[40] - Sehari saja sehati

18.4K 1.2K 15
                                    

“Percayalah, ada yang lebih buruk dari sekadar patah hati, yaitu saling mencintai. Namun, mereka memilih untuk meninggalkan daripada bertahan untuk saling menyakiti.”

***

Desiran angin menerpa setiap helai rambut yang hitam legam. Perempuan bertubuh mungil itu sengaja menggerai rambutnya yang masih basah. Suasana malam semakin terasa, pekat dan juga sepi. Mata sendunya menatap ke arah langit, lalu seorang perempuan paruh baya menghampirinya.

Mengusap puncak kepala putrinya, membuat si empu menoleh dan langsung menjauhkan kepalanya—berusaha menghindar. "Ada apa?" tanyanya tanpa menatap.

"Kau bertengkar dengan suamimu?" tanya Rani—sang ibu. Ia tidak sengaja mendengar ucapan Grace dan juga Ansell tadi siang, sebelum laki-laki itu kembali ke Jakarta.

"Aku sedang tidak ingin membahasnya. Lagi pula, bertengkar atau tidak … itu bukan urusanmu."

"Kenapa, Grace? Sikapmu selalu saja dingin ke Bunda," ujar wanita tua yang kini berdiri di sampingnya.

"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin sendiri," imbuhnya. Bukannya pergi, sang ibu justru menggenggam tangannya. Grace menatap Rani, lalu sepersekian detik kemudian ia mengalihkan kembali atensinya.

"Semenjak kamu mengetahuinya, kamu berubah. Bunda tahu rasa kecewa dan amarah tidak bisa dihilangkan dengan begitu mudahnya, dan mungkin akan selalu membekas di hatimu. Namun, sampai kapan kamu seperti ini, Grace? Jika harus mengatakan yang sejujur-jujurnya Bunda menyesal, bahkan sampai detik ini pun Bunda masih bertanya-tanya. Apa pantas Bunda ada di sini?"

"Bukan berubah, hanya saja aku baru sadar alasan mengapa Tssalisa selalu dinomorsatukan, itu yang membuatku kecewa. Lagi pula, ini bukan hanya perihal marah ataupun kecewa, tapi tentang rasa sakit yang masih terasa sampai detik ini."

"Bahkan, jika harus mengatakan yang sebenarnya. Bukan hanya kecewa yang tumbuh dalam hatiku, tetapi perlahan rasa benci pun mulai tumbuh tanpa diminta. Kau bilang aku selalu mengabaikanmu, tetapi coba bercermin dari masa lalu, siapa yang lebih dulu mengabaikan?"

"Kau tidak lupa, bukan? Jika kau mempunyai dua orang anak?" Grace menatap wajah sang ibu. Namun, wanita tua itu malah terdiam.

Rani paham betul apa yang putri bungsunya sampaikan. Dia juga sadar, dari dulu dirinya selalu menomorsatukan Tssalisa, sampai lupa jika dirinya memiliki satu orang gadis yang membutuhkan kasih sayang dan jug perhatian darinya. Namun, dulu padangannya selalu tertuju kepada Tssalisa, seolah Grace hanyalah angin lalu yang tidak begitu penting untuk diperhatikan.

"Aku sadar, beberapa tahun terakhir ini ada perubahan dari sikapmu. Aku tidak pernah mengatakan kamu jahat, hanya saja aku merasa kalau kau tidak pantas untuk dipanggil Bunda."

"Grace?" panggil Rani melirih, hatinya terhenyak setelah mendengar pernyataan putri bungsunya.

"Kau tahu? Dari dulu aku selalu bertanya-tanya, apa aku memiliki ibu? Jika iya, kenapa aku tidak bisa merasakan kehadirannya dan juga kasih sayangnya." Sebuah lengkungan tertarik dari ujung bibirnya yang tipis.

"Bunda minta maaf. Dulu, Bunda terlalu mengkhawatirkan Tssalisa, tanpa pernah mengkhawatirkan perasaanmu."

"Maaf? Hati yang sudah hancur tidak akan bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Kau juga tahu itu, bukan? Dari dulu kau selalu menjaga jarak denganku, bisakah kau melakukannya sekarang? Aku benar-benar ingin sendiri."

"Semakin kamu menjauh dari Bunda, Bunda semakin ingin mendekapmu. Apa tidak ada kesempatan untuk Bunda?"

"Keluar dari kamarku, tolong."

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang