[42] - Rasa yang hilang

21K 1.2K 17
                                    

Lembayung jingga bergeser memeluk malam, alam mematung menadah hujan yang baru saja turun dari atas langit sana. Langit yang tampak terang itu menjatuhkan ribuan air, membasahi bumi pertiwi. Di lain tempat, seorang perempuan tengah menuliskan beberapa untaian kata. Perihal … cinta, luka, dan air mata, lembut hangat menyapa hati yang kian retak itu.

Harapannya seolah pudar dalam penantian yang sia-sia, dia tersenyum. Sudah banyak hal yang ia korbankan, termasuk masa depannnya. Namun, yang dia dapatkan hanyalah luka sebagai balasannya. Lagi dan lagi ia tersenyum, percikan luka terus membara, entah sampai kapan ia akan dirundung lara seperti ini.

Pilu yang melenggu kian memicu, cinta itu berhasil menenggelamkannya, menghancurkannya hanya dalam kedipan mata. "Terkadang, aku ingin seperti angin. Membawa puing kenangan, membawa sejuta asa, dan juga luka." Perempuan itu bergumam seraya menyalipkan beberapa helai rambut hitamnya ke belakang telinga.

"Sayangnya, semesta tidak sebaik itu. Aku hanyalah aku, manusia biasa yang dengan tidak sengajanya bertemu denganmu. Laki-laki pemberi cinta sekaligus luka."

Untuk yang pertama kalinya ia mengalami perubahan mood yang begitu drastis. Biasanya cukup dengan tidur saja, dirinya bisa menghalau segala rasa sakit, tetapi tidak untuk kali ini. Apa pun yang ia lakukan seperti tidak ada gunanya, begitu pun dengan perasaannya yang tampak datar seolah mati dimakan waktu.

Perempuan itu menutup kertas tersebut, disimpannya di dalam lemari. Pintu kamar pun terbuka, menampilkan sosok Ansell yang baru saja pulang bekerja. Dia tidak menyambutnya sama sekali, perempuan itu berdiri mengambilkan pakaian untuk suaminya. Lalu, perempuan itu pun menaruh bajunya begitu saja, dia tetap diam dan enggan berbicara sama sekali.

"Aku tidak suka kau seperti ini." Suara Ansell itu membuat Grace menatapnya sekilas, lalu kembali diabaikannya.

"Grace!" Ansell pun menarik pergelangan tangannya, hingga tubuh perempuan itu sedikit mendekat ke arah suaminya.

"Aku hanya ingin memperbaiki. Tidak bisakah bersikap seperti biasanya?" tanya Ansell seraya memperhatikan bola matanya yang tak berani menatap dirinya.

Grace lagi-lagi tidak bersuara. Perempuan itu justru malah mengecup bibir tipis Ansell sekilas, membuat laki-laki itu tercengang. Setelah itu, Grace meninggalkan Ansell sendirian, entah apa yang dimaksud ciuman tersebut, Ansell tidak bisa mendeksripsikan sikap Grace yang semakin hari semakin tidak dimengerti oleh dirinya.

"Aku tidak butuh ciumanmu, Grace. Aku hanya ingin kau berbicara."

Berbicara? Untuk apa? Menurutnya percuma saja ia berbicara, jika pada akhirnya tidak ada yang benar-benar mendengarkannya. Sudah sejauh ini, dirinya melangkah dan bersikap seolah apa pun yang semesta berikan selalu diterimanya dengan baik. Lalu, seperti inikah balasan semesta untuk dirinya?

Dia terlalu pandai untuk mengasihani, hingga tanpa ia sadari itu semua membuat dirinya merasakan kecewa berkali-kali. Pertama bundanya, ia berusaha memaklumi apa yang terjadi dan akhirnya ia harus menelan kekecewaan ketika bundanya sama sekali tak memperhatikannya, lalu sang ayah … tadinya ia hanya ingin menjadi penguat untuk laki-laki itu, tetapi lagi dan lagi dirinya harus berakhir dengan kekecewaan. Lalu, Dean? Ansell? Semua sama saja! Hanya kecewa yang ia dapat.

Lalu, harus sejauh apa lagi dirinya melangkah? Ketika tubuhnya saja sudah terlalu lelah dan tak cukup kuat untuk menjadi tumpuan.

***

"Aku tidak tahu harus bagaimana agar dia berbicara denganku."

Kedua temannya hanya bisa menghelas napas panjangnya, seolah keduanya sudah putus asa menanggapi semua permasalahan Ansell—temannya. Sudah terlalu sering dirinya ikut campur dalam rumah tangga temannya tersebut, jika Ansell terus mendapatkan dorongan dari Erlangga mau pun Gio, kapan laki-laki itu akan berinisiatif untuk memperbaiki dengan caranya sendiri?

"Dari awal aku sudah bilang, jangan libatkan Grace. Apa kau mendengarkannya? Tidak sama sekali," ujar Erlangga putus harapan.

"Jika kau benar-benar bercerai, di luaran sana masih banyak perempuan yang siap mengantri untuk menjadi istrimu," cetus Gio, lalu mendapatkan tatapan tajam dari Ansell. Sedangkan, Erlangga hanya terkekeh.

"Semua perempuan akan kabur, jika memiliki suami yang bodoh seperti dia." Erlangga ikut menimpali dengan sedikit kekehan, lalu tatapannya melirik ke arah Ansell.

"Hari ini aku izinkan kalian memakiku."

"Kesempatan, nih. Jarang-jarang kan karyawan bisa memaki bosnya sesuka hati."

"Itu pun jika kalian ingin menjadi pengangguran," lanjut Ansell tenang.

"Asal biaya hidup kau yang tanggung. Menjadi pengangguran pun tidak masalah sepertinya," timpal Erlangga memberikan tatapan mautnya.

"Bisa. Tapi kalian harus menjadi pasanganku, bagaimana?"

"Kalo bicara ngotak dikit, Sell. Mending hidup susah daripada harus ngehomo," pungkas Gio.

"Beri dia waktu. Jangan terlalu memaksa, semakin kau bersikap keras semakin enggan dia untuk berbicara. Setiap permasalahan itu butuh waktu untuk menyelesaikannya, jika kau terus memaksanya seperti itu, sama saja kau mengedepankan ego. Semua itu tidak ada yang instan, hargai proses. Lagi pula, jika kau yang berada diposisinya apa akan semudah itu memaafkan?"

"Sejauh ini, Grace cukup sabar. Dia berniat untuk kembali pulang ke rumah saja harusnya kau bersyukur, yang kau butuhkan hanya perihal waktu. Tidak ada proses yang mengkhianati usaha, selagi kau masih berusaha memperjuangkannya. Sekarang aku ingin bertanya, apa kau benar-benar mencintainya?"

Ansell terdiam.

"Jika memang kau sudah mencintainya, berhenti bersikap kekanak-kanakan. Pahami apa yang diinginkan Grace, berambisi itu boleh, asal jangan berlebihan. Tahu, 'kan, yang berlebihan itu tidak baik."

"Jika ada masalah jangan lari ke minuman, ketara banget jika kau tipikal laki-laki yang bisanya lari dari masalah. Lagi pula, dengan minum seperti ini tidak bisa menyelesaikan masalahmu, yang ada malah menambah masalah saja." Gio memperingati Ansell.

Memang sudah menjadi kebiasaan Ansell, jika laki-laki itu sedang menghadapi masalah. Maka dia akan pergi minum, tetapi akhir-akhir ini kedua temannya selalu berada di samping Ansell, bisa menahannya agar tidak minum terlalu banyak.

"Jaga dia, beri perhatian terus. Jangan sampai dia stress, hamil muda itu rentan buat keguguran."

Ya, mungkin Ansell harus bersikap jauh lebih dewasa saat ini, ia tidak akan terlalu menekan Grace untuk segera memaafkannya. Andai cinta tidak datang secepat ini, mungkin dirinya tidak perlu repot-repot memikirkan hal semacam ini, ternyata menjalin sebuah rumah tangga itu bukanlah hal yang mudah, terlebih lagi keduanya memang belum sama-sama siap untuk menikah.

Ansell hanya perlu waktu untuk menyelesaikan ini, kehilangan Grace mungkin akan sama menyakitkan seperti dirinya kehilangan Carla beberapa tahun silam, dan tentu saja dirinya tidak akan membiarkan hal itu terjadi untuk yang kedua kalinya. Terlebih lagi jika Deanlah yang selalu menjadi alasannya. Ansell tidak akan membiarkannya.

Jika pun dendamnya tak terbalaskan, asalkan hubungannya dengan Grace baik-baik saja itu tidak mengapa. Lagi pula dengan begitu, mungkin ketika Dean melihat keharmonisan rumah tangganya laki-laki itu akan sedikit menderita, ketika melihat perempuan yang paling dirinya cintai hidup berbahagia bersama laki-laki lain, laki-laki yang tak lain adalah sepupunya sendiri. Bukankah itu lebih menyakitkan? Meski pada dasarnya hanya kematianlah satu-satunya perpisahan yang paling menyakitkan.

To be continued ....

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang