[14] - Sidang pertama

24.6K 1.5K 1
                                    

"Kamu yang tak mau pergi dari pikiranku. Atau aku yang tak mau beranjak dari masalalu?"

- Dean Dominic

***


Sudah empat hari Tssalisa ditetapkan sebagai terlapor. Hari ini, dia akan bertemu dengan Dean-pengacaranya. Keduanya akan berbicara seputar kasus yang saat ini menjerat Tssalisa-kliennya. Sekaligus diskusi untuk mencari sebuah solusi terbaik, dengan berat hati Dean menerima Tssalisa sebagai kliennya, jika saja Dean tidak menjadi pengacara umum disebuah perusahaan, dirinya bisa saja menolak kasus tersebut.

Waktu sudah menunjukan pukul sembilan pagi. Hari ini Tssalisa akan bertemu dengan Dean di sebuah caffe, tentu saja atas izin pihak berwajib. Saat ini Tssalisa tidak sepenuhnya bebas, meskipun dia belum ditetapkan sebagai tersangka. Lima belas menit Tssalisa menunggu kedatangan Dean, sampai akhirnya Dean tiba di caffe tersebut.

Tssalisa dan Dean berhubungan cukup baik, karena semasa Grace menjalin hubungan dengan Dean, laki-laki itu sering mampir ke rumahnya, tak hanya dengan Tssalisa. Laki-laki itu pun sudah mengenal dekat keluarga mantan kekasihnya tersebut.

"Maaf, menunggu lama." Dean bersuara, seraya mendaratkan bokongnya di kursi.

"Tidak apa-apa. Mau pesan dulu?" tanya Tssalisa.

"Boleh. Aku pesan jus alpukat."

Keduanya tidak merasakan canggung sama sekali. Karena ini bukan kali pertama mereka bertemu. Namun, pertemuan kali ini bukan sebagai teman atau pun lainnya, tetapi antara pengacara dan klien.

"Sebelumnya aku sangat berterima kasih, kau sudah mau menjadi pengacaraku. Apakah Grace yang memintamu untuk menjadi pengacaraku?"

"Bukan, tetapi beberapa waktu lalu bunda datang ke kantorku. Meminta agar aku menjadi pengacaramu."

Tssalisa mengangguk. "Kau tahu bukan, kasus apa yang akan kau hadapi nanti? Kau juga tahu siapa lawan kita di persidangan nanti?"

"Kasus tabrak lari yang menyebabkan pamanku meninggal. Ansell Manuel Kyle, sepupuku."

"Sebelumnya aku minta maaf, kasusku ini tentunya akan membuatmu merasa terbebani. Aku tidak tahu jika Ansell akan bertindak sejauh ini."

"Tidak, karena ini juga termasuk tuntutan dari kantorku. Jadi, lupakan. Sekarang ceritakan kronologis kecelakaan tersebut. Nanti aku akan kembali melacak dan mencari bukti yang akurat." Tssalisa mengangguk, lalu wanita itu pun mulai menjelaskannya secara rinci.

"Jadi, waktu itu kau dalam pengaruh minuman keras?" tanya Dean. Lagi-lagi Tssalisa mengangguk.

"Pas kejadian, apakah ada saksi yang melihat?"

"Ada beberapa. Aku tidak tahu pasti, waktu itu aku hanya berhenti sebentar. Namun, aku tak sengaja melihat beberapa warga memberhentikan sebuah mobil truk."

"Truk?"

"Iya. Aku menyalip mobil truk tersebut, hingga pengemudinya hilang kendali dan menabrak sebuah mobil, hingga terseret beberapa meter. Dean aku akan membayarmu berapa pun, asalkan aku tidak dipenjara."

Dean bergeming. Dalam waktu seminggu mungkin ini akan terasa sulit baginya. Apalagi laki-laki itu harus pergi ke lokasi kejadiannya. Tentu saja dia harus menetap di sana selama beberapa untuk mengumpukan semua buktinya. Selain itu, Tssalisa juga ditahan oleh pihak kepolisian Jakarta.

***

Seorang perempuan tengah bersiap, lalu dia mengikat rambutnya asal. Mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna pink, dipadukannya dengan jeans berwarna medium. Sedangkan laki-laki yang berada di dalam kamar yang sama dengannya, dia mengenakan kaos putih dan juga jaket jeans berwarna light, dipadukan dengan celana jeans berwarna hitam.

"Aku akan pulang bersamamu." Perempuan itu bersuara. Menatap laki-laki tampan di hadapannya, yang saat ini tengah memakai sneakers berwarna putih.

Dia tak bersuara sama sekali, laki-laki yang bernama Ansell itu hanya menatapnya sekilas. Lalu, kembali fokus mengikatkan tali sepatunya. Mau pulang bersama atau tidak, sebenarnya bukan masalah yang besar baginya.

Tak berhenti di situ, Grace pun kembali bersuara. "Ah, ya. Untuk kasus papa, apa kau sudah menemukan siapa pelakunya?"

"Sudah, sidangnya akan digelar minggu depan."

"Semoga dia dihukum seberat-beratnya."

"Kau menginginkannya?" Ansell berdiri, langkahnya kian mendekati Grace.

"Tentu. Dia sudah lalai dalam berkendara. Apalagi dia sudah menghilangkan nyawa seseorang. Tabrak lari juga merupakan tindakan kejahatan," ujar Grace.

Ansell menyunggingkan ujung bibirnya. "Setelah kau tahu siapa orangnya, apa kau tetap menginginkannya dipenjara?" batin Ansell berbicara.

"Jika aku berada diposisimu. Mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama sepertimu, aku tidak akan membiarkan orang yang menabrak orang tuaku berkeliaran bebas, menikmati hidupnya tanpa rasa bersalah sedikit pun."

"Lalu, bagaimana kau menyikapi kasus kakakmu sendiri? Apa kau akan membelanya atau justru membiarkannya?"

"A ... a ... ku, tidak tahu."

Ansell tersenyum. Lalu, laki-laki itu segera mengambil kunci mobilnya. "Sudah siang, jangan terlalu lama berdandan. Jika tidak kita akan terjebak macet," ujar Ansell seraya menatap ke arah Grace yang tengah merias wajahnya.

"Kau tidak tahu, jika perempuan sedang berdandan membutuhkan waktu yang cukup lama."

"Tidak, karena aku bukan perempuan."

"Yang bilang kau perempuan siapa?" tanya Grace kesal.

Lagi-lagi Ansell mengabaikannya, bersiap untuk pergi. "Lima menit. Lebih dari itu, jangan salahkan aku jika kau aku tinggal." Ansell mengingatkan sang istri, sebelum dirinya benar-benar pergi.

***

Satu minggu berlalu ....

Seorang perempuan yang memakai kemaja putih dengan celana bahan berwarna hitam itu tampak sudah siap. Hari ini, dia didampingi oleh pengacaranya langsung. Yakni, Dean Dominic, dan juga Rani-sang bunda. Sedangkan sang ayah tidak bisa menghadiri sidang pertama putri sulungnya tersebut. Alasannya ada beberapa pekerjaan penting yang harus diurus.

Di lain tempat. Ansell selaku pelapor sudah tiba dari dua menit yang lalu, ditemani Erlangga-pengacara pribadinya. Namun, di sana tidak terlihat Grace, sepertinya perempuan itu tidak datang. Atau mungkin, Grace bingung? Kasus Tssalisa juga akan digelar hari ini, tetapi dari pihak Tssalisa pun, Grace tidak ada. Atau mungkin Ansell tidak mengizinkannya untuk pergi?

Entahlah!

Sidang pertama ini akan dilaksanakan di lantai IV gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ada rasa cemas yang melanda Tssalisa, ketika ia tak sengaja berpapasan dengan Ansell yang tak lain adalah adik iparnya sendiri, atau lebih tapatnya orang yang melaporkan dirinya. Sedangkan Rani menatap Ansell malu, bahkan dia tak berani menatap mata tajam menantunya tersebut.

Sepasang mata menatap tajam kepada seorang laki-laki yang baru saja datang dari toilet, dengan beberapa berkas yang dibawanya. Ia tidak percaya jika yang menjadi lawannya itu adalah Dean. Kini, laki-laki yang mengenakan outfit berwarna hitam itu menyunggingkan ujung bibirnya, sinis.

"Dunia memang sempit," ujarnya seraya menatap tajam laki-laki itu, yang tak lain adalah sepupunya sendiri.

"Untuk masalah pekerjaan tidak pandang bulu. Siapa pun yang menjadi lawanku di persidangan, entah itu teman, kerabat, atau saudara sedarah sekalipun. Aku sebagai lawyer harus tetap profesional. Bukan begitu Erlangga?" Dean menatap ke arah Erlangga-pengacara Ansell.

Lagi-lagi Ansell tersenyum sinis. Memang benar apa kata sepupunya tersebut. Namun, kenapa harus Dean? Lagi-lagi Dean! Rasa benci yang dimiliki Ansell terhadap Dean begitu besar.

"Tentu. Namun, kita sebagai pengacara jangan pernah sesekali menghalalkan segala cara untuk memenangkan sebuah kasus." Erlangga bersuara.

Dean hanya tersenyum. Lalu, laki-laki itu pun melangkah masuk bersama Tssalisa-kliennya. Meninggalkan Ansell yang masih sangat marah ketika ia mengetahui bahwa Dean lah yang akan melawannya di persidangan nanti.

"Sudah dua kasus kau selalu terlibat didalamnya. Kali ini, aku tidak akan membiarkanmu menang!"

To be continued ....

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang