[28] - Apakah dia egois?

Začať od začiatku
                                    

***

"Aku tadi lihat anak kecil. Dia dimarahin sama ibunya." Seorang perempuan yang tengah merebahkan tubuhnya di atas kasur itu bersuara.

"Lalu?" tanya seorang laki-laki yang tengah sibuk mengotak-atik laptopnya.

"Hanya karena masalah ranking. Menurutmu, apa ranking itu penting?"

Ansell menutup laptopnya, lalu ia melepaskan kacamatanya. Duduk menatap sang istri yang saat ini tengah menatapnya—menunggu jawaban. "Ranking itu hanya angka yang menjadi patokan seberapa terbaiknya orang tersebut."

"Hampir semua orang tua berlomba-lomba menyuruh anaknya untuk menjadi yang terbaik, padahal semuanya sama saja. Ada baiknya juga, tetapi jika terlalu menuntut hingga menyebabkan seorang anak merasa tertekan itu tidak baik untuk kesehatan mentalnya."

"Apa ranking bisa menjamin orang itu menjadi seseorang yang sukses di masa depan?" tanyanya lagi.

"Tidak juga, yang menjamin kesuksesan itu adalah kerja keras. Kepintaran seseorang tidak bisa diukur dari seberapa besar nilai raport," ujarnya.

"Mau sebagus apa pun nilai dia di akademis, mau setinggi apa pun pendidikannya, itu semua tidak menjamin untuk kehidupannya di masa depan. Dunia ini semakin keras, sudah keras malah semakin diperkeras oleh pemerintah."

"Di luaran sana, banyak mahasiswa yang menyandang gelar sarjana, tetapi apa gelar saja cukup untuk menjadi seseorang yang sukses? Malah, banyak dari mereka yang memiliki gelar sarjana. Namun, masih menjadi seorang pengangguran. Seperti kamu contohnya," ujar Ansell remeh. Atensinya mengalih—dia tersenyum di belakang Grace.

"Apaan, sih! Kalau aku nggak nikah sama kamu. Mungkin, aku sudah bekerja. Mulai, deh," protes Grace tak terima.

"Lagi pula, apa pentingnya membanggakan isi otak dan juga nilai raport? Padahal semua orang pintar dalam bidangnya masing-masing."

"Jika dia lahir dan menginjak dewasa. Aku tidak ingin terlalu menekan agar dia menjadi yang terbaik di kelasnya. Karena yang terpenting menurutku adalah attitude."

"Lebih bagus lagi jika ia bisa menjadi yang terbaik dan memiliki attitude yang baik pula."

"Jangan menuntut seseorang untuk menjadi yang sempurna, karena pada dasarnya di dunia ini tidak ada yang sempurna. Semoga dia tidak memiliki sifat sepertimu, Ansell."

Grace mengusap perutnya dengan lembut. Meskipun usia kandungamnya masih terbilang cukup muda, tetapi Grace sudah merasakan perbedaan, dimulai dari perutnya yang terasa sangat kencang.

"Aku yakin dia berjenis kelamin perempuan," ujar Ansell.

"Bagaimana kau tahu?"

"Rewel, sensitif, dan juga mudah baper. Kalau nggak marah, ya, nangis."

Grace terdiam. Dia menatap Ansell dengan tatapan yang tidak biasa. Membuat Ansell seketika langsung mendekatinya. "Bercanda," ujarnya seraya mencubit pipi Grace dengan gemas.

Grace tampak biasa saja, ia menatap lamat-lamat wajah laki-laki itu. Sekarang Ansell lebih banyak bicara, tidak sedingin saat pertama kali mereka bertemu. Entah itu memang dari hatinya, atau hanya sebatas menghibur sang istri. Namun, apa pun itu, Grace sudah berterima kasih.

Seketika suasana mendadak hening, kini Ansell membaringkan tubuhnya di samping Grace seraya memainkan gawainya. Grace bisa melihat sedikit apa yang membuat suaminya itu terus fokus menatap layar ponsel tersebut. Terlihat di sana, ada foto seorang perempuan yang tengah tersenyum dengan mata yang menatap ke arah lain. Mungkin, laki-laki itu mengambil foto tersebut tanpa sepengetahuan si empu.

Grace tersenyum. Mungkin, inilah yang menjadi alasan kenapa laki-laki di sampingnya itu masih belum bisa mencintainya, karena hatinya sudah dimiliki orang lain. "Apa mungkin semua akan kembali ke titik awal?" batin Grace bersuara.

Ia tak ingin memaksakan perasaannya lagi. Jika memang dirinya harus mencintai sendirian, itu tidak mengapa. Hanya saja, mengapa rasa itu harus datang secepat ini? Datang ketika hatinya masih belum sama-sama siap.

"Semesta selalu bercanda. Tapi kenapa candaannya sama sekali tidak membuatku tertawa," gumamnya, tanpa ia sadari Ansell mendengarnya.

Laki-laki itu menyimpan gawainya. Lalu, ia menghadap ke arah Grace, perempuan itu masih menatap Ansell dengan serius. Seolah tidak ada lagi pemandangan yang mampu menarik perhatiannya. "Kenapa?" tanya Ansell, Grace menggeleng.

"Oh, iya, Ansell?"

"Hmm?" Kontak matanya bertemu, menatap satu sama lain.

"Aku ingin memilikimu sepenuhnya. Aku rasa, aku sudah jatuh terlalu dalam, dan aku menyukaimu dengan sangat." Banyak cara yang bisa Grace lakukan, termasuk membuat Ansell membalas perasaannya.

"Lalu?"

"Jangan berikan perhatianmu kepada perempuan lain, tatapanmu, bahkan senyummu. Kau punya aku, punya Gracellina Edellyn. Aku akan terus egois seperti ini, karena kamu milikku."

To be continued ....

Pengantin Pengganti Where stories live. Discover now