[26] - Selesai

22.8K 1.4K 1
                                    

Selesai? Belum. Kisah mereka baru saja dimulai.

Dinding yang sebelumnya menjadi garis pembatas, kini telah rubuh. Seolah semesta telah menghancurkannya hanya dengan kedipan mata. Bahkan, kini tak ada lagi garis pembatas antara keduanya, entah itu perihal rasa, jarak, atau rindu. Semua itu datang karena terbiasa, karena pada dasarnya datangnya cinta tak bisa ditolak oleh hati manusia.

Ia tidak pernah menyalahkan bagaimana semesta memperlakukannya. Meski terkadang bayangan marah dan kecewa itu selalu terngiang dalam pikirannya. Jika harus diingatkan kembali dengan semua itu, selalu ada rasa sesak di hatinya. Namun, di satu sisi lain ia juga tidak pernah menyesal karena telah menjadi bagian hidup dari laki-laki yang bernama Ansell itu.

Jika diawal memang sulit untuk menerimanya. Namun, sedikit demi sedikit ia mencoba untuk membuka ruang hatinya, mempersilakan jika ingin diisi kembali, sekalipun dengan orang yang berbeda. Semesta memang tak menuntunnya untuk tetap bersama Dean—kekasihnya, ia juga sadar untuk mencapai sebuah kebahagiaan tidak harus bersama-sama. Mungkin setelah ini, Dean bisa jauh lebih bahagia, pun dengan dirinya.

Tidak ada doa yang pudar, dirinya selalu berharap ada kebahagiaan yang datang secepat kilat untuk Dean, untuk laki-laki yang pernah teramat dicintainya itu. Ia sempat berharap agar bisa selalu berada di sisi Dean, menemaninya di setiap detik yang berputar dalam hidupnya. Namun, semua itu tidak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkannya. Mungkin dengan adanya pernikahan ini, itulah cara semesta menentang keras akan hubungannya dengan Dean.

Berada di pelukan suaminya, seraya mengingat momen satu bulan ke belakang itu cukup menguras air matanya. Ia kembali mengeratkan pelukannya, rasa nyaman itu ia bisa dapatkan dari diri Ansell sekarang. Jika dulu, ia begitu enggan untuk berdekatan dengan laki-laki itu, tetapi sekarang justru malah sebaliknya. Seperti ada rasa yang tumbuh begitu besar. "Aku mencintaimu," ucapnya.

Ansell terkejut mendengarnya. Dia menjauhkan tubuh Grace dengan lembut, menatap mata lebar milik sang istri. Sungguh tidak percaya jika Grace akan mencintainya dalam waktu yang sesingkat ini. Bahkan, dirinya bisa melihat sebesar apa cinta yang dimiliki Grace untuk Dean.

"Kenapa, aku salah?" tanyanya dengan begitu polos.

Ansell terdiam. Entah, apa yang harus dirinya katakan, bahkan sampai detik ini ia masih belum bisa mencintai Grace.

"Aku akan menunggumu sampai kamu mencintaiku," ucapnya lagi bersamaan dengan senyumannya yang manis. Manis tetapi Ansell yakin ada rasa kecewa di balik senyumannya itu.

"Aku akan terus berusaha," ujarnya. Lalu, laki-laki itu kembali memeluk sang istri.

"Jangan menangis lagi, jangan marah-marah lagi."

"Aku tidak akan marah ataupun menangis, jika kau tidak menyinggung perasaanku. Tapi, Ansell?"

"Iyaa?"

"Apa kau bisa memperlakukanku dengan baik selama aku hamil? Meski kau tak memiliki cinta untukku, aku tahu itu berat untukmu. Tapi … bisakah?"

"Aku tidak akan membiarkanmu mencintaiku sendirian dalam jangka waktu yang lama. Aku janji."

"Jangan bercanda soal janji. Ingat apa katamu? Laki-laki itu yang dipegang janjinya. Jika kau mengingkarinya, maka kau bukanlah laki-laki."

"Aku tahu. Tapi, apa mungkin aku terus-menerus membiarkanmu mencintaiku sendirian? Sedangkan, kamu sendiri tengah mengandung anakku."

"Aku hanya takut. Jika semua tidak sesuai harapanku, maka peluang untuk kecewa akan lebih besar."

"Percayalah, semua akan baik-baik saja."

Grace mengangguk, mulai sekarang dirinya akan berusaha percaya kepada Ansell—suaminya. Sejatinya, apa pun yang ia tanam, itulah yang akan ia tuai. Apa pun akhirnya, dia akan mempersiapkan hati dan juga fisiknya. Entah itu, untuk kebahagiaan atau luka sekalipun. Namun, ia hanya berharap semoga hanya ada kebahagiaan untuknya.

***

"Kau yang membeli semuanya?" tanya Grace dengan sumringah. Terkejut ketika Ansell membawa banyak barang belanjaan, apalagi ketika Ansell mengatakan jika semua ini khusus untuknya.

"Untukku?" tanyanya lagi masih tidak percaya.

"Iya, Grace."

Grace terlalu senang, sampai akhirnya ia memakan hampir semua buah-buahan yang Ansell belikan untuknya. Ansell heran bukan main, nafsu makan Grace meningkat hampir 180 derajat. Semua buah itu masuk tanpa hambatan ke dalam perutnya. Namun, di satu sisi lain Ansell tersenyum, melihat Grace makan dengan lahap itu membuat dirinya senang.

Ansell sering kali tersenyum dengan sikap sang istri, tetapi kenapa laki-laki itu masih belum juga mencintainya?

"Habiskan, tapi makannya pelan-pelan. Aku akan mandi dulu," ujar Ansell seraya melepas jas hitam yang dikenakannya.

"Ikut," ujar Grace, membuat Ansell mengernyitkan dahinya.

"Ikut mandi?" tanya Ansell mesum.

"Bukanlah! Ikut ke kamarnya aja," sangkal Grace. Grace menyukai Ansell, tetapi ia tidak menyukai sikap Ansell yang sedikit usil dan mesum itu.

Mentari terbenam, bulan pun menyambut dengan sempurna. Cahayanya yang indah, membuat semua orang tampak senang ketika melihatnya. Pun dengan dua sejoli yang saat ini tengah berada di taman rumahnya, dirasa suasana malam tampak cerah, Ansell mengajak Grace untuk pergi ke taman.

Ansell berjalan di belakang Grace, dengan sebuah buket bunga yang ia sembunyikan di balik tangannya. Sebuket mawar putih menjadi pilihan Ansell, bunga yang di mana memiliki arti tentang kasih sayang dan juga cinta. Ansell sengaja membeli bunga tersebut bersamaan dengan berbelanja buah-buahan tadi. Entah, ide dari mana, Ansell justru tertarik untuk membelinya. Mawar putih itu terlihat sangat cantik dan juga indah.

"Untukmu. Aku minta maaf untuk kejadian tadi siang," ujarnya dengan sangat canggung.

"Mawar putih?" tanya Grace sedikit terkejut ketika melihat Ansell memberikan sebuket bunga mawar kepadanya.

"Sebagai lambang kasih sayang dan juga cinta. Benar?"

Grace lagi-lagi tersenyum. Banyak hal yang tak bisa ia duga, Ansell terlalu rumit untuk ditebak, dia bisa marah kapan pun dia mau, ia juga bisa bersikap manis kapan pun ia mau. Lalu, salahkah jika Grace mulai jatuh cinta dengannya?

Perempuan itu mengangguk membenarkan perkataan Ansell. "Terima kasih." Grace memeluk Ansell, lalu ia tersenyum menatapnya.

Kini, keduanya duduk di atas kursi yang sudah tersedia di taman. Grace menatap langit yang tampak ramai oleh bintang, hadirnya seolah menjadi penyempurna langit malam. Mereka berkedip manja, Grace menyukainya.

"Kau senang?" Ansell bertanya.

"Lebih dari senang." Perempuan itu menatap suaminya. Lalu, ia menyandarkan kepalanya tepat di bahu miliki suaminya tersebut.

"Sebelumnya aku tidak pernah membayangkan, jika aku akan menjadi seorang ibu dalam jangka waktu sedekat ini. Bahkan, ketika aku menikah denganmu aku merasa semuanya sudah selesai, aku juga sempat berpikir jika aku sudah kehilangan masa depanku. Ternyata aku salah." Grace tersenyum getir.

"Mengingat bagaimana dulu aku membencimu. Nyatanya sekarang aku yang lebih dulu mencintaimu."

"Datangnya cinta tidak bisa ditolak hati manusia, Grace."

"Aku hanya takut. Dalam ikatan ini … hanya ada aku." Grace menatap langit malam dengan sendu, seketika suasana pun berubah menjadi melankolis.

"Hanya ada kita, aku dan kamu. Akan kupastikan itu, Grace. Jangan takut."

"Satu lagi, aku tak ingin menjadi sosok pengganti. Aku hanya ingin menjadi pemilik yang sesungguhnya. Bisakah?"

"Tentu saja. Jauh sebelum kau berkata demikian, kau sudah menjadi pemilik yang sesungguhnya."

To be continued ....

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang