Extrapart - 143 = I Love You!

29.2K 1.3K 38
                                    

"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu."

- Sapardi Djoko Damono

Iris hitam itu terus-menerus memandang ke arah perempuan cantik dengan senyumnya yang terus merekah, senyum yang tak pernah memudar, candu dan menenangkan. Bisakah dia memilikinya kembali?

Tentu saja jawabannya adalah tidak, bagaimana mungkin perempuan itu akan kembali sedangkan dirinya sendiri sudah menggoreskan luka yang cukup dalam, yang mungkin suatu saat nanti akan menjadi alasan kenapa dirinya dibenci.

Waktu terus berlalu, tetapi hatinya masih tertinggal di masa lalu. Sulit untuk beranjak, padahal perempuan itu sudah menemukan kebahagiaannya, cukup bodoh jika dirinya terus terjebak di dalam perasaan yang terus membelenggu.

Sejatinya, bukan dia yang tak mau pergi dari pikiran, tetapi kamu yang tak ingin beranjak dari masa lalu. "Cinta tak harus memiliki, tetapi jika rasanya sesakit ini akan aku tarik perkataanku waktu itu."

"Aku pikir jika melihatmu tertawa, aku akan bahagia. Nyatanya tetap sama, tawamu adalah laraku."

Di ujung jalan sana, laki-laki itu tersenyum tipis. Ini adalah tahun kedua setelah mereka berpisah, tetapi masih tidak ada jalan bagaimana caranya melepaskan rasa yang tak mungkin terbalaskan itu.

Selang beberapa menit kemudian, langkahnya mengayun-menghampiri seorang perempuan yang saat ini tengah sibuk memainkan ponselnya.

"Maaf aku terlambat." Suaranya tiba-tiba menginterupsi, membuat si empu sedikit terhenyak.

"Tidak apa-apa." Perempuan itu menjawab, ramah.

"Ini sangat canggung. Entah, aku harus memulainya darimana." Laki-laki itu terkekeh pelan, perbedaannya sungguh terasa. Bahkan, untuk mengatakan satu kata pun itu sulit.

"Aku akan mendengarkanmu, jadi bicaralah pelan-palan," jawab Grace, dia tersenyum membuat perasaan Dean kembali berdebar.

Bagaimanapun juga, Grace pernah menyempurnakan hidupnya. Bagi Dean, perempuan yang saat ini tengah duduk di hadapannya itu adalah segalanya, maaf jika laki-laki itu egois. Namun, kenyataannya memang seperti itu.

Dean meletakkan satu buah buket bunga edelweis mini di atas meja, lalu atensinya kembali menatap Grace. "Kau masih ingat ini?" tanyanya, yang dibalas anggukan oleh perempuan itu.

Bunga yang pernah menjadi penyempurna untuk kisah asmara dirinya dengan Dean, bunga yang akan selalu menyimpan hal-hal indah bersama Dean, bunga yang akan terus disukai Grace sampai kapan pun, meski ia tahu bahwasannya cerita mereka telah usai.

"Bagaimanapun juga kamu pernah menjadi yang terpenting dalam hidupku, sebelum semuanya harus berakhir tanpa kesepakatan bersama."

"Tolong simpan bunga ini baik-baik, anggap saja ini adalah hadiah pertama dan terakhir dariku. Meski kisah kita tidak abadi, tetapi makna dari bunga ini tidak akan pernah berubah," tutur Dean panjang lebar.

Grace mengambil bunga tersebut, dipandangnya beberapa detik sebelum matanya kembali difokuskan kepada Dean. "Dey?" panggil Grace pelan, ketika ia melihat bulir bening yang menetes dari kornea coklat milik laki-laki itu.

Tangan mungil Grace meraih pipinya, lalu diusapnya dengan lembut. "Aku tahu ini mungkin berat buat kamu, tapi kamu harus bahagia," ujarnya.

"Aku ingin kamu kembali." Di luar hujan turun begitu deras, tetapi suara Dean terdengar sangat dalam.

"Rasanya aku ingin berkata demikian, menjadi seseorang yang egois yang hanya mementingkan kebahagiaanku sendiri, tapi aku tidak mau melakukannya karena itu akan menyakitimu," sambungnya.

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang