[02] - Edelweis

44.3K 2.7K 8
                                    

“Pemiliknya sudah lama pergi. Tidak ada alasan untuk tetap menetap.”

- Rasalara

***

Pesta pernikahan telah usai, semua tamu undangan satu-persatu mulai meninggalkan acara tersebut. Waktu pun sudah menunjukan pukul empat sore, tetapi ia sama sekali tak melihat orang itu, orang yang selama ini telah menemaninya selama beberapa tahun. Mungkinkah dia tahu?

Kini, perempuan itu masih duduk di kursi pelaminan dengan tatapan kosongnya. Gaun pengantin pun masih setia membalut di tubuhnya. Dia menatap sekeliling, ternyata masih ada beberapa orang di sana. Menebarkan senyumnya, seolah mereka ikut bahagia akan pernikahan ini, tetapi pengantin wanita sama sekali tak merasa bahagia sedikit pun.

“Grace, malam ini kamu harus ikut dengan suamimu.” Suara laki-laki paruh baya itu membuyarkan lamunannya. Ya, dia adalah Damian—sang ayah. Lupa, jika dirinya sudah mempunyai suami sekarang, dan itu bukanlah Dean melainkan Ansell sepupunya Dean.

“Iya, Ayah.” Dia sama sekali tak bisa berkata tidak kepada sang ayah, apa pun itu dia tak berani untuk menolaknya.

“Terima kasih.” Laki-laki paruh baya itu mengelus pundaknya. Lalu, kembali ke posisi sebelumnya.

Grace hanya mengangguk pertanda jawaban iya. Kini, sudah tak ada lagi celah untuk keluar dari pernikahan ini, entah bagaimana dia menjalani hari-harinya bersama pria yang sama sekali tak dicintainya itu. Bahkan, kalimat apa yang harus ia jelaskan kepada kekasihnya nanti?

Sebuah tangan mengulur di hadapannya. Perempuan itu menoleh, mendapati sosok suaminya yang tak lain adalah Ansell. Ada sakit yang tak bisa dijelaskan ketika ia menatap wajah sang suami. Pernikahan ini sudah menghancurkan segala rencana yang telah disusunnya bersama Dean, bisakah ia melupakannya hanya dalam kedipan mata?

“Kemas barang-barangmu. Aku tunggu di mobil.”

Grace tak menggubris uluran tangan Ansell, membuat pria itu menarik kembali niatnya, dengan berat hati Grace mengambil langkahnya untuk segera pergi mengemasi barang-barangnya. Meski ia belum bisa menerima pernikahan ini, tetap saja kini dirinya sudah sah menjadi istri Ansell Manuel Kyle. Grace tak akan pernah melupakan kejadian ini. Kejadian yang menyedihkan hingga membendung rasa kecewa yang luar biasa di hatinya.

“Ini untuk pertama dan terakhir kalinya. Setelahnya aku hanya akan menjadi seorang pemilik bukan lagi pengganti.”

Ketika ia sibuk mengemas barang-barangnya, seorang wanita paruh baya yang masih cantik di usia senjanya itu duduk di sampingnya, mengelus rambut Grace dengan lembut. “Kamu melakukannya dengan baik. Bunda harap kamu bisa menerimanya dengan lapang dada. Apa yang terjadi hari ini, ini demi keluargamu sendiri.”

“Ya, aku tahu.”

Wanita paruh baya itu tersenyum. “Terima kasih karena mau menggantikan posisi kakakmu.”

“Aku melakukannya demi ayah, bukan semata-mata demi anakmu.”

“Grace!”

“Keluar.”

“Ingat, Grace. Kamu juga anak Bunda.”

“Meski aku dan Tssalisa terlahir dari rahim yang sama, tetap saja kamu seperti sosok ibu tiri untukku.”

Wanita paruh baya yang bernama Rani itu menitikkan air matanya. Semenjak Grace menginjak usia remaja, perempuan itu sering kali melontarkan kalimat yang mampu mengiris relung hati sang bunda. Meski Rani tahu kalimat itu tak hanya menyakiti perasaannya saja.

Saat ini posisi Grace membelakangi sang ibu. Ia masih bersikap santai seolah-olah ini adalah hal yang biasa baginya. Tak peduli sebanyak apa air mata yang menetes dari pelupuk mata bundanya. Sungguh Grace tidak akan pernah memedulikannya sama sekali. “Ketika aku memohon, mengemis, bahkan sampai bertekuk lutut sekali pun kau tak akan pernah mengatakan 'Iya' kepadaku.”

***

Matanya terpejam, sesekali tangannya mengetuk-ngetuk stir mobil, hampir setengah jam ia menunggu. Namun, sosok sang istri masih belum terlihat. Tak cukup sabar untuk tetap menunggu, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke dalam rumah. Tidak ada waktu luang lagi. Malam ini juga ia harus membawa sang istri pergi ke luar kota, keduanya akan menetap di sana.

Ansell menginjakkan kakinya tepat di sebuah kamar yang bernuansa biru dan putih. Banyak foto yang menempel di dinding menjadi penghias kamar tersebut. Ia melangkah masuk dan tak sengaja mendapati sebuah bunga yang tertanam rapi di sebuah pot berwarna putih. Ia mendekat, lalu mengambil sebuah kertas yang tak jauh dari posisi bunga tersebut.

'Bunga ini sama sepertimu. Tidak mudah untuk mendapatkannya.'

Setelah itu, Ansell membuka lipatannya, untaian kalimat pun tertulis rapi di dalam kertas tersebut.

'Tidak perlu kujelaskan lagi. Sepertinya kau sudah tahu mengenai makna dari bunga edelweis ini. Yakni, Keabadian dan juga pengorbanan. Grace, berjanjilah untuk seperti edelweis, tidak akan putus asa meski itu tidak mudah. Begitu pun untuk cinta yang sudah terjalin ini, semoga seperti edelweis sekali bersemi maka akan terus abadi.´

- Dean Dominic

Setelah selesai membacanya, Ansell menyimpan kembali kertas tersebut. Kini, ia beralih menatap beberapa foto yang terpajang di dinding. Di balik foto tersebut terlihat Grace bersama seorang laki-laki yang wajahnya terlihat tidak asing di mata Ansell.

“Kau menunggu lama?" Suara perempuan yang baru saja keluar dari kamar mandi itu berhasil mengurungkan niat Ansell untuk mengambil salah satu foto dari banyaknya foto yang terpajang.

“Dean?” ucap Ansell tanpa ekspresi.

“Pacarku.” Grace yang mendengarnya seketika langsung menjawab. Namun, tidak ada reaksi apa pun dari Ansell, setelah matanya puas menatap seluruh isi ruangan. Kini, Ansell memilih untuk duduk di sofa, seraya menunggu sang istri bersiap.

Hanya butuh waktu lima belas menit. Kini, Grace sudah siap dengan semua barang-barangnya, Grace hanya menyisakan beberapa pakaian di lemarinya, sisanya ia masukan ke dalam koper. Ada beberapa boneka yang berukuran besar, pemberian Dean. Namun, salah satu dari mereka sama sekali tidak disentuh oleh Grace, kecuali bunga edelweis dan secarik kertas yang tergeletak di atas meja. 

Lama Grace memandang bunga tersebut. Namun, tak lama kemudian ia menyimpannya kembali lengkap dengan kertasnya. Hari ini, dia akan pergi. Meninggalkan keluarganya, kekasihnya, dan segala kenangan bersama Dean.

“Jika itu berarti untukmu, aku tidak akan melarangnya. Kau bisa membawa mereka pergi bersamamu.” Ansell yang sedari tadi memperhatikan Grace itu bersuara.

Grace menggeleng. “Aku tidak akan membawa mereka pergi bersamaku. Masa depanku saat ini adalah kamu, dan aku tak ingin mencampurinya dengan masa lalu.”

“Terserah kamu.”

Tak banyak bicara lagi, Ansell segera mengambil alih koper milik Grace dan dimasukkannya ke bagasi mobil. Setelah itu, mereka berpamitan kepada Damian dan Rani selaku orang tua Grace. Ada rasa canggung di antara mereka, karena perempuan yang seharusnya menikah dengan Ansell itu adalah Tssalisa bukan Grace.

“Saya harap tidak ada rasa kecewa yang tertanam di hatimu.”

“Tidak perlu sungkan. Aku baik-baik saja, meski wanita yang kunikahi berbeda dengan wanita yang kulihat fotonya beberapa hari lalu.”

Grace tersenyum sumbang. “Ck! Jika tahu pengantinnya berbeda. Kenapa tidak dibatalkan saja!”

To be continued ....

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang