[28] - Apakah dia egois?

20K 1.3K 16
                                    

Secangkir teh selalu menemaninya setiap malam, suasana sunyi dan senyap seakan menjadi candu untuk dirinya yang sekarang. Dia menatap layar ponsel yang digenggamnya, dulu ponselnya selalu berdering nyaris setiap menit, tetapi tidak berlaku untuk sekarang. Laki-laki itu menatap langit malam, satu bulan sudah berlalu, ternyata hatinya masih ia tutup rapat-rapat untuk perempuan lain.

Bukannya ia tak mau beranjak dari masa lalu. Namun, memang pada dasarnya melupakan itu tidaklah mudah. Seberusaha apa pun dirinya, jika hatinya menolak lupa maka usahanya pun akan terasa percuma. Ingin rasanya ia marah, memaki, bahkan sampai melukai laki-laki yang sudah merebut kekasihnya itu. Namun, apa ia pantas? Saling menyakiti hanya karena seorang perempuan? 

Laki-laki yang bernama Dean itu mengacak rambutnya dengan frustrasi. Di hadapan Grace mungkin ia bisa untuk tetap terlihat baik-baik saja. Namun, tidak dengan kenyataannya. Dia terpukul, tersiksa oleh rasanya sendiri. Kini, Dean mengambil ponselnya, menatap nama kontak yang bertuliskan 'Edellyn❤' Sampai detik ini Dean masih enggan menggantinya atau hanya sekadar menghapus emoticon love-nya. Dirinya juga tak pernah menghapus setiap isi chatnya bersama Grace dulu, ingin rasanya ia menuliskan pesan singkat, meski hanya sekadar bertanya sedang apa sebagai bentuk pelepas rindu.

"Sesulit ini?" Dean tersenyum getir seraya menatap loockscreen ponselnya, yang di mana masih terpajang foto dirinya dan juga Grace.

"Kalau rindu, temui." Seorang wanita paruh baya itu masuk ke dalam kamarnya tanpa sepengetahuan si empu.

"Dia sudah bukan siapa-siapa Dean lagi, Ma. Bahkan, bisa dibilang dia sudah bahagia tanpa Dean." Dia mematikan layar ponselnya, lalu menyimpan benda hitam tersebut di saku celananya.

"Maksud kamu?" tanya Ratna—sang ibu. Kebetulan dua hari yang lalu orang tuanya baru saja pulang dari luar negri, maka dari itu Dean menetap kembali di Jakarta—rumah lamanya.

"Dia sudah menikah," ujarnya.

"Loh? Bukannya tahun depan kamu berencana untuk melamar Grace? Memangnya Grace menikah dengan siapa, Dean. Secepat itu?" tanyanya tak percaya.

"Ansell. Mereka menikah sebelum paman Willy meninggal, dan juga tanpa sepengetahuan Dean."

"Apa dia tahu kalo Grace kekasihmu?"

Dean menggeleng. "Dia tidak tahu, awalnya yang akan menikah dengan Ansell itu Tssalisa. Namun, pas hari pernikahannya Tssalisa pergi, mau tak mau Grace yang menggantikannya."

"Apa bisa seperti itu?"

"Mungkin. Karena pernikahan mereka terikat perjanjian bisnis."

"Tidak apa, mungkin Grace bukan jodoh kamu. Mama yakin Grace pun merasakan hal yang serupa, memang jika dipikir-pikir wanita mana yang tidak akan jatuh cinta kepada laki-laki seperti Ansell, tetapi ingat. Jangan sampai ego kamu merusak persaudaraan antara kamu dengan Ansell."

"Dean tahu. Tapi Mama sendiri tahu, 'kan? Hubungan Dean dengan Ansell dari dulu memang sudah tidak baik."

Ratna mengusap puncak kepala putra semata wayangnya. Lalu, perempuan yang masih cantik di usia senjanya itu tersenyum. "Kalian sudah dewasa, tahu cara menyeselesaikan masalah dengan bijak."

Setelah berkata demikian, perempuan itu pun pergi. Semenjak ia dan suaminya tiba di Indonesia, Ratna—yang merupakan kakak dari Willy itu belum mempunyai waktu luang untuk datang menemui Ansell. Terlebih lagi ketika Willy—sang adik meninggal, dirinya tidak bisa pulang, karena tuntutan pekerjaan yang sama sekali tidak bisa ditinggal.

Sekarang Ansell merupakan seorang yatim piatu, yang dimiliki Ansell saat ini hanyalah dirinya dan juga Dean selaku sepupunya. Maka dari itu, Ratna sangat berharap anaknya dan juga Ansell bisa berhubungan dengan baik. Namun, ia tahu bukan hal yang mudah membuat keduanya akrab seperti dulu, entah apa yang membuat hubungannya merenggang sampai bertahun-tahun lamanya.

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang