[19] - Titipan Tuhan

24.9K 1.5K 20
                                    

Sore ini, keadaan Grace sudah lebih baik dari sebelumnya. Perempuan itu baru saja selesai mandi, menggerai rambutnya yang basah. Kini, ia memilih sebuah pakaian yang akan dikenakan sore ini. Tangannya tak sengaja menyentuh bagian perut. Grace terdiam, mengapa perutnya berbeda dari biasanya? Lebih kencang. Namun, Grace mengacuhkannya, mungkin itu efek terlalu kenyang, karena akhir-akhir nafsu makannya meningkat.

Grace keluar dari kamarnya, rumah yang besar ini begitu sepi. Hanya berisikan dua orang, satu asisten rumah tangga, dan juga satu orang satpam. Tak hanya itu, rumah akan terasa sangat sepi ketika Ansell tidak ada di rumah, sebenarnya ada dan tidaknya Ansell di rumah sama saja, karena jika ada Ansell pun tidak bisa membuat rumah ini menjadi ramai.

Jika biasanya pengantin baru selalu terlihat romantis, berbeda dengan keduanya. Mereka hanya berbicara seperlunya, bercanda pun masih terasa canggungnya. Benih-benih cinta itu mungkin tidak akan tumbuh dalam jangka waktu yang cepat, tetapi percayalah lambat laun mereka akan menyadarinya.

Atensi Grace mengedar, dia sama sekali tidak melihat Ansell. Padahal hari sudah mulai gelap. Namun, Ansell masih tak kunjung keluar dari kamarnya, biasanya jika menjelang sore, laki-laki itu akan pergi ke taman belakang, menikmati secangkir teh dan tak lupa ia pun akan membawa laptop kesayangannya. Biasanya udara sore akan terasa sangat sejuk, itu semua menjadi alasan mengapa Ansell lebih senang menggarap semua pekerjaannya di sekitar taman.

Tenang dan damai.

Grace mulai bosan, setelah diam beberapa menit di halaman rumahnya. Kini, ia memutuskam untuk kembali ke kamarnya. Bosan, setiap harinya ia hanya menghabiskan waktunya berdiam diri di rumah, sang suami tidak pernah berinisiatif untuk mengajaknya jalan-jalan.

Ketika Grace hendak masuk. Ia melihat Ansell yang baru saja keluar dari kamarnya, laki-laki itu sudah rapi dengan pakaian casualnya, dengan jaket yang ia bawa, sepertinya dia akan pergi. Mereka berpapasan, tetapi Ansell hanya menatapnya datar, tanpa kata, tanpa senyuman.

Lama ia menatap sang suami, beberapa detik kemudian dirinya mencium aroma yang membuatnya kembali mual. Aromanya begitu semerbak, apalagi ketika posisi Ansell semakin mendekat.

"Kenapa?" tanya Ansell tanpa ekspresi.

"Kau memakai farfum apa? Kok baunya tidak enak," ucap Grace menahan mual.

"Bukannya kau menyukai aroma ini?"

Grace menggeleng cepat, dengan tangan yang mengapit hidungnya. "Tidak. Tidak suka."

Mendengar itu, terpaksa Ansell pergi ke kamar dan berganti pakaiannya. Sekarang Ansell terlihat lebih santai dengan kaos hitam dan juga celana pendeknya. Laki-laki itu keluar tanpa memakai farfum sedikit pun. Melihat kondisi Grace yang dua hari ini mengalami mual dan juga muntah membuat Ansell terpaksa mengiakan segala keinginannya. Manusiawi, jika Ansell sedikit memiliki rasa cemas.

"Tidak jadi pergi?" Melihat Ansell berpakaian lebih santai dari sebelumnya itu membuat Grace bertanya.

"Tidak. Masih mual?"

"Sedikit," ujar Grace.

Perubahan Grace semakin hari semakin aneh. Tidak tahu kenapa, perubahannya itu membuat Ansell merasa tidak nyaman. Kini, Ansell menarik lengan Grace ke dalam mobil. Lalu, ia pun mulai menancap gas mobilnya. Dirinya memang mencemaskannya, tetapi perubahan Grace sangatlah tidak wajar. Wajar saja, jika Ansell selalu terlihat kesal.

"Mau ke mana?" tanyanya.

"Rumah sakit."

"Tapi, aku tidak sakit. Tidak perlu ke rumah sakit, Ansell."

"Berisik!" sentak Ansell matanya menyorot tajam. Moodnya sedang kambuh, harap dimaklumi.

Mendengar itu, hati Grace terasa sakit. Entah kenapa dirinya seperti mempunyai sifat kepekaan yang berlebihan, padahal ini bukan kali pertamanya Ansell berbicara dengan nada tinggi. Namun, satu kata yang terlontarkan itu seperti belati yang mengiris perasaannya.

"Kau menangis?" tanya Ansell, ketika ia menyadari ada suara yang menusuk tajam indra pendengarannya.

Grace mengalihkan pandangannya—menatap ke arah kaca mobil. Dia benar-benar tak ingin melihat wajah Ansell yang dingin itu. "Tidak," alibinya.

Di tengah kesibukannya berkendara, Ansell berusaha menarik dagu sang istri, hanya sekadar ingin memastikan kenapa perempuan di sampingnya itu menangis. Sebab, Ansell tidak cukup puas dengan jawabannya. "Kenapa?" tanyanya lagi, tetapi Grace masih bergeming. Perempuan itu tidak ingin menjawabnya.

"Tidak punya mulut?"

Grace memilih diam, dirinya sedang tidak ingin berdebat sama sekali.

***

"Bagaimana mungkin aku hamil?" Grace masih dibuat tidak percaya dengan hasilnya, dokter mengatakan jika dirinya sedang hamil di usia muda. Yakni, empat minggu. Kenapa bisa? Padahal umur pernikahan mereka kurang dari tiga minggu.

Terkejut? Tentu! Pasalnya, dia tidak pernah disentuh oleh siapa pun, ketika dokter mengatakan bahwa dirinya sedang hamil itu seperti tidak mungkin. Bahkan, Ansell saja tidak ingin menyentuhnya, lalu siapa yang sudah menghamilinya?

Dia terdiam. Entah, harus berkata apa, seolah bibirnya tidak bisa bicara sama sekali. Dia juga tidak tahu harus menjelaskannya dari mana, tidak mungkin bukan jika ia hamil oleh jin? Zaman sekarang mana percaya yang namanya takhayul. Kini, Grace menatap Ansell dengan ragu. Tidak hanya dirinya, bahkan Ansell saja ikut bungkam. Mungkinkah dia kecewa akan hasilnya?

"Aku tidak pernah melakukannya dengan siapa-siapa," ucap Grace dengan gugup.

"Bahkan, kau saja tidak pernah menyentuhku," ujar Grace lagi, seraya memandang wajah Ansell—sang suami. Keduanya masih berada di dalam mobil, tetapi Ansell belum menancap gas mobil tersebut.

"Lalu, aku hamil anak siapa?" Lagi-lagi dia bertanya.

"Anakku." Ansell berimbuh tanpa menatap Grace.

"Tidak usah bercanda. Menyentuhku saja tidak pernah."

"Malam itu ketika hujan deras dan diiringi petir, aku tidak sengaja menjamah tu—"

Belum saja Ansell menuntaskan ucapannya, Grace sudah menatapnya tidak percaya. Membuat Ansell merasa seperti orang yang munafik, begitu pun dengan Grace sendiri. Sejatinya, semua manusia itu mempunyai hawa nafsu, membiarkan seorang pria dan wanita tidur di kamar yang sama, tidak menutup kemungkinan untuk melakukannya, apalagi mereka sudah terikat janji suci pernikahan.

"Bisakah kita menjadi orang tua untuknya?" tanya Grace, dengan tangan yang mengusap lembut perutnya.

Sebenarnya Grace tidak terkejut ketika Ansell mengatakan kata 'Menjamah' karena itu memang sudah menjadi kewajibannya sebagai suami istri. Namun, bisakah mereka menjadi orang tua yang baik untuknya, calon anaknya nanti. "Bahkan, kita saja tidak saling mencintai. Aku takut tidak bisa menjadi orang tua yang baik untuknya."

"Aku akan berusaha mencintaimu."

Malam itu, ketika hujan diiringi petir yang menggelegar Ansell tidak sengaja melakukannya, bahkan itu semua terjadi ketika Grace setengah tidak sadar. Entah, bagaimana ceritanya, semua itu berjalan dengan sangat mulusnya, padahal Grace sempat merintih karena kesakitan. Namun, dia tak kunjung sadar dari tidurnya, apa mungkin karena rasa takut yang berlebihan itu membuatnya antara sadar dan tidak sadar? Entahlah!

Memang, tidak perlu diragukan lagi. Ternyata Ansell tidak hanya pandai dalam mengelola perusahaannya, tetapi ia juga pandai menanam saham di perut Grace, hanya dengan melakukannya satu kali.

Beberapa saat kemudian, pikiran Grace terbayang akan kejadian malam itu, malam yang di mana Ansell melakukan sesuatu terhadapnya. Grace bergidik ngeri, lalu ia memeluk erat tubuhnya sendiri, menatap Ansell dengan malu.

"Kenapa?" tanya Ansell datar.

Grace menggeleng cepat. "Tidak apa-apa," imbuhnya.

"Masih mual?" tanya Ansell berusaha mencairkan suasana yang mulai canggung.

"Masih. Kemarin rujak cukanya enak, kau beli di mana?"

"Dibuatkan ibu-ibu penjual oleh-oleh khas Bandung."

"Entah, harus senang atau marah. Intinya, kau jaga baik-baik kandunganmu," ucap Ansell tanpa menatap ke arah Grace. Grace tersenyum. Sepertinya Ansell mulai peduli kepadanya, atau lebih tepatnya kepada janin yang ada di dalam perut sang istri.

To be continued ....

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang