[44] - Menetaplah sebagai pemilik

22.8K 1.2K 37
                                    

"Menetaplah sebagai pemilik." Tangan kekar itu menahan langkahnya, membuat seorang wanita yang hendak pergi itu membalikkan tubuh—yang saat ini langsung berhadapan dengan si pemilik tangan.

"Kau bercanda?" tanyanya datar.

"Tidak."

Ini adalah yang kesekian kalinya dia mengemis seperti ini, membuat prempuan itu terdiam tanpa kata. Laki-laki yang bernama Ansell itu menatapnya dengan teduh, berharap jika hari ini ia bisa membuat Grace kembali percaya, meski kemungkinannya sangatlah kecil.

"Mengambil keputusan untuk tidak lagi bertahan itu bukan kesalahan, kan? Kau tidak perlu berusaha sekeras ini, Ansell."

"Harus dengan cara apalagi, Grace? Rasanya apapun yang aku perjuangkan sekarang tidak cukup untuk membuatmu percaya."

"Kau ingin jawaban yang seperti apa lagi, Ansell!" teriak Grace menatap Ansell dengan kesal.

"Jawaban mana yang ingin kau dengar dengan jelas? Katakan!" sentaknya lagi, muak.

"Kenapa kau terus bersikap seolah kau ingin mempertahankan semuanya? Jika pun iya, aku tetap tidak mau, lagi pula tidak ada alasan untuk aku menetap." Seketika suaranya memelan, menatap Ansell dengan air mata yang kembali berlinang di pelupuk matanya.

"Dia." Ansell mununjuk perut Grace.

"Ada anakku di dalam perutmu," ujarnya lagi.

Grace mengalihkan atensinya, sungguh dia tidak tahu harus memberikan jawaban apa. Dia memang masih mencintai Ansell, tetapi rasa marah dan kecewanya melebihi rasa cinta yang ia miliki saat ini. Bola mata hitam temaram itu tak pernah sedetik pun tak menatapnya, laki-laki itu seperti tengah menggambarkan seberapa takutnya jika ia kehilangan perempuan di hadapannya itu.

"Berhenti, Sell. Kumohon." Perempuan itu memandang lekat wajah suaminya.

"Berhenti?" tanyanya tidak mengerti.

"Aku takut kamu terluka. Jangan seperti ini," imbuhnya, yang masih tidak dimengerti oleh Ansell.

"Aku tahu rasanya mengemis cinta, berharap agar semua rasaku terbalaskan. Namun, yang aku dapatkan hanya kekecewaan. Aku tak ingin membuat diriku sama sepertimu, jadi berhentilah."

"Tanpa kamu sadari dengan sikapmu yang seperti ini perlahan membuat dirimu sama sepertiku, Grace."

"Aku tahu. Maka dari itu, berhentilah dari sekarang." Grace menatap suaminya, pun sebaliknya.

"Entah, perihal waktu atau memang tidak mau memafkan, yang pasti untuk saat ini aku benar-benar tidak ingin memperbaiki semuanya."

"Lagipula, apa yang kamu ingin tidak selalu bisa kamu dapatkan, apa yang telah kamu rusak tidak semua bisa kamu perbaiki, dan apa yang telah kamu buang tidak bisa kamu pungut kembali. Hidup bukan perihal ego, Ansell."

"Kau tetap ingin berpisah? Lalu, bagaimana dengan ayahmu?"

Grace menggeleng pelan, lalu berkata, "Aku tidak tahu."

"Sell, aku tak ingin lagi terikat di dalam permasalahan bodoh yang sama sekali tidak ada hubungannya deng

"Lalu, kau akan mengecewakan ayahmu?"

"Aku tidak merasa bahwa aku akan mengecewakannya, aku hanya berkata tidak untuk hal-hal yang tidak aku sukai. Apa itu salah?"

"Maaf," ujar Ansell pelan, memandang lekat mimik wajah Grace yang menunduk—tak ingin menatap Ansell.

"Terlalu sulit memahamimu, terutama hatimu dan kau tidak pernah mencintaiku."

"Bagaimana kau bisa menyimpulkan jika aku tidak mencintaimu?" tanya Ansell.

"Dari sikapmu, karena yang kau miliki itu obsesi bukan cinta."

Sekali lagi, permasalahannya sangatlah sederhana. Mungkin di luaran sana banyak orang yang memilih bertahan untuk memperbaiki, daripada pergi untuk menutup lembaran, tetapi tak jarang juga, di luaran sana masih banyak orang yang memilih untuk pergi ketika dirinya sudah dikecewakan, semua kembali lagi ke prinsipnya masing-masing.

Jika, kalian menganggap keputusan untuk berpisah itu terlalu berlebihan, maka lain halnya dengan Grace. Sekali disakiti maka tidak ada lagi kesempatan kedua. Bagaimana bisa dirinya memberikan kepercayaannya secara berulang untuk laki-laki yang sama sekali menganggap remeh perihal rasa dan luka?

Ingat, tidak ada penyesalan yang datangnya di awal. Bahkan, kalimat cinta yang terucap dari bibir Ansell itu sudah terlambat! Tidak ada orang yang benar-benar Grace percaya untuk saat ini, dan mungkin untuk ke depannya.

Ansell memeluk tubuh Grace dengan erat. Dia benar-benar tidak menginginkan semua itu terjadi, jika sebelumnya Ansell selalu bersikap kasar dan dingin. Namun, berbeda dengan hari ini, laki-laki tempramen itu seketika berubah menjadi laki-laki lemah, yang membutuhkan cinta. "Aku hanya menginginkanmu. Mari perbaiki keasingan ini," ujarnya dengan mantap.

"Berhentilah! Jangan membuat perasaanmu semakin sakit. Rasa yang kumiliki sudah berubah."

"Aku tahu kau hanya butuh waktu untuk memaafkanku."

"Cukup, Ansell!" serunya. Terlalu sakit melihat Ansell mengemis seperti ini, tapi akan jauh lebih sakit jika dirinya tetap bertahan dengan laki-laki itu.

Grace mengambil langkah, perempuan itu meninggalkan Ansell yang masih berdiri di sana. Sedangkan, laki-laki yang bertubuh jangkung itu mengacak rambutnya frustrasi. Entah, harus bagaimana dia memperbaiki semuanya. Beberapa saat kemudian, Ansell pun pergi menggunakan mobilnya, dengan tujuan yang entah ke mana.

***

Bugh!

Kepalan tangan itu mendarat dengan sempurna di rahangnya yang keras. Laki-laki itu menghela napasnya, lalu beberapa saat kemudian dia kembali memberi bogeman mentahnya. Rasanya ia tak cukup puas jika hanya melakukannya sekali.

"Ck!" Laki-laki itu mengusap darah dari ujung bibir, lalu berdiri—menatap orang itu dengan tajam.

"Apa yang kau lakukan, Ansell!" hardiknya, seraya menarik kerah baju laki-laki yang baru saja memukulnya.

Jeda beberapa detik kemudian, laki-laki yang bernama Ansell itu kembali memukuli Dean dengan begitu beringas. Tak ada balasan dari Dean, laki-laki itu membiarkan wajahnya terus dipukuli oleh sepupunya sendiri. Ia tahu betul, Ansell tidak akan berhenti jika laki-laki itu belum cukup puas. Bagaimanapun juga, Dean lah orang yang tahu segalanya tentang Ansell, bagaimana cara dia bersikap dan juga bagaimana dirinya meredamkan amarah.

Beberapa saat kemudian, Ansell pun mendorong tubuh Dean hingga laki-laki itu terjatuh ke lantai. Ansell tersenyum melihat Dean yang sudah terkapar lemas tak berdaya. 

Ansell tersenyum smirk, laki-laki itu mengacak rambutnya dengan frustrasi. "Empat tahun aku memendam dendam kepadamu, Dean. Tapi hanya ini yang bisa aku lakukan!"

"Ck! Kenapa?" Dean berusaha bangkit, meski tubuhnya terasa remuk tak bertenaga.

"Bukannya kau ingin membalaskan dendammu dengan cara menyakiti perempuan yang aku cintai?"

"Atau mungkin kau malah mencintainya?"

Bukannya menjawab, justru Ansell kembali membogem wajah Dean yang sudah babak belur tersebut. Namun, pertahanan laki-laki itu cukup kuat, sekeras apa pun Ansell memukulnya, Dean masih bisa bangkit.

"Brengsek!"

Tubuh Dean sudah terkapar lemas. Ansell terlalu membabi buta, hingga wajah Dean dipenuhi luka memar. Entah, kenapa Ansell sebrutal ini hanya karena Grace tidak bisa memaafkannya.

"Dari awal aku sudah merelakan dia untukmu, meski itu menyakitkan, dan juga aku sudah memberimu peringatan, jangan sesekali menyakitinya, tapi apa? Kau sendiri yang menggali lubang dan menjatuhkan tubuhmu ke dalamnya."

"Dia tidak akan tahu kalau kau tidak memberitahunya!"

"Jika kau berada di posisiku mungkin kau akan melakukan hal serupa. Aku tidak ingin melihatnya menderita! Apakah salah?" sentak Dean.

Ansell terdiam.

To be continued ....

Bingung ceritanya mau dibawa kemana, wkwk:v

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang