[22] - Menuai rasa

22.1K 1.4K 5
                                    

Seorang laki-laki itu berlari keluar dari ruangan pribadinya. Mendengar nama sang istri, ia pun segera mencarinya, apa mungkin perempuan itu benar-benar datang ke kantornya. Namun, untuk apa? Setelah ia mengedarkan pandangan dan tak mendapatkan hasil, ia kembali lagi ke ruangan pribadinya, mengambil kunci mobil dan juga jas yang tertinggal di sana.

"Siapa yang kau cari?" tanya perempuan itu. Heran mengapa Ansell begitu cemas ketika Erlangga menyebutkan nama 'Grace'.

"Bukan siapa-siapa," ujarnya. Lalu, dengan segera ia mengambil kedua barang tersebut.

"Sebaiknya kau pulang saja, aku ada urusan."

"Ansell, tapi aku baru saja tiba, kau tidak rindu?" teriaknya, tetapi Ansell sama sekali tidak mengindahkan ucapannya. Ia tetap melangkah pergi meninggalkan kantor.

Di sela perjalanannya, laki-laki yang bernama Ansell itu mencoba menelepon sang istri, tetapi tak kunjung diresponsnya. Di satu sisi lain, mengapa dirinya harus merasa khawatir? Jika pun memang benar perempuan itu datang ke kantornya dan melihat semuanya, harusnya tidak masalah bukan? Karena pada dasarnya perempuan itu juga tahu bahwa mereka terikat tanpa dasar cinta.

Sebenarnya, ia bisa saja tak memedulikan perempuan itu, tetapi entah mengapa untuk melakukannya terasa berat. Seolah rasanya sudah mengalir jauh dengan sendirinya. Tanpa diminta, tanpa direncanakan. Kini, Ansell menepikan mobilnya di pekarangan rumah, segera ia masuk untuk memastikan keberadaan sang istri, tetapi rumah tampak kosong. Tidak ada tanda-tanda keberadaan perempuan itu.

***

Di lain tempat, terlihat seorang perempuan tengah melamun. Saat ini, dirinya tengah berada di perjalanan menuju Bogor menggunakan bus, ia tidak bisa tenang ketika Damian—sang ayah dirawat di rumah sakit. Jadi, ia memilih untuk pergi seorang diri. Beberapa kali ponselnya berdering, tetapi perempuan itu tampak mengabaikan setiap panggilan yang masuk, ia tahu betul jika si penelpon tersebut adalah Ansell.

Ada rasa kecewa yang tiba-tiba menguasai dirinya, terasa sesak saja ketika ia melihat jelas seorang perempuan dengan bebasnya memeluk Ansell—suaminya. Apakah rasa cemburunya itu wajar? Atau ia terlalu munafik untuk mengatakan jika dirinya mulai memendam rasa?

Benar kata pepatah; "Cinta itu buta" Ia bisa datang dan menyapa siapa saja. Ia bisa tumbuh di hati siapa saja, tanpa pandang bulu.
Cinta datang tanpa permisi, pun bisa hilang kapan pun ia mau, maka dari itu kenapa risiko mencintai itu lebih besar dan lebih menyakitkan.

Jika seandainya ia jatuh terlalu dalam. Maka, luka yang ia dapat akan jauh lebih menyakitkan. Jika ia membatasi dan membentengi perasaannya, sungguh itu pun bukan suatu hal yang mudah. Sebab, hadirnya cinta tak dapat ditolak hati manusia.

Jadi, tetap membatasi rasa atau berusaha untuk memberikannya rasa?

Jika ia memilih opsi pertama, maka jaminannya adalah ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangganya. Namun, jika ia memilih opsi kedua, kemungkinan besar yang ia dapat adalah kebahagiaan yang tak ternilai atau bahkan mungkin juga, kebalikannya. Semua kembali lagi pada pilihan dan pendiriannya, jika berani jatuh cinta maka harus berani juga untuk terluka. Sebab, setiap hal dalam kehidupan ini, tak ada yang sempurna. Selalu ada yang harus dikorbankan, untuk mencapai suatu tujuan.

Lambat-laun, cinta itu datang karena terbiasa. Kembali seperti pepatah jawa yang mengatakan; "Witing tresno jalaran soko kulino" Datangnya cinta, karena terbiasa. Terbiasa bersama, terbiasa saling merayu padahal hanya bercanda, terbiasa dengan hal-hal kecil yang mampu menumbuhkan rasa aman dan nyaman, dan pada akhirnya rasa yang sesungguhnya hadir tanpa disadari.

Ada rasa nyaman ketika mereka saling bersinggungan, ada rasa yang tak biasa ketika manik matanya saling beradu pandang, jantung yang berdegup kencang, darah yang berdesir hebat seakan menjadi isyarat, bahwa ada rasa yang mulai tertanam di hatinya. Namun, di satu sisi lain ia juga merasa takut. Takut jika suatu hari nanti rasa yang ia miliki itu berubah menjadi tombak yang akan menusuknya secara perlahan, membiarkannya larut dalam luka, tangis, amarah, dan kebencian. 

Dirinya pun sadar betul, tak ada kata sempurna di dunia yang fana ini, apalagi dalam sebuah hubungan. Terluka, konsekuensi dari perasaan yang tanpa sadar dibiarkan tertanam, mau tak mau harus dia terima sewaktu-waktu. Dia hanya berharap, semoga semesta tidak membiarkan itu semua terjadi dalam kisah hidupnya.

***

Seorang perempuan itu baru saja tiba di rumah sakit sekitar jam dua siang. Melihat kondisi sang ayah yang mulai berangsur membaik itu cukup menenangkan hatinya, di sana juga terlihat Tssalisa, Rani, dan juga Dean yang sengaja ingin menjenguk ayah dari mantan kekasihnya tersebut. Grace melempar senyumnya, senyum yang terasa menyakitkan. Terlebih lagi ketika ia mengingat saat di mana dirinya memilih Ansell orang yang baru dikenalnya, daripada Dean kekasihnya.

Cukup tak tahu malu, jika diingatkan kembali dengan masa itu. Grace meninggalkan Dean yang menurutnya lebih segalanya daripada Ansell, tetapi semua itu sudah berlalu, sadar tidak sadar pernikahan ini terjadi juga atas kehendaknya sendiri, karena tidak bisa mengatakan tidak kepada sang ayah.

"Kau sendirian, Grace?" tanya Damian, seraya berusaha bangkit dari posisinya.

"Iya, Ayah. Ansell sedang sibuk," ujarnya.

"Grace tidak akan lama-lama, hari ini langsung pulang," sambungnya lagi.

"Bagaimana dengan kasusmu, Tssalisa?" tanya Grace mengalihkan pandangannya dari Damian kepada Tssalisa. Gadis yang saat ini tengah asik memainkan gawainya.

"Sudah selesai. Aku terbukti tidak bersalah, semua ini berkat Dean," ucapnya menatap Grace dengan serius.

"Lain kali mengemudilah dengan benar, jangan terus-menerus membebani pikiran Ayah."

"Sudah … sudah, yang penting keadaannya sudah membaik. Untukmu, Tssa. Jadikan ini sebagai pelajaran," ujar Damian mengingatkan putri sulungnya tersebut, yang dibalas anggukan oleh sang empu.

"Grace keluar sebentar."

Setelah lama basa-basi, Grace meminta izin untuk pergi keluar, dirinya akan mengisi perutnya yang sudah keroncongan sedari tadi. Apalagi dirinya tengah berbadan dua sekarang, membuatnya mudah lapar. Tanpa ia sadari Dean mengikuti langkahnya, pergi menemui Grace—perempuan yang masih dicintainya hingga saat ini.

Setelah membeli beberapa makanan di kantin, Grace pun duduk di taman sekitaran rumah sakit, sesekali ia mengecek ponselnya. Ternyata Ansell mengiriminya banyak pesan, apa mungkin laki-laki itu tahu jika Grace sempat datang ke kantornya? Tak mau memikirkannya, Grace lebih memilih untuk mematikan ponselnya saja.

"Lama tak bertukar kabar," ujar Dean yang baru saja tiba dengan sebotol minuman yang dibawanya, lalu diberikannya kepada Grace.

Grace tersenyum, dan menerima botol minum tersebut. "Terima kasih," ujarnya yang merasa sedikit canggung.

Ingin sekali Grace menatap manik mata Dean, memeluknya erat. Lalu, berkata aku sangat merindukanmu. Namun, pada kenyataan Grace tidak bisa melakukannya, sudah lain lagi ceritanya, statusnya sudah berubah, Grace bukan lagi wanitanya. Dulu, ketika dirinya sedang terpuruk, Dean selalu menjadi rumah untuknya pulang, untuknya berkeluh kesah. Lalu, laki-laki itu akan memeluknya seraya berkata 'Semua akan baik- baik saja' sungguh Grace merindukan setiap momen yang ia habiskan bersama Dean Dominic.

"Kau baik-baik saja? Matamu terlihat sayu," tanya Dean, sedari tadi ia perhatikan Grace lebih banyak melamun.

Tak bisa dipungkiri lagi, Grace menatap Dean dengan getir. Detik itu juga air matanya luruh, membuat Dean terkejut bukan main. "Hei, kenapa?" tanyanya, Dean berusaha menggapai jemari Grace ditautkannya dengan jemari miliknya.

"Jangan menangis seperti ini," ujarnya.

"Kenapa?" tanyanya yang mulai khawatir.

Grace menggeleng, lalu perempuan itu tersenyum. Dua tahun lamanya ia menjalin kasih bersama Dean, tak heran jika ia masih belum bisa melupakannya. Melihat Dean memasang wajah khawatirnya, Grace pun menyeka kembali air matanya.

"Aku tidak apa-apa, Dean," ucap perempuan itu.

Laki-laki itu mengusap rambut Grace dengan lembut. Lalu, ia tersenyum. "Meski kita sudah tak lagi terikat. Aku bersedia menjadi rumah untuk kau pulang, pulang bukan berarti kau kembali lagi padaku." Grace menatap Dean dengan lamat-lamat. Tahu betul apa yang Dean maksud.

"Grace, apa pun masalah yang sedang kamu hadapi, percayalah semua akan baik-baik saja."

To be continued ....

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang