59 - Dia sudah pergi

17.2K 3K 1.5K
                                    

Maaf, kalau telat up 👋🏻😁

Oh iya, cek akun TikTok aku. @sayanopi__
Ada spoiler yang bikin meleleh! Cevvat lari ke TikTok dulu mwhehehhe.

Jangan lupa vote dulu sebelum baca. Taburkan komentar di setiap baris juga di perlukan. ^^

🌻🌻🌻

"Innalillahi wainnailaihi raji'un," ucap Semuanya secara bersamaan, tapi tidak dengan Rayan yang masih terdiam kaku di tempat dengan air mata yang terus membanjiri pipinya.

"Catat, jam 9 lewat 34, bayi laki-laki ini sudah meninggal dunia."

PLAKKK!!!!!!

Rayan menampar pipi kanannya sendiri sangat keras. Hal itu tentu mengundang Dokter dan Suster yang masih ada didalam ruangan untuk menoleh. Kaki Rayan lemas, dadanya sesak, bahkan untuk bernafas rasanya sulit sekali.

"Stop, pak!" Dokter Mila mencegah Rayan agar tak melakukan yang lebih dari ini.

"A-anakku......" Kehilangan seorang bayi yang sangat ia damba-dambakan dari dulu, dadanya benar-benar sakit. Untuk kedua kalinya Rayan terpukul seperti ini, kehilangan orang yang sangat-sangat ia sayangi.

"Kenapa harus terjadi lagi, ya Allah!" Rayan Meraup wajahnya kasar. Rambutnya ia Jambak, tangannya tak henti-hentinya memukul dadanya yang sesak karena mengetahui kabar duka ini.

Jelas, suara Rayan yang keras, mampu membuat semua orang yang ada di luar ruangan penasaran. Bella, wanita itu memaksa untuk masuk ke dalam ruangan, padahal semuanya sudah mencegah wanita paruh baya itu.

Sekuat tenaga Keanu menarik bundanya untuk menjauh dari ruangan tempat adiknya dirawat. Windi sendiri langsung bertanya-tanya pada Aziz. "Ada apa dengan Rayan, Bah?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Abah juga tidak tau, Mi."

Dokter Mila mengambil tubuh bayi laki-laki itu dari atas tubuh Fira. Sedangkan dokter Alira mencoba untuk menangani Fira kembali agar jantung wanita itu kembali normal.

"Pak..... Bayinya," ucap Dokter Mila kepada Rayan.

Rayan yang sedari tadi menangis tiada henti, kini mendongak setelah dokter Mila mengatakan kata 'bayi'. Perlahan-lahan ia mengambil alih tubuh bayi yang sudah kaku dan tidak bernyawa itu.

"Adzani dia untuk pertama dan ke terakhir kalinya, Pak. Yang kuat, ya." Dokter Mila kini bangkit dan langsung menghampiri Dokter Alira untuk membantu menangani Fira.

Menatap wajah tampan putranya dengan tatapan sendu. Senyum paksa ia keluarkan, lalu tangannya meraih pucuk kepala itu. "Kamu kenapa ninggalin Baba, Nak? Kenapa?" tanya Rayan dengan air mata yang masih menetes ke bedong yang bayi itu pakai.

"Kenapa tega ninggalin Umma dan Baba sayang? Baba harus bilang apa sama Umma nantinya, Nak?" Rayan masih mencoba berbicara pada sang bayi mungil di hadapannya ini.

Wajah bayi itu sangat tampan, bahkan bisa dibilang mirip sekali dengan Rayan. Bibirnya tersenyum, membuat dada Rayan semakin sesak dibuatnya.

"Bangun, ya? Jangan tinggalkan Baba dan Umma. Atau perlu Baba aja yang gantikan kamu, hmm? Asal kamu bangun, Nak. Baba siap kok gantiin kamu." Rayan tersenyum, mencoba mengajak bicara bayi laki-laki itu.

"Buka matamu, Umma pasti ingin melihatmu. Ayo, Nak, jangan buat kita semua sedih karena kehilangan kamu. Bangun, ya?"

Merasa sia-sia, Rayan mendekatkan bibirnya ke telinga putranya. Ia mulai mengumandangkan adzan, walaupun rasanya sakit sekali. Kenapa hari yang seharusnya hari terbahagia bagi dirinya dan sang istri, justru hari paling menyedihkan? Mengapa?!

Kecupan tulus ia layangkan kepada kening putranya. Tangannya bergetar hebat, tak ada yang lebih menyedihkan saat kehilangan seseorang yang sangat ia sayang.

"Sudah?" Tanya Dokter itu, dan Rayan mengangguk lesuh. "Baiklah, kita keluar sekarang." Suster itu seakan menyuruh Rayan agar bangkit dan ikut keluar.

Rayan berjalan lebih dulu untuk keluar dari ruangan itu. Semuanya lantas bahagia mendapati kedatangan Rayan dengan seorang bayi yang tengah di gendongnya. Alis kyai Aziz menaut, bukan wajah kesenangan yang ia dapat dari ekspresi wajahnya, bahkan kebalikannya.

"Ponakan Tante!" pekik Fani. Ia langsung ingin mengambil alih bayi itu ke gendongannya, namun Rayan mencegahnya.

"Kenapa, Ray?!" Napas Fani memburu. Apakah tangannya kotor sehingga bayi itu tak bisa dirinya gendong?

"Aku ingin menggendong putraku lebih lama lagi sebelum diantarkan ke rumah terakhirnya."

Semuanya terdiam, tak mengerti apa ucapan Rayan. Ralat, bukan tidak mengerti, pura-pura tidak mengerti.

"Yang bener aja, Nak." Bella tertawa, ia sedikit reflek memukul pundak Rayan pelan.

Rayan menggeleng. "Rayan ga lagi bercanda, bayi yang selama ini Rayan damba-dambakan sama Fira, udah gaada......" Rayan menunduk, mendapati wajah putranya yang kini menampilkan senyum, walaupun sudah tak bernyawa.

"Innalillahi wainnailaihi raji'un......."

"Cucu Oma?!" Bella langsung mengambil bayi itu, dan ia menepuk pelan pipi gembul bayi itu agar terusik, dan bangun dari tidurnya.

Tangannya ia letakkan di dekat hidung bayi itu, dan benar..... Tak ada helaan napas yang ia rasakan. Bella menggeleng...... Seketika ia mengingat akan ibu dari bayi ini.

"Ibunya tidak apa-apa?" Tanyanya dengan suara parau.

Rayan bergeming, diam, tak ada suara yang keluar. Sehingga suster di sampingnya lah yang mau tidak mau menjawab. "Ibu dari itu selamat. Awalnya jantung keduanya sama-sama lemah, tapi bayi itu lebih lemah dari pada ibunya. Tapi alhamdulilah, jantung pasien sudah sedikit normal."

Mendengar itu, Bella tersenyum. Ia menunduk, dapat ia lihat wajah damai bayi itu, senyuman tipis yang terulas di bibir mungilnya, mampu membuat hati Bella kembali sesak.

"Nak..... Secepat ini?" Bella bertanya seraya mengelus pipi gembul bayi menggemaskan itu.

"Altezza Zayyan Atharazzka. Gus Altezza." Rayan berucap dengan pandangan kosong. Nama yang baru saja ia ucapkan, itu adalah nama bayi yang sekarang ada dalam gendongan Bella.

Senyum tipis ia terbitkan, air mata yang tak bisa ia bendung, ia biarkan keluar dengan lancarnya. Tak perduli jika banyak orang yang akan mengatainya cengeng, seperti dulu.---- mereka tidak pernah merasakan apa yang Rayan rasakan.

"Boleh saya menggendongnya, Bell?" Windi mencoba mengambil alih bayi itu dari gendongan Bella. Air matanya juga sudah membasahi pipi. Cucu yang ia tunggu-tunggu...... Ternyata tidak bisa di terselamatkan.

Windi terdiam mengamati wajah damai cucunya. Aziz menghampiri Windi, Aziz memberikan kecupan hangat untuk cucunya itu.

"Bayinya dimandikan di rumah sakit atau di rumah duka, Pak?" tanya Suster itu kepada Aziz.

Aziz mendongak, ia melirik putranya sebentar kemudian ia berucap, "Dirumah sakit saja, Sus."

"Baiklah, akan segera saya urus."

Rayan menghampiri Windi yang sekarang tengah menggendong putranya. Wajahnya mirip sekali dengan dirinya, seperti kembar tapi versi mini.

"Bangun, Nak..... Baba mau bilang apa sama Umma-mu?" Tangannya meraih pucuk kepala Gus Altezza, kemudian bibirnya ia dekatkan ke kening, mendaratkan kecupan singkat untuknya.

"Tenangi diri kamu, Nak." Aziz menepuk-nepuk pundak putranya.

Rayan menggeleng kuat. "Bagaimana Rayan bisa kuat, Bah? Gimana Rayan bisa tenang?"

Bersambung ✓

Yahhh...... Gagal dpt ponakan 3 :((((

2k vote and 1,33k komen untuk next part 🧚‍♀️

Next ➡️

Jangan lupa senyum "😁"

Tim gantung ending atau epilog gengs? Kutunggu jawabannya ><

GUS RAYAN  [ • END • ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang