[34] - Risalah hati

17.7K 1.2K 18
                                    

"Tidak ada yang tahu kapan cinta itu akan datang, karena cinta datang tanpa permisi."

- Erlangga

Setelah membacanya, Grace memberikan kembali notesnya. Benar, di sana terselip selembar foto perempuan yang tengah berpose candid, sekilas Grace ingat jika foto tersebut sama persis dengan foto perempuan yang beberapa hari lalu ia lihat di ponsel suaminya. Perempuan itu menyeka air matanya yang sempat terjatuh ketika membaca asrar milik Carla.

Kini, Grace terdiam. Ia menatap lurus ke depan. Masih tidak percaya jika Dean menjadi penyebab utama kematian Carla—gadis yang masih dicintai suaminya. Sesekali ia menampik kenyataan tersebut, tetapi semua bukti memang mengarah kepada laki-laki itu. Kecewa? Tentu. Ternyata Dean tidak sebaik yang dia kira, di satu sisi lain ia merasa lega karena selama berpacaran dengan laki-laki itu dirinya tidak pernah melakukan apa pun.

"Kau kecewa?" Ansell bertanya. Laki-laki itu menatap sang istri yang masih setia menatap lurus ke depan.

"Aku tidak tahu. Rasanya untuk marah dan kecewa saja aku tidak pantas. Dean bukan siapa-siapaku lagi," ujarnya. Grace tersenyum, untuk apa dirinya kecewa? Untuk apa dirinya marah? Sudah bukan urusannya lagi. Lalu, gadis itu pun meninggalkan Ansell.

Bohong! Tidak mungkin tidak kecewa. Laki-laki yang pernah ia cintai dengan setulus hati ternyata tidak sebaik apa yang dipikirkannya.

Pernyataan ini terlalu mengejutka, sampai dirinya tidak bisa mengatakan sepatah kata pun, bahkan hanya untuk sekadar menanggapi. Mengambil keputusan untuk menikah dengan Ansell itu, entah pilihan yang tepat atau bukan. Bagaimana jadinya jika dirinya masih bersama dengan Dean. Apakah laki-laku itu akan melakukan hal yang serupa?

Grace menggelengkan kepalanya, dia berusaha untuk melupakan.

Ansell menatap Grace dari balkon, ia perhatikan sepertinya perempuan itu terus-menerus memikirkan isi dari note tersebut. Grace bukanlah pelampias dendamnya, dia wanita baik yang tidak tahu apa-apa. Haruskah ia menyakiti perasaannya hanya karena egonya? Dengan adanya pernikahan ini saja sudah membuatnya menderita, haruskah ia memberikan luka untuk yang kesekian kalinya?

Ansell mengotak-atik ponselnya, laki-laki itu menelpon Erlangga dan juga Gio—teman dekatnya. Setelah itu, Ansell pergi ke kamar mandi untuk membersihkan seluruh badannya, dan bersiap untuk pergi. Lima belas menit berlalu, Ansell pun sudah siap dengan pakaian casualnya. Dia menghampiri Grace yang saat ini tengah membaringkan tubuhnya dengan pandangan mata yang entah ke mana. Perempuan itu melamun.

"Aku akan pergi keluar sebentar. Mau dibawakan apa?" Ansell mendekat, laki-laki itu berjongkok di samping kasurnya seraya mengelus rambut sang istri dengan lembut.

Grace menggeleng. "Aku tidak ingin apa-apa."

"Aku tidak akan pulang larut malam. Kau tidur, jangan memikirkan apa yang seharusnya tidak kau pikirkan." Ansell mengecup kening Grace, setelah itu dirinya pergi.

Setelah Ansell benar-benar pergi, Grace membenarkan posisinya menjadi duduk. Mengambil ponselnya, lalu menekan aplikasi galeri. Dia menghapus semua foto dirinya dan juga Dean. "Aku tidak tahu jika kamu sebrengsek itu, Dean," ujarnya, sebelum dirinya benar-benar menghapus semua foto tersebut.

"Berpisah denganmu … entah harus senang atau sedih."

***

Malam ini, Ansell pergi ke rumah Erlangga, disusul Gio. Laki-laki yang bernama Erlangga itu tidak bisa meninggalkan appartemennya, karena ada beberapa berkas yang harus dikerjakannya malam ini. Terpaksa Ansell dan Gio pun pergi ke appartemen milik temannya tersebut.

"Tumben, ada apa?" tanya Erlangga, yang tengah menyeduh sebuah kopi untuk kedua temannya tersebut.

"Tentang Carla," ujarnya. Alis Erlangga dan Gio bertemu satu sama lain. Tidak mengerti dengan ucapan Ansell.

"Maksudmu?" Gio bertanya. Ansell pun mulai menjelaskan semuanya, dimulai dari Riana hingga pertemuannya dengan Dean.

"Bagaimana dengan Grace?" Sekarang giliran Erlangga yang bertanya.

"Dia sedang hamil," imbuhnya.

"Lalu, kau akan tetap menyakitinya sesuai rencanamu?"

"Tidak tahu." Ansell bingung.

"Grace tidak ada hubungannya dengan masalahmu dan juga Dean. Dia gadis yang dengan tidak sengajanya masuk di kehidupanmu dan juga Dean, bahkan dia tidak tahu-menahu soal kematian Carla."

"Aku memberitahunya. Bahkan, aku sudah memberitahu siapa pelaku yang telah melecehkan Carla hingga perempuan itu memilih untuk mengakhiri hidupnya."

"Dia marah?"

"Tidak. Dia tidak menanggapi apa pun."

"Kemungkinan besar Grace tidak akan marah kepada Dean. Dia sadar akan posisinya sekarang, dia istrimu. Logika saja, untuk apa dia marah kepada laki-laki yang sudah tidak ada hubungan dengan dirinya lagi? Terlebih lagi itu hanya masa lalu. Pantaskah untuk diungkitnya lagi?"

"Itu akan sia-sia. Justru aku malah berpikir jika semua ini akan menjadi boomerang untuk dirimu, Ansell." Gio menimpali.

"Boomerang?"

"Untuk saat ini, mungkin kau belum bisa mencintai Grace sepenuhnya. Tapi nanti? Tidak ada yang tahu kapan cinta itu datang, karena cinta datang tanpa permisi. Di saat kau sudah mulai mencintai Grace, lalu dia mengetahui apa yang menjadi alasan kau menikahinya, bagaimana? Sebentar lagi, kau akan menjadi seorang ayah, Ansell." 

"Aku yakin kau bisa membalaskan dendammu tanpa melibatkan Grace di dalamnya." Gio kembali bersuara.

Ansell diam, dia berusaha mencerna semua masukan dari kedua temannya. Ada benarnya juga, jika dirinya tetap menjadikan Grace sebagai bahan pelampiasan dendamnya itu hanya akan membuang-buang waktunya saja. Jika Grace hanya membenci Dean, itu tidak akan cukup puas untuk membuat laki-laki itu tersiksa seperti apa yang dirasakannya dulu—ketika mengetahui jika Carla meninggal.

Atau haruskah ia membunuh Grace secara perlahan? Tidak, tidak mungkin. Dia sedang mengandung anaknya, lagi pula Ansell tidak ingin melakukan hal sampai sejauh itu. "Lalu, aku harus bagaimana?" Ansell bertanya kepada dua temannya. Erlangga dan Gio justru malah tertawa ketika Ansell bertanya demikian.

"Otakmu terlalu pintar dalam mengelola perusahaan. Tapi terlalu bodoh dalam menyelesaikan masalah yang kau buat sendiri."

Kini Erlangga beralih menatap Gio. "Gio, jika kau berada diposisi Ansell apa yang akan kau lakukan?" tanya Erlangga.

"Aku akan memperbaiki hubunganku dengan Grace, menyampingkan egoku dan berusaha mencintainya. Namun, aku akan tetap membalaskan dendamku tanpa melibatkannya." Gio menaikkan kedua alisnya.

Lihatlah, seberapa bijaknya Gio saat ini. Masih tidak mau menjadi menantu untuk bundanya?

Ansell lagi-lagi terdiam. Apakah sudah saatnya dia membuka pintu hatinya untuk Grace, dan berusaha mencintainya dengan sungguh-sungguh?

Setelah memikirkannya dengan matang, dirinya baru sadar. Semua perkataan Erlangga dan juga Gio memang benar. Untuk membalaskan dendamnya kepada Dean, dia tidak perlu menyeret orang lain, apalagi Grace yang notabenenya istrinya sendiri, jangan sampai ia menyakiti perempuan yang seharusnya ia lindungi tersebut.

"Aku mengerti," ucap Ansell. Setelah mendapatkan pencerahaan Ansell memutuskan untuk pulang.

Dia tidak ingin meninggalkan Grace lama-lama, terlebih lagi sebelum dirinya pergi perempuan itu terus melamun. Di usia kehamilannya yang terbilang cukup muda, terlalu berbahaya jika perempuan itu terlalu banyak berpikir. Takut jika berujung stress.

To be continued ....

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang