir, dia pasti baik-baik aja.”

Eca mengangguk, ia sama sekali tidak khawatir dengan kakaknya. Ia yakin Naufan pasti bisa menjaga dirinya sendiri. Dia tidak mungkin terluka, apalagi melakukan hal bodoh karena masalah ini, Naufan pasti tahu mana yang terbaik. Eca yakin itu.

“Bolos? Udah kelas dua belas juga.” 

“Tenang aja, gue udah minta tolong sama Raka buat di izinin. Lagian, siapa suruh lo nggak masuk?”

“Iya, tapi kan – ”

“Ssstt, sehari aja jangan bawel bisa gak? Mending sekarang lo makan dulu, nih. Gue udah bawain bubur yang dijual deket sekolah. Lo pasti laper, kan?” Sean mengangkat paperbag yang semula berada di atas nakas.

Alih-alih menjawab gadis itu hanya cengengesan. Tentu saja dia lapar, sejak kemarin malam dia tidak makan apa-apa. Eca bangun dan mengambil satu styrofoam berisi bubur itu, kemudian menyantapnya dengan lahap. Berbeda dengan kebanyakan orang, walaupun sedang sedih, dia tetap tidak akan menolak ketika makanan datang. Karena menurutnya, rasa lapar itu tidak bisa ditahan seperti rasa kantuk, terlebih karena ia sendiri sangat suka dengan makanan.

“Gue ambil minum dulu,” ucap Sean berlalu menuju dapur. Dan Eca, setelah ditinggal sendirian, senyum diwajahnya perlahan memudar.

Ternyata pura-pura bahagia itu tidak mudah ya?

***

Sean menemukan ponselnya bergetar dan memperlihatkan nama Raka muncul di layar. Pria itu tergelitik saat membaca pesan yang dikirimkan oleh Raka. Saat ini dia pasti sedang kesal, karena dua sahabatnya absen dihari yang sama.

Raka :
||Sialan lu, ninggalin gue sendiri di kelas. Mana sekarang pelajarannya hitungan semua.

Eca sedikit mendongak untuk mengetahui alasan dibalik tawa kecil kekasihnya. Mereka berdua memang sedang berada dalam posisi yang cukup dekat. Eca yang berbaring di atas sofa sambil menonton televisi, kemudian Sean yang duduk dihadapannya menemani. Setelah menghabiskan makanannya, Sean mengajak Eca supaya tidak terus-terusan berada di kamar. Gadis itu harus bergerak dan mencari kesibukan lain. Atau tidak pikirannya akan terus tertuju kepada Marissa.

“Siapa?” Tanya Eca dengan nada lemah.

“Raka. Ngambek dia karena gue sama Naufan nggak sekolah,” jawab Sean sambil terkekeh.

“Suruh ke sini aja kalo udah pulang, udah lama juga kita nggak main. Kangen.”

“Nggak, gue nggak mau waktu kita diganggu. Khusus hari ini, nggak boleh ada siapapun yang ganggu kita berdua.”

Eca menaikan selimutnya sampai atas kepala. Pipinya pasti sudah merona sekarang. Sean memang tidak pernah gagal membuat jantungnya berdetak abnormal. Hatinya seperti berada di taman yang sangat luas, penuh sekali bunga. Sean berbalik dan menurunkan selimut itu, kini wajahnya terlihat sangat serius. Eca jadi gugup tak keruan, melihat sorot mata yang begitu tajam itu, membuatnya jadi tegang seketika.

“Lain kali, gue nggak mau liat lo kaya gini. Murung, sampe-sampe nggak masuk sekolah. Bikin khawatir aja tau nggak? Liat keadaan lo sekarang, mata udah kaya mata panda, mana belum mandi lagi. Jelek.”

Sean menyentil dahi Eca pelan, “kalo emang sedih itu tunjukin, lo pikir gue nggak tau apa kalo lo cuman pura-pura bahagia di depan gue? Naufan juga pasti sedih kalo tau adiknya kaya gini. Apa-apa di pendem. Gue tau kalo lo itu kuat, tapi semua ada batasnya. Inget, banyak yang peduli sama lo, jadi jangan nanggung semuanya sendirian. Paham?” 

Mata gadis itu berkaca-kaca. Semalam ia memang terus menangis diam-diam. Dia tidak ingin munafik, semuanya memang begitu menyesakkan dada. Melihat bundanya melanjutkan hidup bersama orang lain, bahagia, dan bahkan sudah memiliki anak lagi. Membuat hatinya hancur berkeping-keping. Apa selama ini dia tidak pernah berpikir jika anak-anaknya mengharapkan dia kembali? Apa dia tidak berpikir jika setiap saat anak-anaknya merindukan kehadiran seorang ibu? Terlebih, apa dia tahu kalau suami yang dia tinggalkan sudah tiada? Emm, sepertinya tidak.

“Iya... paham kok.”

Sean tersenyum simpul. Perlahan tangannya meraih tangan dari gadis didepannya. Eca memejamkan mata saat bibir ranum nan lembut milik Sean mencium punggung tangannya berulang kali. Apalagi pacarnya itu begitu erat saat menggenggam, membuat hatinya menghangat seiring beranjaknya waktu. Ciuman terakhir mendarat di kening gadis itu, ini kali kedua. Tapi Sean tak merasa canggung sedikitpun. Malah kalau bisa ia ingin melakukan hal yang lebih, tapi ia harus tahan karena itu sangat tidak mungkin dilakukan.

“Lo nggak akan ninggalin gue, kan?”

Deg!

Sean tak menjawab, seketika pikirannya teringat akan sesuatu yang sempat ia lupakan. Tapi sebisa mungkin ia segera menepis pikiran itu jauh-jauh. Tentu saja, Sean tidak akan pernah meninggalkan Eca. Kemanapun dia pergi, sejauh apapun jarak diantara mereka. Eca akan tetap ada dihatinya.

“Iya," jawabnya terdengar samar.

***

𝐈𝐌𝐀𝐆𝐈𝐍𝐀𝐓𝐈𝐎𝐍 ✈️ | 𝐓𝐄𝐑𝐁𝐈𝐓 Where stories live. Discover now