[32] - Siapa Carla?

17.8K 1.2K 19
                                    

Lembayung terlihat indah dari arah barat sana. Cahayanya yang berwarna orange kemerahan itu mampu memanjakan setiap mata yang melihatnya. Seperti seorang laki-laki yang saat ini tengah duduk di sebuah cafe. Hari ini, dia memiliki janji untuk bertemu dengan seseorang secara pribadi-ada yang harus dirinya katakan, padahal waktu sudah menjelang malam.

Sudah hampir tiga puluh menit berlalu, tetapi seseorang yang ia tunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Padahal dirinya sudah beberapa kali menelepon samg empu. Namun, tak pernah diangkatnya sama sekali. Atau mungkin laki-laki itu sedang disibukkan dengan pekerjaannya?

Ketika laki-laki itu hendak meninggalkan sebuah cafe. Tiba-tiba seseorang yang sudah ditunggunya selama hampir satu jam itu tiba di cafe. Dia duduk tanpa menyapa terlebih dulu, bahkan dilihat dari pandangannya saja dia tampak megabaikan, seolah tidak ada siapa-siapa di sana. Setelah itu ia duduk lalu memesan sebuah minuman.

"Kukira kau tidak akan datang," ujar lakil-laki yang mengenakan pakaian non formal, yang tidak lain adalah Dean.

"Waktuku tidak banyak. Katakan," balasnya tanpa menoleh.

"Kudengar kau jalan dengan perempuan lain, Ansell," ujar Dean to the point.

Mendengar kata 'Perempuan lain' Ansell pun menoleh, siapa perempuan yang Dean maksud? Lalu, ada hak apa laki-laki itu ikut campur ke dalam masalah pribadinya. Mau jalan dengan siapa pun tidak ada urusannya dengan laki-laki itu.

"Hanya untuk ini?" Ansell tersenyum kambing, lalu ia menenggak minumannya hingga tandas.

"Kau membuang-buang waktuku. Mau jalan dengan siapa pun, tidak ada urusannya denganmu, ck!"

"Lupa, jika perempuan yang kau nikahi itu adalah kekasihku? Lupa, jika kau yang telah merebutnya dariku. Sekarang kau membuatnya terluka." Ansell yang tadinya hendak pergi itu seketika menghentikan langkahnya, dia membalikkan tubuhnya menatap Dean.

"Jika tidak bisa membuatnya bahagia kenapa kau melanjutkan pernikahannya, Ansell!"

"Kau tahu, Dean? Menikahi Grace ... seperti memancing ikan tanpa umpan."

"Maksudmu?"

"Kau ingin tahu bagaimana rasanya melihat orang yang begitu kau cintai hidup menderita. Atau kau ingin tahu bagaimana rasanya dibenci oleh seseorang yang begitu kau cintai? Aku bisa melakukan keduanya, Dean. Khusus untukmu." Ansell tersenyum.

Dean mengepalkan tangannya dengan penuh emosi. Lalu, ia mencengkeram ujung kerah baju yang dikenakan Ansell. "Brengsek!" pekik Dean yang mulai tersulut emosi.

"Brengsek? Lalu, apa kabar dengan dirimu sendiri?" Lagi-lagi Ansell tersenyum. Sepertinya ia berhasil membuat laki-laki itu marah. Sedangkan, Dean masih diam, laki-laki itu masih setia mendengarkan semua kata yang keluar dari mulut Ansell.

"Kau penyebab utama kematian Carla. Kau pikir aku tidak tahu?!" Suaranya meninggi, Ansell menatap Dean dengan tatapan yang mengintimidasi.

"Dia mengalami trauma, hingga bertemu denganku saja tidak mau. Namun, apa kau tahu apa yang lebih menyakitkan daripada itu semua? Dia memilih kematian sebagai obat penenangnya." Ansell melepaskan tangan Dean secara paksa.

"Dia menghilang dari pandanganku untuk selamanya! Apa kau ingin aku melakukan hal serupa? Membuatnya menderita lalu mati?" tanya Ansell seraya membenarkan kerah bajunya.

"Jangan memakiku brengsek! Jika kau saja sama brengseknya sepertiku!" pekik Ansell. Lalu, laki-laki itu melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

Lagi dan lagi Dean mengepalkan tangannya. Ternyata, inilah sebabnya mengapa Ansell selalu menunjukan raut wajah tak sukanya, seolah laki-laki itu memiliki dendam kepada dirinya, dan sekarang baru terjawab semua pertanyaan Dean selama ini. Carla yang menjadi alasan utamanya, gadis yang sudah meninggal empat tahun silam.

***

Ansell melepas jasnya. Lalu, melemparnya ke sembarang arah. Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya di sofa dengan kaki yang terlentang di atas meja. Pertemuannya dengan Dean sungguh menguras semua emosinya, hampir selama empat tahun Ansell memendam perasaan benci dan juga dendamnya. Ingin rasanya ia mencekik Dean sampai mati dan membuatnya menghilang dari muka bumi.

Dari awal dirinya tidak tahu jika Grace adalah kekasihnya Dean. Namun, setelah ia melihat foto kebersamaan Dean dengan Grace, membuat memorinya berputar mengingat apa yang sudah terjadi kepada Carla-kekasihnya dulu. Terlebih lagi, ketika ia membaca tulisan di secarik kertas yang tersimpan bersamaan dengan bunga edelweis, ternyata setelah kasus kematiannya Carla laki-laki itu menjalani kehidupan yang sangat baik.

Benar, menikahi Grace seperti memancing ikan tanpa umpan. Namun, tega kah Ansell menyakiti perempuan yang saat ini tengah mengandung darah dagingnya? Memikirkan itu semua, membuat kepalanya terasa berat. Kini, Ansell memijat pelipisnya, tetapi selang beberapa detik kemudian ia mendengar suara pintu utama terbuka, Ansell pun menoleh.

"Dari mana?" tanyanya.

"Kontrol kandungan," jawabnya dingin.

"Malam-malam? Tidak bisa menghubungiku?"

"Untuk apa?" Grace bertanya. Mengingat pernyataan Ansell semalam, apa pantas dirinya meminta Ansell untuk pergi menemaninya?

Ansell beranjak, laki-laki itu mendekat ke arah sang istri. "Lupa? Jika dia juga anakku?"

"Anak yang tidak diinginkan!"

"Grace!" Ansell berteriak. Namun, perempuan itu sudah pergi meninggalkannya.

Karena pada dasarnya, tidak ada perempuan yang baik-baik saja, ketika suaminya masih mencintai sosok perempuan lain.

Ansell mengacak rambutnya frustrasi. Haruskah ia menyampingkan egonya, dan berusaha untuk mencintai Grace dengan sungguh-sungguh? Benar kata Erlangga, Grace tidak ada sangkut-pautnya dengan permasalahan antara dirinya dan juga Dean. Jika, Grace mengetahui alasan Ansell menikahinya karena sebuah pelampiasan, entah itu pelampias rasa sakit hatinya kepada Riana, atau pelampias rasa dendamnya kepada Dean. Mungkin, perempuan itu tidak akan memaafkannya sama sekali.

"Carla sudah meninggal empat tahun silam." Ansell menghampiri Grace, yang saat ini tengah berada di balkon kamarnya.

"Meninggalkan luka yang amat membekas." Mendengar itu, Grace mengalihkan atensinya menatap Ansell dengan serius.

"Dia depresi akut. Bahkan, dia tidak mau menemuiku karena takut."

"Takut?"

"Trauma kepada laki-laki. Dia dilecehkan." Ansell menatap Grace sekilas. Lalu, ia melempar pandangannya ke arah langit.

"Kau ingat? Bingkai foto yang pecah di ruangan kerjaku, tetapi tidak pernah kubuang?" tanya Ansell, Grace pun mengangguk.

"Itu satu-satunya foto Carla yang kumiliki. Namun, sekarang sudah kusimpan baik-baik bersama notes miliknya, notes yang sedikit terkontaminasi darah," ujarnya seraya tersenyum getir.

"Di ... dia, bunuh diri?" Grace bertanya yang dibalas anggukan oleh suaminya tersebut.

"Siapa pelakunya? Apa dia dipenjara?"

Ansell terdiam. Harushkah ia mengatakan siapa pelakunya?

Laki-laki yang masih mengenakan pakaian kerjanya itu, menatap Grace-sang istri. Lamat-lamat ia perhatikan mimik wajah sang istri yang terlihat sedikit pucat itu. Haruskah ia menyakiti perempuan yang sama sekali tidak tahu-menahu soal masa lalunya. Perempuan yang sebentar lagi akan menjadi calon ibu untuk anaknya.

Ansell tersenyum. Beberapa detik kemudian ia mengalihkan pandangannya, mengambil satu batang rokok lalu diapitnya di sela-sela jarinya. Pecundang jika ia sampai tega menyakitinya. Ansell bisa membalaskan dendamnya tanpa mengorbankan perasaan Grace, bagaimana pun juga Grace adalah istrinya. Jika saat ini ia belum memiliki perasaan yang utuh, lambat-laun rasa cinta itu akan datang.

"Dean." Ansell bersuara setelah beberapa menit ia terdiam.

To be continued ....

Aku update cerita baru. Jangan lupa mampir❤

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang