[08] - Astraphobia

28.5K 1.8K 17
                                    

“Jangankan bertatap. Bertukar kabar saja kamu enggan.”

- Rasalara

***

"Ayah tidak akan ikut campur untuk masalah ini!" tegasnya.

"Mas, ta ... tapi ini bersangkutan dengan Tssalisa."

Seorang pria yang memakai pakaian serba hitam itu menatap seorang gadis penuh amarah. Bagaimana tidak? Baru saja ia datang dari pemakaman rekan bisnisnya—Willy Kyle, setibanya di rumah ia mendengar jika putri sulungnya terlibat dalam kematian sang pendiri perusahaan Kyle tersebut. Emosinya kian membludak terlebih lagi saat ia mendengar alasan detailnya.

"Tssa, kamu ini sudah dewasa. Kenapa tidak bisa berpikiran lebih dewasa dari Grace? Adikmu, rela menggantikan posisimu."

"Jika dari awal Tssa tahu yang akan menikahi Tssa itu adalah Willy Kyle. Tssa akan menolak saat itu juga. Ta ... tapi, Ayah menyembunyikannya dari Tssa. Apa ini adil?" lirih gadis itu. Air matanya menitik, sesak.

"Lalu, kamu pergi menemui Sean? Ayah sudah katakan, Tssa. Sean bukan pria baik-baik." Damian menghela napasnya, sudah berkali-kali ia mengingatkan putri sulungnya tersebut. Namun, gadis itu tak mengindahkannya sama sekali.

Malam itu, dirinya sedang dalam pengaruh obat-obatan dan juga minuman keras. Dirinya sengaja melarikan diri dari kekasihnya yang saat itu menetap di Jakarta. Dia menemui sang kekasih demi menghindari acara pernikahannya. Namun, siapa sangka? Gadis itu malah terjebak di antara pria hidung belang.

Sean mengajaknya pergi ke sebuah klub, lalu tanpa dirinya sadari pria yang menurutnya bisa dipercaya itu malah membawanya ke tempat yang tidak seharusnya, dan memaksa dirinya untuk terus memimum sebuah bir, yang di mana bir tersebut sudah dicampuri dengan obat-obatan terlarang. Ia tersadar, ketika sebuah tangan kekar hampir menjamak setiap inci tubuhnya. Namun, gadis itu mampu melarikan diri, tak peduli jika dirinya tengah berada di bawah pengaruh alkohol. Dia dengan gesit mengambil kunci mobilnya. Lalu, meninggalkan tempat tersebut.

Gadis itu tidak tahu, jika akan berakhir setragis ini. Apalagi sampai menghilangkan nyawa seseorang, tetapi ini semua bukan keinginannya. Semua terjadi tanpa kesadaran yang penuh. Menyesal? Tentu. Namun, jika dirinya tidak melarikan diri, mungkin ia sudah kehilangan kesuciannya waktu itu. Menjadi gadis kotor yang sudah terjamah oleh beberapa pria hidung belang. Sungguh mengerikan!

"Ayah tetap dengan pendirian ayah. Ayah tidak akan ikut campur dalam masalah ini. Ini semua terlalu beresiko."

"Mas!"

"Rani? Ingat, yang kita hadapi itu siapa."

"Begini cara kamu membela anakmu, Mas?"

Damian mendekat ke arah Rani. Lalu, pria tua itu membisikkan sesuatu di telinganya. "Kamu tidak lupa, bukan? Dia anakmu bukan anakku."

Deg!

"Bunda ...." Tssalisa mendekat ke arah sang ibu, matanya memerah. Tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk menyusut tuntas kasusnya.

"Kamu tenang, ya, Tssa. Bunda akan berusaha berbicara kepada ayah."

"Mas! Mas, tunggu!" Rani berusaha mengejar Damian yang saat ini langkahnya mengayun memasuki kamar. Namun, langkah keduanya berhenti, ketika pintu utama sudah terbuka lebar menampilkan sosok Grace dan juga menantunya—Ansell.

"Grace? Ansell?" gumam Tssalisa dengan matanya yang menyipit.

***

"Ternyata, keberuntungan memihakmu." Seorang gadis bersuara.

Mereka tidak sengaja berpapasan, dia yang hendak mengambil air minum itu tak sengaja melihat sang adik yang akan memasuki kamarnya. Setelah tadi siang ia melihat siapa pria yang digandeng oleh Grace—adiknya. Rani—sang ibu sudah menjelaskan semuanya, bahkan Damian mau pun Rani sempat terkejut dengan kedatangan Ansell yang tiba-tiba akan menjadi pria pengantinnya.

Saat kedatangan Grace dan suaminya, Tssalisa sempat dibuat tidak percaya dan diikuti rasa takut yang mendalam. Bagaimana tidak? Yang berhadapan dengannya saat ini adalah anak tunggal dari korban kecelakaan tabrak lari. Meski dirinya tidak tahu jelas karakter Ansell itu seperti apa. Namun, tetap saja pria itu bagian inti dari keluarga Kyle. Perusahan ternama, dan didirikan oleh petinggi yang amat keras, jadi sifat Ansell tidak akan jauh berbeda dari sifat Willy—ayahnya.

"Semua keberuntungan ini berkatmu. Terima kasih," balas Grace dengan senyum yang mengejek.

Sialan!

Perempuan itu membuka pintu kamarnya, melangkah masuk meninggalkan sang kakak di luar sana. Ia sudah terlanjur kecewa, bahkan untuk berbicara santai dengannya saja rasanya akan mustahil. Ck! Keberuntungan? Bahkan, ini semua bukanlah keburuntungan melainkan sebuah bencana untuknya.

"Sepertinya kau sangat mencintainya." Laki-laki itu bersuara dengan tangan yang masih lihai membuka setiap lembar dari album foto yang saat ini berada di tangannya.

"Pertanyaanmu tak membutuhkan jawaban." Dia berjalan mendekat, lalu mengambil alih album foto tersebut. Laki-laki itu sedikit terkekeh.

Perempuan itu menatap lekat sebuah album tersebut. Euforia ketika saat bersamanya dulu, mengingat saat di mana ia masih bisa menggenggam erat, menjaga, dan dijaga olehnya. Namun, tidak berlaku untuk saat ini, semua itu sudah menjadi kenangan yang harus dilupakannya secara paksa.

Malam yang tadinya tampak cerah, kini mulai mendung. Seakan langit pun tahu akan perasaannya saat ini, sendu. Beberapa detik kemudian, buliran air mulai berjatuhan dari atas langit sana, disusul suara petir yang hampir memekakkan telinga. Kali ini, suara petir itu menggelegar lebih keras dari sebelumnya, membuat langkah Grace mundur beberapa langkah. Takut.

Grace menyukai hujan yang turun di malam hari, tetapi tidak dengan suara petirnya. Hujan pun semakin mengguyur deras, dengan cepat ia pun menutup pintu kaca balkon lalu ia mengkibas gorden kamarnya. Di dalam kamar ia sama sekali tak melihat keberadaan Ansell. Lagi-lagi suara petir menggelegar dengan begitu keras, membuat Grace semakin dilanda kecemasan.

Napasnya menderu tak beraturan, tangan yang dipenuhi keringat itu berusaha menutup kedua telinganya, ia tak mau mendengar suara menakutkan itu. Rasa cemas yang tak terkendali, membuat tubuh perempuan itu lemas tak bertenaga. Tiba-tiba air matanya menetes begitu saja.

"Grace?" Ansell yang baru saja keluar dari kamar mandi itu menatap sang istri dengan tatapan mengintimidasi. Seakan bertanya, apa yang terjadi?

Langkah Ansell pun kian mendekat ke arah Grace—sang istri. Laki-laki yang memiliki postur tubuh jangkung itu berjongkok di hadapannya. "Grace?" panggilnya lagi.

"A … aku takut pe … petir, Ansell," lirihnya dengan suara parau.

Tanpa berpikir panjang, Ansell merengkuh tubuh perempuan itu jatuh di dada bidang miliknya. Ansell memeluknya erat, seolah menyalurkan rasa aman dan nyaman. Beberapa saat kemudian ia membopong perempuan itu ke atas kasur, tetapi ketika Ansell hendak beranjak tangannya ditahan oleh Grace. "Jangan ke mana-mana, tolong."

Melihat kondisi Grace saat ini, membuatnya merasa iba. Terlebih lagi di luar sana hujan masih mengguyur deras beriringan dengan suara petir. Mau tak mau membuat Ansell harus menemani sang istri. "Jika aku berbuat sesuatu padamu. Jangan salahkan aku." Gumamnya seraya menarik tubuh Grace kembali jatuh di dada bidang miliknya. Sedangkan, gadis itu sudah merasa aman dan akhirnya terlelap tidur.

To be continued ....

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang