[11] - Kasus Tssalisa

24.8K 1.5K 3
                                    

"Bahkan, tidak ada niat sedikit pun untuk melukaimu. Hanya saja, aku sedang terdesak. Menjadikanmu tameng adalah jalan satu-satunya."

***

Dua orang pria berseragam coklat itu mendatangi sebuah rumah mewah bernuansa abu-abu, dengan secarik kertas yang berisi perintah penahanan atas nama dirinya. Gadis itu telah dilaporkan atas tuduhan kasus tabrak lari yang telah terjadi beberapa waktu lalu.

Saat ini, gadis itu hanya ditetapkan sebagai terlapor belum sampai tahap penetapan tersangka. Namun, meski begitu, tetap saja ia meraskan ketakutan yang luar biasa. Terkejut, ketika dua orang polisi tiba-tiba mengetuk pintu rumahnya lalu menanyakan nama dirinya.

Karena menurut penjelasan yang diketahui tentang terlapor adalah orang yang dilaporkan. Dari laporan itu polisi melakukan penyelidikan apakah benar ada tindak pidana atau tidak. Jadi, tahap ini belum dipastikan apakah terjadi tindak pidana.

"Ta ... tapi, saya tidak bersalah, Pak." Gadis itu berusaha memberontak.

"Anda bisa menjelaskannya di kantor nanti, dan anda juga bisa membawa pengacara untuk kasus ini."

"Tssa?" Seorang wanita paruh baya berjalan menghampirinya.

Ya, gadis dibalik penangkapan itu adalah Tssalisa, yang tak lain adalah kakak ipar dari sang pelapor tersebut. Gadis itu masih ingat jelas akan kejadian itu, tetapi dirinya sedang berada di bawah pengaruh minuman keras, dan jelas itu semua bukan murni kesalahannya. Jika saja Sean tidak mencekokinya waktu itu, mungkin kejadian itu tidak akan pernah terjadi.

"Bunda," lirih gadis itu. Ternyata mimpinya menjadi kenyataan. Lantas, bagaimana bisa ia menerima semua ini yang jelas akan memengaruhi masa depannya. Apalagi kasusnya tersebut tidaklah main-main.

"Bunda akan bantu carikan pengacara terbaik."

Setelah beberapa saat kemudian, gadis itu memasuki mobil. Namun, tepat di arah gerbang rumahnya sebuah mobil berwarna hitam tengah menepi, seseorang di dalam sana bisa melihat apa yang telah terjadi beberapa menit yang lalu. Sempat dibuat terkejut ketika ia melihat mobil polisi terparkir di halaman rumahnya.

Setelah mobil polisi itu keluar dari pekarangan rumahnya. Segera ia keluar dari mobil tersebut dengan sedikit tergesa, menghampiri sang bunda meminta penjelasan apa yang sudah terjadi kepada kakaknya tersebut. Namun, lain halnya dengan pria yang saat ini mengikuti jejak langkahnya, ia hanya memasang wajah datar tanpa ekspresi.

"Dia kenapa?" tanyanya to the point.

Rani melirik ke arah Ansell yang saat ini tengah bersandar di depan mobilnya, pria itu tampak tak tertarik sama sekali dengan obrolan kedua wanita di depannya tersebut. Beberapa detik setelah melirik sang menantu. Rani pun kembali menatap Grace, dirinya tidak bisa menjelaskannya di sini, karena ia tak ingin menyinggung perasaan Ansell. Masalahnya terlalu rumit, hingga ia bingung harus mulai menjelaskannya dari mana.

"Aku akan masuk terlebih dulu." Setelah beberapa saat, akhirnya Ansell memutuskan untuk memasuki rumah terlebih dulu. Membiarkan dua wanita itu untuk berbicara, karena dirinya sudah mengetahui apa yang menjadi topik pembicaraan nanti.

Namun, Ansell tak mau ikut campur. Karena dirinyalah dalang dibalik penangkapan Tssalisa. Ansell tak akan memandang siapa pun itu, jika seseorang melakukan kesalahan dan tak ingin bertanggung jawab, maka semua itu tidak bisa dibenarkan sekalipun dia adalah kakak iparnya sendiri.

Seseorang yang melakukan kesalahan tetap harus bertanggung jawab. Tidak cukup dengan kata maaf saja, karena Ansell bukanlah Tuhan yang selalu bisa memaafkan setiap orang yang melakukan kesalahan. Di satu sisi lain, harusnya Tssalisa bersyukur karena Ansell hanya memenjarakannya, padahal dia bisa saja meminta agar nyawa dibayar nyawa.

***

"Tssalisa terlibat kasus kecelakaan, dia dilaporkan atas tuduhan tabrak lari."

"Grace, kau bisa membantunya, bukan? Dean seorang pengacara. Bisakah kau membujuknya agar bersedia menjadi pengacara untuk Tssalisa?"

Bingung, haruskah ia meminta bantuan mantan kekasihnya tersebut? Sedangkan ia jelas sangat tidak menyukai Tssalisa. Namun, jika kasusnya dibiarkan itu semua akan mempengaruhi bisnis ayahnya. Ia tak ingin membuat perusahaan yang sudah dirintis sang ayah dari nol harus hancur karena ulah kakaknya tersebut.

"Kenapa dia terus membuat kekacauan?"

"Grace!"

Perempuan itu tak menggubrisnya sama sekali, dia berlalu pergi meninggalkan sang ibu begitu saja. Muak! Ini sudah yang kesekian kalinya sang ibu menariknya ke dalam permasalahan Tssalisa-sang kakak. Dari dulu, apa pun yang berkaitan dengan Tssalisa dirinya tak ingin ikut campur, apa pun itu.

Langkah kakinya mengayun menuju kamar. Namun, langkahnya harus terhenti ketika ia melihat seorang pria paruh baya baru saja tiba, laki-laki yang kerap dipanggil ayah itu menyandarkan tubuhnya di atas sofa. Lalu, ia memijat bagian pelipisnya. Wajah lelah efek seharian bekerja itu terpatri jelas.

"Baru pulang, Yah?" tanyanya basa-basi.

Pria tua itu menoleh, lalu tersenyum kepada putri bungsunya tersebut. "Iya."

"Mau Grace bikinkan kopi atau teh?"

"Tidak perlu, Grace." Damian menolaknya lembut.

"Kalau begitu Grace pijitin, ya." Tak ada jawaban dari sang ayah, pria itu hanya mengangguk pertanda jawaban.

"Bagaimana dengan pekerjaan Ayah?"

"Semua baik. Jika saja, perusahaan Kyle tidak membantu mungkin perusahaan Ayah sudah bangkrut."

"Terima kasih, Grace." Tangannya menepuk tangan Grace beberapa kali.

"Tidak perlu berterima kasih. Demi Ayah akan Grace lakukan," jawabnya dengan tulus.

Jika diingatkan kembali dengan masa lalu, hatinya selalu berdesir sakit. Apalagi ketika sang ayah berusaha banting tulang untuk membiayai keluarganya. Bahkan, sang ayah sempat jatuh bangun ketika ia merintis perusahaannya, tetapi Damian-sang ayah tak pernah patah semangat.

Namun, tak hanya itu, ada rasa sakit yang luar biasa yang sampai saat ini tak bisa dilupakan oleh perempuan yang berusia dua puluh dua tahun tersebut. Itulah sebabnya kenapa ia tak begitu menyukai sang ibu. Meskipun dia adalah ibu kandungnya sendiri.

Dia mempunyai alasan tersendiri kenapa ia bisa membenci wanita yang telah mengandung dan melahirkannya. Meski tak ada dendam, tetap saja ketika ia melihat atau berdekatan dengan sang ibu hatinya selalu sakit lalu diikuti dengan rasa benci yang amat sangat.

"Grace dengar Tssa menjadi tersangka atas tuduhan kasus tabrak lari."

Damian menarik napasnya, lalu dibuangnya dengan kasar. "Ayah tidak ingin ikut campur. Tapi kasusnya Tssalisa ini cukup berpengaruh besar untuk keluarga kita, terutama untuk perusahaan. Sekalipun kasus ini selesai, tetap saja jejaknya tak bisa dihilangkan begitu saja."

"Sudahlah, Ayah tidak perlu memikirkannya. Sekarang Ayah istirahat saja."

Damian hanya mengangguk, setelah itu Grace pamit untuk pergi ke kamarnya. Setelah mendengar keluhan sang ayah, dirinya semakin dibuat kesal. Wanita itu selalu saja membuat masalah. Kini, Grace menutup keras pintu kamarnya, membuat seorang pria yang tengah memainkan ponselnya itu menatap tajam ke arahnya.

"Kurang keras," ucap Ansell membuat perempuan itu meliriknya. Ia tahu itu adalah kata sindiran untuknya. Namun, dirinya sedang tak ingin berdebat, apalagi berdebat hanya karena pintu.

"Terserah."

To be continued ....

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang